Definisi Kontrak Syariah
Secara bahasa, ‘aqad bermakna naqidl al-halli [lawan dari lepas]. Alhasil, aqad secara bahasa bisa diartikan sebagai suatu ikatan.
Makna aqad secara istilah tidak jauh berbeda dari pengertian secara bahasanya. Para ulama yang tergabung dalam penyusun Ensiklopedi Fikih Kuwait mendefinisikan aqad itu sebagai:
الموسوعة الفقهية الكويتية ٣٦/١٤٤ — مجموعة من المؤلفين
الْعَقْدُ هُوَ رَبْطُ أَجْزَاءِ التَّصَرُّفِ بِالإِْيجَابِ وَالْقَبُول
“Akad adalah ikatan beberapa elemen tasharruf melalui jalan ijab dan qabul.”
Rukun Kontrak Syariah
Berdasarkan ta’rif ini, selanjutnya dapat diuraikan beberapa hal yang menjadi rukun kontrak syariah, yaitu:
الحطاب والمواق عليه ٣ / ٤١٩ و٤ / ٢٢٨ والشرح الصغير ٢ / ٣ ونهاية المحتاج ٣ / ١٢ ومغني المحتاج ٢ / ٥ – ٧، وشرح منتهى الإرادات ٢ / ١٤٠.
وَاتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ الْعَقْدَ لاَ يُوجَدُ إِلاَّ إِذَا وُجِدَ عَاقِدٌ وَصِيغَةٌ (الإِْيجَابُ وَالْقَبُول) وَمَحَلٌّ يَرِدُ عَلَيْهِ الإِْيجَابُ وَالْقَبُول (الْمَعْقُودُ عَلَيْهِ) وَذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّ هَذِهِ الثَّلاَثَةَ كُلَّهَا أَرْكَانُ الْعَقْدِ
“Para fuqaha’ telah sepakat bahwasanya suatu kontrak tidak bisa terjadi tanpa keberadaan [1] aqid [pelaku kontrak] dan [2] shighah [klausul kontrak] yang menyatakan ijab dan qabul, dan [3] Sasaran dilaksanakannya ijab dan qabul [ma’qud ‘alaih]. Jumhur fuqaha menyebut bahwa ketiga elemen ini seluruhnya adalah rukun kontrak syariah”
Alhasil, suatu kontrak disebut memenuhi aspek syariah, adalah apabila terpenuhi rukun-rukunnya, yaitu:
- Adanya klausul [shighah] perjanjian, baik yang berlaku antara seorang hamba dengan hamba lainnya [huquq al-adamy] maupun antara hamba dengan Allah SWT [huququllah]. Syarat yang harus dipenuhi dalam klausul adalah secara jelas tertuang nuansa yang menunjukkan pengertian ijab / penyerahan dan pengertian qabul / penerimaan
- Terdapat 2 orang subyek / pelaku kontrak [muta’aqidain]
- Sasaran / bidang garapan yang hendak digapai bersama lewat kontrak [ma’qud ‘alaih] yang telah disepakati
Macam-Macam Kontrak Syariah
Kontrak Lisan dan Pekerjaan
Dilihat dari aspek cara penyampaiannya, maka menurut para fuqaha, kontrak itu bisa disampaikan melalui 2 cara, yaitu secara lisan atau pekerjaan.
مواهب الجليل للحطاب ج ٤ ص ٢٢٨
صِيغَةُ الْعَقْدِ كَلاَمٌ أَوْ فِعْلٌ يَصْدُرُ مِنَ الْعَاقِدِ وَيَدُل عَلَى رِضَاهُ، وَيُعَبِّرُ عَنْهَا الْفُقَهَاءُ بِـ (الإِْيجَابِ وَالْقَبُول)
“Shighah kontrak merupakan suatu ucapan atau perbuatan yang timbul dari subyek kontrak [‘aqid] dan menunjukkan keridlaannya. Para fuqaha mengistilahkannyya sebagai ijab dan qabul.”
Kontrak Tulisan
Di dalam Kitab Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani Alfaz al-Minhaj (مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج), al-Sheikh Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Khathib al-Syarbini (977H) menyampaikan:
مغني المحتاج ج ٣ ص ١٤٠
فَالأَْصْل أَنَّ كُل مَا يَدُل عَلَى الإِْيجَابِ وَالْقَبُول لُغَةً أَوْ عُرْفًا يَنْعَقِدُ بِهِ الْعَقْدُ، فَلاَ يُشْتَرَطُ فِي انْعِقَادِ الْعَقْدِ فِي الأَْصْل لَفْظٌ خَاصٌّ، وَلاَ صِيغَةٌ خَاصَّةٌ
“Berdasarkan ketentuan ashal-nya, segala sesuatu yang bisa menunjukkan pengertian ijab dan qabul secara bahasa, atau secara ‘urf maka sah dijadikan sarana timbulnya akad. Oleh karena itu, maka akad, menurut dalil ashal-nya, adalah benar menunjukkan lafadh khusus, akan tetapi penyampaiannya tidak ada ketentuan khusus.”
