elsamsi log
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

Konsultasi Muamalah: Solusi Lembaga Finance Lepas dari Jerat Skema Bisnis Riba

Assalamualaikum,mau bertanya yai… Seseorang membutuhkan dana 100 jt utk modal usaha. Lembaga keuangan (leasing) bisa meminjamkan dana yg dibutuhkan itu, dgn cara peminjam menjadikan mobilnya sebagai jaminan & pelunasan selama 3 tahun mengangsur tiap bulan. Bila ditotal jumlah pengembalian menjadi 115 jt. Pertanyaannya, bagaimana aturannya agar peminjam tdk masuk ke dalam praktek riba? Demikian pertanyaan saya kyai… Atas jawabannya saya ucapkan terimakasih…?? (Sa-il: Zanuar Anwari)

Jawaban

Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh. 

Bismillah. Alhamdulillah. Wassholatu wassalamu ‘ala rasulillah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam wa ‘ala alihi washahbih

Ada beberapa pertimbangan yang bisa disampaikan oleh Tim Mujawib kami dalam memandang permasalahan saudara penanya. Dari pertimbangan tersebut, selanjutnya dapat diambil keputusan hukum dengan rincian sebagai berikut:

Pertama: Kredit dibutuhkan adalah kredit modal usaha

Karena kredit tersebut dibutuhkan untuk modal usaha, menandakan adanya kegiatan produksi dari debitur sehingga memungkinkan masuknya akad investasi usaha (istitsmary) oleh kreditur pada usahanya debitur.

Akad yang bisa berlaku untuk jenis kredit semacam ini, adalah menggunakan akad qiradl (permodalan dan bagi hasil). Pihak kreditur bisa memodali sebesar 100% dana usaha yang dibutuhkan oleh debitur, yang disertai dengan kesepakatan bagi hasil keuntungan usaha antara debitur dengan kreditur. Misalnya, debitur 50% dan kreditur 50% yang diberikan per periode pembagian deviden (hasil usaha). 

Sekali lagi, nisbah bagi hasil ini ditetapkan berdasarkan keuntungan (profit) dari hasil usaha (deviden), dan bukan dari modal yang dikucurkan. Jika ditetapkan berdasar modal yang dikucurkan, maka termasuk riba qardli yang dilarang. 

Di dalam akad qiradl ini, hak kreditur, adalah kembalinya modal 100% ditambah nisbah bagi hasil keuntungan usaha. 

Sebagai catatan, bahwa karena akad qiradl awalnya adalah berangkat dari akad ta’awun (toloong menolong), maka di dalam akad ini tidak membutuhkan adanya jaminan barang. Jadi, kalau menggunakan akad ini, maka keberadaan mobil yang dijaminkan merupakan illat rusaknya akad qiradl. Adanya jaminan, merupakan ciri khas dari akad gadai (rahn).

Kedua, Akad gadai (rahn). Adanya jaminan utang berupa barang, menandakan akad yang digunakkan adalah akad gadai (rahn). Ciri khas dari akad gadai adalah utang sebesar 100 juta dikembalikan sebesar 100 juta. Apabila ada kelebihan dalam pengembalian, maka akad gadainya menjadi rusak dan jatuh pada riba. Oleh karenanya, permasalahan yang saudara penanya sampaikan di atas, tidak masuk dalam rumpun akad gadai, sebab pengembaliannya adalah 115 juta, dari kredit yang dikucurkan sebesar 100 juta.

Ketiga, akad bai bi al-’inah. Akad ini dicirikan dengan pihak finance selaku kreditur membeli mobil milik debitur sebesar 100 juta. Selanjutnya, setelah proses jual beli itu selesai, maka pihak kreditur menjual kembali mobil itu ke pihak debitur secara kredit dengan durasi pelunasan selama 3 tahun seharga 115 juta.

Akad bai’ ‘inah ini dibolehkan secara khusus di Madzhab Syafii, akan tetapi sifat kebolehannya adalah ma’a al-karahah (disertai unsur kemakruhan) karena mempertimbangkan adanya fuqaha yang mengharamkannya. 

Abu ‘Ubaid Ahmad ibn Muhammad al-Harawy menjelaskan bahwasanya: 

العينة هو أن يبيع الرجل من رجل سلعة بثمن معلوم إلى أجل مسمى ثم يشتريها منه بأقل من الثمن الذي باعها به قال وإن اشترى بحضرة طالب العينة سلعة من آخر بثمن معلوم وقبضها ثم باعها من طالب العينة بثمن أكثر مما اشتراه إلى أجل مسمى ثم باعها المشتري من البائع الأول بالنقد بأقل من الثمن فهذه أيضا عينة وهي أهون من الأولى وهو جائز عند بعضهم 

