Refinancing adalah pembiayaan baru dengan sasaran berupa (1) nasabah baru atau (2) nasabah yang belum melunasi pembiayaan (kredit) lamanya. Adapun refinancing syariah adalah akad pembiayaan ulang dengan mengikut prinsip syariah dan diterapkan untuk nasabah Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Termasuk LKS adalah BMT, BPRS, dan semua yang tergabung dalam IKNB Syariah (Institusi Keuangan Non Bank) Syariah.
Tujuan dari pelegalan akad refinancing ini sebenarnya, adalah:
- Untuk melindungi nasabah yang potensial bagi Lembaga Keuangan Syariah (LKS), untuk bisa bangkit lagi dari keterpurukan akibat kondisi usahanya yang tengah diguncang kerugian atau bencana, dan lain sebagainya
- Karena sebagian dari nasabah refinancing ini adalah nasabah lama sehingga memiliki tanggungan cicilan yang belum dilunasinya, maka skema refinancing diupayakan untuk lebih lunak sehingga tidak terlalu membebani pihak nasabah.
- Sebagian dari nasabah lama yang nunggak angsuran, terkadang berasal dari akad pembiayaan murabahah. Ciri khas dari pembiayaan ini, adalah ada barang, ada harga kulak, ada harga jadi, dan ada margin keuntungan bagi LKS. Oleh karena itu, pemakaian akad bai’ ‘inah (murabahah) yang baru dengan obyek barang yang sama dengan pembiayaan yang lama, menjadikan praktik refinancing itu yang diperselisihkan karena menyerupai jual beli satu barang dengan dua akad atau jual beli utang lama dengan utang baru.
Salah satu alternatif untuk keluar dari akad bai’ ‘inah yang baru tersebut, maka diperkenalkanlah akad Musyarakah Mutanaqishah (MMQ) lewat Fatwa DSN-MUI Nomor 89/DSN-MUI/XII/2013. Bagaimana takyif fikih dari akad tersebut? Begini skema alurnya, berdasarkan Fatwa DSN tersebut.
Skema Refinancing dengan Akad MMQ
- Semua rukun, syarat dan ketentuan serta pedoman yang terdapat dalam akad musyarakah mutanaqishah (fatwa DSN-MUI Nomor: 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang Musyarakah Mutanaqishah), berlaku dalam akad pembiayaan ulang;
- Modal syirkah dalam musyarakah mutanaqishah, boleh berupa uang sesuai kesepakatan dan boleh juga berupa barang (‘urudh); dan
- Dalam hal modal syirkah berbentuk barang (‘urudh), maka harus dilakukan taqwim al-‘urudh.
Syarat dan Rukun MMQ
Berdasarkan Fatwa DSN MUI Nomor 73/DSN-MUI/XI/2008, diketahui bahwa syarat dan rukun MMQ terdapat dalam ketentuan umum Fatwa DSN, sebagai berikut:
- Musyarakah Mutanaqishah adalah Musyarakah atau Syirkah yang kepemilikan asset (barang) atau modal salah satu pihak (syarik) berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh pihak lainnya;
- Syarik adalah mitra, yakni pihak yang melakukan akad syirkah (musyarakah);
- Hishshah adalah porsi atau bagian syarik dalam kekayaan musyarakah yang bersifat musya’;
- Musya’ (مشاع)adalah porsi atau bagian syarik dalam kekayaan musyarakah (milik bersama) secara nilai dan tidak dapat ditentukan batas-batasnya secara fisik.
Hishah merupakan qashdu al-a’dham dari pemberlakuan MMQ. Sementara itu, barang yang diakadi adalah barang yang masuk kategori musya’.
Barang musya’, adalah yang tidak bisa dibagi menjadi 2. Oleh karenanya, kepemilikan terhadap barang itu merupakan kepemilikan bersama. Dengan demikiian, apabila salah satu pemilik menghendakii untuk menguasai seluruh barang, maka ia harus mengakuisisi porsi kepemilikan pihak lain yang menjadi syarik-nya. Akad akuisisi ini, selanjutnya disebut dengan akad syuf’ah.
Perbedaan MMQ dan Akad Syuf’ah
Pada dasarnya MMQ dan syuf’ah memiliki latar belakang obyek yang sama, yaitu barang musya’. Apabila salah satu pihak syarik ingin mengakuisisi seluruh barang musya’ tersebut, maka pihak yang lain harus menebusnya dengan jalan mengganti harganya. Itu sebabnya, ada istilah taqwim al-urudl, saat proses akuisisi itu berlangsung.
Perbedaan mendasarnya, adalah – pada MMQ – selama pihak syarik belum bisa mengakuisisi seluruh barang musya’ sehingga menjadi kepemilikan tunggal, maka pihak syarik yang memegang barang harus memberikan ujrah sewa kepada syarik (mitra) yang lain atas penggunaan barang tersebut. Dalam LKS, mitra itu adalah badan hukum LKS itu sendiri.
Hal ini tentu lain, bila dibandingkan dengan murni akad syuf’ah, di mana pihak yang memegang barang tidak perlu membayar upah sewa kepada rekan / mitranya. Mengapa? Sebab, syuf’ah adalah akad amanah. Nah, syuf’ah yang disertai syarat isti’jar inilah, yang dimaksud dengan MMQ.
Prosedur MMQ
Di dalam Bagian Keempat Ketentuan Khusus Fatwa DSN-MUI Nomor 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang MMQ, disampaikan bahwa prosedur yang berlaku dalam MMQ, adalah sebagai berikut:
- Aset Musyarakah Mutanaqishah dapat di-ijarah-kan kepada syarik atau pihak lain.
- Apabila aset Musyarakah menjadi obyek Ijarah, maka syarik (nasabah) dapat menyewa aset tersebut dengan nilai ujrah yang disepakati.
- Keuntungan yang diperoleh dari ujrah tersebut dibagi sesuai dengan nisbah yang telah disepakati dalam akad, sedangkan kerugian harus berdasarkan proporsi kepemilikan. Nisbah keuntungan dapat mengikuti perubahan proporsi kepemilikan sesuai kesepakatan para syarik.
- Kadar/Ukuran bagian/porsi kepemilikan asset Musyarakah syarik (LKS) yang berkurang akibat pembayaran oleh syarik (nasabah), harus jelas dan disepakati dalam akad.
- Biaya perolehan aset Musyarakah menjadi beban bersama sedangkan biaya peralihan kepemilikan menjadi beban pembeli.
Walhasil, ciri khas dari refinancing dengan pemakaian akad MMQ, adalah akan nampak sebagai berikut:
- Utang angsuran lama nasabah akan dilunasi dengan pembiayaan baru ini.
- Nasabah akan memiliki satu tanggungan utang baru ke LKS dengan skema pembiiayaan MMQ
- Cicilan nasabah, adalah sama dengan pertambahan porsi kepemilikan nasabah atas barang musya’ yang dijadikan obyek akad
- Setiap bulan, nasabah akan membayar angsuran pembelian barang musya’, ditambah dengan upah sewa porsi barang yang dimiliki LKS atas barang musya’ tersebut.
- Barang musya’ bisa terdiri dari sejumlah aset bergerak dan tak bergerak, misalnya tanah, rumah, mobil, dan lain sebagainya.
- Ongkos sewa akan cenderung menurun seiring bertambahnya porsi kepemilikan nasabah
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.