Dengan merujuk pada penjelasan Syeikh Khathib al-Syirbiny di atas, maka kontrak syariah itu pada dasarya bisa disampaikan melalui 2 cara, yaitu:
- Disampaikan langsung dengan jalan berbicara, atau
- Disampaikan melalui sarana apa saja yang secara ‘urf bisa menunjukkan pengertian kesepakatan yang ditandai oleh ijab dan qabul.
Pencabangan Kontrak Tulisan
Sebenarnya, metode penyampaian klausul kontrak menurut cara yang kedua di atas, – yaitu secara ‘urf, sudah mencakup hal-hal yang sangat luas aplikasinya. Akan tetapi, kebutuhan akan dalil spesifik kadangkala dibutuhkan untuk mengurai furu’ dari dua ketentuan ashal yang ma’tsurat di dalam nushush al-syari’ah.
Menurut para ahli nahwu, bahwa yang dimaksud dengan kalam sebagaimana ketentuann di atas, adalah lafadh yang berfaedah [lafdhun mufidun]. Sementara yang dimaksud dengan lafadh adalah sesuatu yang terdiri atas rangkaian huruf hijaiyah. Itu artinya, ketentuan ashal yang harus dipenuhi oleh pihak yang menjalin kontrak, adalah harus bisa mengucapkan ejaan huruf hijaiyah secara lafdhiyyah.
Persoalannya, adalah tidak semua orang bisa mengucapkan huruf-huruf itu, atau sekedar mengucapkan a, b, c, d. Lalu, bagaimana solusinya apabila mereka dari kalangan disabilitas ini melakukan kontrak / akad? Padahal, kontrak merupakan pokok penting dalam mu’amalah.
Solusi terhadap hal di atas, oleh para fuqaha’ disampaikan melalui jalur qiyas terhadap sahnya bai’ mu’athah. Imam al-Kharasy al-Maliki mengutarakan:
الخرشي على سيدي خليل ج ٥ ص٥
وينعقد البيع وإن كان ما يدل على الرضا أو الدال عليه معاطاة، كأن يعطي رجل لآخر الثمن فيعطيه المثمون من غير إيجاب ولا استيجاب
“Akad jual beli adalah sah jika akadnya menunjukkan saling ridla dan menunjukkan saling menerima, seperti seseorang memberikan kepada pihak lain harga barang [tsaman], sementara pihak lain menyerahkan barang [al-matsmun], tanpa adanya lafadh penyerahan atau permintaan penyerahan.”
Jumhur fuqaha dari kalangan Ahnaf dan Hanabilah juga menyatakan hal yang sama:
فتح القديرج ٥ ص٧٧ والمغني لابن قدامة ج ٣ ص٤٨٠
ينعقد البيع بالتعاطي في النفيس والخسيس وهو الصحيح لتحقق المراضاة من المتعاقدين
“Akad jual beli secara mu’athah adalah sah untuk barang yang mahal maupun yang tidak ada remeh. Sahnya akad adalah karena nyatanya kondisi saling ridla di antara kedua muta’aqidain.”
Namun, sepintas kilas kita bisa melihat bahwa alasan hukum yang disampaikan oleh para fuqaha’ di atas tidak memenuhi unsur illat sebagaimana yang diperlukan untuk menentukan suatu hukum. Para fuqaha’ tersebut menyampaikan hikmah atas sahnya jual beli tanpa ijab dan qabul, yaitu saling ridla. Untuk itulah maka para ashab al-syafii menolak pemakaiannya sebab al-hukmu yadur ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman.
Penerimaan fuqaha’ ashab al-Syafii terhadap bai’ mu’athah lebih dikarenakan alasan pendekatan terhadap hikmah di atas, yaitu melalui penghadiran murajjih-nya.