Artinya: “Al-‘Inah merupakan transaksi jual beli suatu barang oleh pihak pertama (penjual) dengan pihak kedua (pembeli) dengan harga yang diketahui sampai suatu tempo yang telah ditentukan kemudian pihak pertama membeli kembali barang tersebut dengan harga yang lebih sedikit dibanding ketika menjualnya, dengan harga yang diketahui juga. Disampaikan juga bahwa bai’u al-inah adalah jika seorang thalibu al-‘înah meminta orang lain membeli suatu barang darinya dengan harga yang maklum, lalu diserahkannya barang tersebut, kemudian meminta agar pembeli menjual kembali barang ke dia dengan harga yang lebih tinggi dibanding saat dia membeli darinya, dengan tempo (angsuran) yang disebutkan (disepakati). Lalu pembeli (melakukan apa yang diperintahkannya) dengan menjual barang tersebut ke penjual pertama dengan harga yang lebih sedikit dari saat dia membelinya. Hal sebagaimana disebutkan terakhir ini juga termasuk akad ‘înah, meskipun kelihatannya lebih ringan dari akad yang pertama. Dan hal semacam ini adalah boleh menurut sebagian ulama’.” (Al-Nawawy, al-Majmu’ Syarah Al-Muhadźab, Jedah: Maktabah al-Irsyâd, tt.: Juz 10 / 143 )

Adapun 3 fuqaha dari kalangan madzhab empat yang mengharamkan bai’ al-’inah, adalah Madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali. Alasan keharamannya adalah karena illat hilah muharramah (alasan rekayasa menghindari riba yang diharamkan).

Keempat, akad syirkah mutanaqishah (Kemitraan yang disertai akuisisi kepemilikan oleh debitur)

المشاركة المتناقصة: هي التي يتفق فيها الشريكان على إمكان التنازل من أحد الطرفين عن حصته في المشاركة للطرف الآخر، إما دفعة واحدة أو على دفعات، بحسب شروط متفق عليها

“Musyarakah mutanaqishah adalah serikat yang dibangun atas dasar kesepakatan antara dua pihak bersama kemungkinan bisanya berpindahnya rasio saham serikat salah satu pihak kepada pihak yang lain, baik dengan jalan kontan atau dengan jalan berangsur, sesuai dengan kesepakatan yang dibangun oleh keduanya.” 

Akad ini adalah akad baru yang tidak tertuang dalam teks-teks kutub al-turats. Pada dasarnya, praktiknya hampir sama dengan akad bai’ al-’inah. Di sisi lain, akad tersebut di satu sisi akad ijarah muntahiyah bi al-tamlik (IMBT) (sewa jasa dengan akhir kepemilikan). Bedanya, dengan IMBT, adalah pada akad syirkah mutanaqishah, praktiknya diawali oleh akad beli barang jaminan oleh kreditur (100 juta), kemudian barang itu disewakan kepada debitur selama 3 tahun sebesar 115 juta rupiah. Apabila sudah genap selama 3 tahun dan sudah lunas sebesar 115 juta, maka pihak kreditur menghibahkan barang itu kepada debitur. Kalau IMBT, tidak ada aktivitas pembelian barang debitur oleh kreditur (finance).

Jadi, ada 3 proses dalam akad syirkah mutanaqishah bagi pihak finance, yaitu: (1) beli, (2) menyewakan, dan (3) menghibahkan. Adapun bagi pihak lease, adalah kebalikannya. 

Dasar dibolehkannya akad syirkah mutanaqishah ini, adalah dengan dasar landasan sebagai berikut:

Satu. Akad sewa barang (ijarah), adalah boleh secara ijma’

Dua. Dalil ashal disyariatkannya akad ijarah adalah karena dlarurah li masisi al-hajah (terdesak kebutuhan)

Tiga. Ketentuan yang berlaku atas akad ijarah, adalah harga sewa manfaat, harus jelas di muka saat akad (115 juta), demikian juga dengan obyek yang disewa, termasuk pembatasannya. 

فقد اعتبر جمهور الفقهاء العرف في تعيين ما تقع عليه الإجارة من منفعة وقد تتعين بتحديد مدة الإجارة أو تحديد العمل ذاته أو العمل والمدة معًا (مراجع: الفتاوى الهندية: ٤/‏٤١١؛ وحاشية الدسوقي على الشرح الكبير: ٤/‏١٢، ٢٣؛ والمغني: ٥/‏٣٢٤؛ والمهذب: ١/‏٣٩٦)

“Jumhur fuqaha menyatakan bisanya ‘urf digunakan untuk men-ta’yin sesuatu yang berlaku dalam akad ijarah, misalnya terkait dengan jenis jasa. Suatu jasa (manfaat) ditetapkan dengan jalan membatasinya menggunakan durasi sewa (muddah), atau dengan dengan menggunakan jenis fungsi barang (‘amal), baik secara terpisah (muddah saja atau fungsi saja), atau dua-duanya (muddah dan amal).” 

Empat. hibah yang disertai syarat melunasi ongkos sewa sebesar 115 juta adalah dibolehkan. Hibah semacam ini disebut sebagai hibbah bi syarthin

Berdasarkan penjelasan ini, maka kiranya jawaban yang dibutuhkan dari pertanyaan saudara penanya, adalah opsi akad ketiga (bai’u al-’inah) atau akad keempat (syirkah mutanaqishah). 

Demikian jawaban dari kami, semoga dapat membantu menjawab permasalahan saudara penanya. Wallahu a’lam bi al-shawab

Muhammad Syamsudin

Penanggung jawab Tim Mujawib Konsultasi Mu’amalah “Redaksi el-Samsi”. Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jatim

Spread the love
Muhammad Syamsudin
Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah PW LBMNU Jawa Timur, Wakil Rais Syuriyah PCNU Bawean, Wakil Ketua Majelis Ekonomi Syariah (MES) PD DMI Kabupaten Gresik

Related Articles

Tinggalkan Balasan