الروضة ج ٣ ص٣٣٧
وبه قال بعض أئمة الشافعية أيضًا، وهو المختار عند النووي والمتولي والبغوي، لرجحان دليل جواز البيع بالمعاطاة من جهة، لأنه على حد تعبير صاحب الروضة، لم يصح في الشرع اشتراط لفظ، فوجب الرجوع إلى العرف كغيره من الألفاظ
“Sebagian ulama Syafi’iyah menyatakan sahnya bai’ muathah, dan ini merupakan qaul mukhtar dari Imam Nawawi, Imam al-Mutawalli, dan Imam Baghawi, dengan alasan adanya beberapa dalil yang mengindikasikan bolehnya praktik tersebut menurut satu wajah. Hal ini berdasarkan ketentuan yang disampaikan oleh pengarang kitab al-Raudlah, bahwasannya tidak sah secara syara’ menetapkan syarat melafadhkan, oleh karena itu pengembalian hukum bai’ mu’athah wajib dilakukan menurut ‘urf, sebagaimana lafadh-lafadh yang lain.”
Mafhum dari ungkapan ini adalah mensyaratkan pelafadhan dalam akad, adalah sama pengertiannya dengan bai’ bi syarthin, yang dalam satu sisi juga dihukumi sebagai tidak boleh. Oleh karena itu, maka pelafadhan shighah aqad secara lafdhy adalah bukan salah satu ketentuan sahnya kontrak, sehingga ketentuan ashal dari aplikasi shighah, adalah dikembalikan pada ‘urf. Itu sebabnya kemudian Imam Nawawi rahimahullah ta’ala menyampaikan:
يصح بيع الأخرس وشراؤه بالإشارة والكتابة
“Akan jual belinya orang yang tuli adalah sah baik dengan isyarah maupun dengan tulisan.”
Alhasil, berdasarkan pendapat-pendapat di atas ini, maka akad pun bisa disampaikan secara hitam di atas putih [misalnya, melalui nota MoU], sebab tulisan secara umum bisa diterima oleh ‘urf dan mampu menggambarkan situasi ijab dan qabul
Permasalahannya, adalah apakah shighah aqad (klausul kontrak) semacam bisa dilakukan pada kasus munakahah?
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa di dalam pernikahan juga terdapat shighah aqad. Namun, ada perbedaan dalam ruang aplikasinya secara syara’.
Ada pengecualian terhadap cara penyampaian akad pada akad pernikahan. Di dalam pernikahan, ada ketentuan tersendiri sebagaimana yang disampaikan oleh al-Syeikh Khathib al-Syirbiny sebagai berikut:
مغني المحتاج ج ٣ ص ١٤٠
وَلاَ يَصِحُّ إِلاَّ بِلَفْظٍ اشْتُقَّ مِنْ لَفْظِ التَّزْوِيجِ أَوِ الإِْنْكَاحِ، دُونَ لَفْظِ الْهِبَةِ وَالتَّمْلِيكِ وَنَحْوِهِمَا كَالإِْحْلاَل وَالإِْبَاحَةِ؛ لأَِنَّهُ لَمْ يُذْكَرْ فِي الْقُرْآنِ سِوَاهُمَا فَوَجَبَ الْوُقُوفُ مَعَهُمَا تَعَبُّدًا وَاحْتِيَاطًا؛ لأَِنَّ النِّكَاحَ يَنْزِعُ إِلَى الْعِبَادَاتِ لِوُرُودِ النَّدْبِ فِيهِ، وَالأَْذْكَارُ فِي الْعِبَادَاتِ تُتَلَقَّى مِنَ الشَّرْعِ
“Akad nikah….tidak sah kecuali disampaikan dengan menggunakan lafadh musytaq [serapan] dari lafadh tazwij atau nikah. Jadi, tidak boleh menggunakan lafadh hibah, atau penguasaan [tamlik] atau yang semisal, contoh penghalalan [ihlal], pembolehan [ibahah]. Alasannya, karena di dalam Al-Qur’an tidak disebutkan penggunaan lafadh selain tazwij dan menikahi, sehingga wajib untuk mauquf pada kedua lafadh ini – sebagai bagian dari ketundukan hamba [ta’abbudy] atas Syari’ dan ihtiyath [kehati-hatian]. Selain itu karena alasan bahwa nikah merupakan bagian dari ibadah karena adanya dalil mengenai kesunnahannya. Berbagai penuturan bahwa nikah adalah bagian dari ibadah senantiasa dapat ditemui dalam teks-teks syara’.”
Karena adanya pengecualian ini, maka secara syara’ kita tidak mengenal istilah kawin kontrak, sebab nikah adalah bukan bagian dari aktifitas mu’amalah [bisnis].
Problem Terkini:
- Bagaimanakah pandangan Islam terhadap Kontrak Elektronik?
- Sudah terpenuhikah syarat dan rukunnya?
Baca Juga: