elsamsi log
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

Screenshot 20230615 075938 Gallery
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki ribuan pulau sehingga memiliki banyak bibir pantai. Di sisi lain, kondisi geografis ini meniscayakan adanya banyak aliran sungai yang mengalir menuju laut sehingga menghasilkan banyak sedimentasi di bibir muara sungai. 

Akibat langsung dari sedimentasi adalah pendangkalan wilayah pesisir karena tertutup oleh lumpur akibat erosi tanah di wilayah hulu dan masuk ke sungai terbawa banjir dan erosi, atau zat dan bahan terlarut lainnya sehingga mengendap di muara sungai. Semua itu berkorelasi langsung dengan kondisi geografis Indonesia serta iklim tropis yang meliputinya yang berakibat intensitas curah hujan yang juga tinggi.  

Solusi mengatasi pendangkalan ini, tidak bisa tidak, memerlukan upaya penanganan sejak dari hulu ke hilir. Reboisasi adalah bagian dari upaya preventif erosi akibat hujan dan terbawanya lapisan top soil tanah masuk ke sungai. 

Permasalahannya, secermat apapun tindakan preventif itu dilakukan, lambat laun memang akan tetap ada kasus pendangkalan muara sungai akibat sedimentasi yang kecepatan lajunya berbanding lurus dengan erosi.

Jika kasus pendangkalan sebagaimana telah dijelaskan di atas, tidak segera ditangani oleh pihak terkait, akibat tidak langsungnya adalah tidak bisanya kapal-kapal besar untuk masuk ke wilayah sungai. 

Di sisi lain akan terjadi peralihan fungsi muara sungai yang semula berpotensi untuk tambak namun karena kualitas kejernihan airnya yang kurang dan oksigen terlarutnya juga menurun menjadikan tambak menjadi kurang optimal untuk pertumbuhan ikan. Akibat tidak langsungnya, adalah produksi ikan tambak menurun.

Ketika kondisi di atas terjadi, maka yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah pengerukan muara sungai untuk mengatasi pendangkalan dan sedimentasi lumpur tersebut, dengan alasan peningkatan ekonomi masyarakat , petambak dan masyarakat nelayan di muara sungai pada umumnya.

Kalau lumpur di keruk, kualitas air akan berubah menjadi baik. Biota muara sungai – secara perlahan namun pasti – akan tumbuh optimal sebab hambatan yang menutup dan mengganggu kehidupannya hilang akibat pengerukan. 

Selanjutnya, hasil tangkapan ikan masyarakat pesisir pun akan perlahan meningkat di kemudian hari seiring optimalnya kondisi biotik dan abiotik muara sungai atau payau. Ini adalah dampak positifnya pengerukan.

Akan tetapi, kebijakan pengerukan sedimentasi, terkadang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang seharusnya dikeruk, malah tidak dikeruk karena alasan tidak menghasilkan nilai jual yang tinggi. 

Konsentrat hasil pengerukan yang terdiri atas lumpur, hanya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan reklamasi. Lain halnya dengan pasir. Pasir memiliki nilai jual yang lebih tinggi dan nilai guna atau manfaat yang lebih besar dibandingkan lumpur. Dan hal itu disadari oleh para pengusaha. 

Oleh karena alasan inilah, maka para penambang sedimentasi lebih memilih lokasi pengerukan yang agak jauh menjorok ke tengah laut dibanding ke muara sungai yang berarus tenang. 

Alasan logisnya, karena wilayah yang berarus deras dan agak ke tengah, memiliki kualitas hasil kerukan berupa pasir dengan kualitas tinggi. Sementara di perairan yang tenang, yang didapati kebanyakan hanyalah lumpur semata. 

Akibatnya, muncul efek samping, yaitu terjadi kerusakan pada ekosistem pantai yang sebenarnya sudah optimal. Tempat hidup dan berkembang biaknya ikan-ikan dan bisa dijadikan sumber mata pencaharian nelayan menjadi rusak. Dan ini merupakan musibah terbesar bagi masyarakat nelayan, baik dalam jangka waktu pendek maupun panjang. 

Lalu, Apa Solusi yang bisa diberikan oleh syara’?

Nash al-Qur’an telah menginformasiikan bahwa telah nyata dampak kerusakan yang terjadi di darat dan di laut akibat ulah manusia. Dampak yang dimaksud, sudah barang tentu adalah berupa efek kerugian (dlarar) yang nyata. 

Dlarar terjadi karena ada pihak-pihak yang telah melakukan perbuatan ta’addy (melampaui batas aturan yang ditetapkan), dan ‘udwanan (menebar konflik ). 

Karena laut dan muara sungai adalah wilayah yang dikuasai secara berjamaah oleh masyarakat (darb al-musytarak), maka sudah barang tentu akibat tindakan ta’addy dan ‘udwanan dari para pengusaha penambang pasir laut itu akan turut dirasakan secara berjamaah oleh masyarakat pula. 

Banyak hak-hak yang terhambat (al-hajr) di dalamnya. Termasuk hak berusaha, hak transportasi (haq al-murur), dan lain sebagainya. Bahkan, dampak terparah adalah abrasi, naiknya permukaan air laut dan turunnya tanah sehingga air laut masuk ke wilayah perkampungan. Penyebabnya, karena barier alami penahan gelombang laut yang terdiri atas terumbu karang mengalami kerusakan, dampak langsung dari eksploitasi pasir laut.

Ditinjau dari aspek fikih, apabila semua kerugian ini bisa dihitung besarannya, maka para pelaku bisa dikenai tuntutan ganti rugi (ta’widl). 

Akan tetapi, fakta yang berlaku sejauh ini, pemenuhan ganti rugi itu diatur lewat kebijakan pemberian CSR (Corporate Social Responsibility). Fakta lain menyebutkan, CSR perusahaan penambang juga jarang mengalir ke wilayah pesisir tempat penambangan itu  berlangsung. Masyarakat pesisir yang merasakan akibat langsung eksploitasi, tidak mendapatkan kompensasi kerugian. 

—– 0000——

Pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023, yang mengijinkan ekspor pasir dan eksploitasi sedimentasi laut oleh pemerintah terhadap badan usaha, diprediksi oleh para analisis dampak lingkungan akan berlaku sebagai soko guru rusaknya ekosistem pantai. Jika hal ini benar-benar terjadi, maka akan ada beberapa pelaku yang menjadi penyebab timbulnya kerugian, yaitu: (1) pemerintah selaku yang memberi ijin, dan (2) pengusaha tambang pasir dan lumpur. Keduanya bertanggung jawab penuh dalam antisipasi dan menanggulangi dampaknya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Berikut ini adalah beberapa tuntunan syara’ yang berhubungan dengan ganti rugi kerusakan akibat eksploitasi fasilitas umum, yang dalam hal ini bisa kita qiyaskan pada kebijakan ekspor pasir laut dan pengerukan sedimentasi oleh pemeriintah dewasa ini.

Pertama, pengusaha selaku penyebab langsung kerugian bertanggung jawab dalam ganti rugi. 

إذا وضع إنسان على الطريق العام حجارة أو أدوات عمارة فعثر به حيوان وتلف أو صب أحد على الطريق العام شيأ يزلق به كالدهن والماء الكثير ونحوهما فزلق به حيوان وتلف يضمن

“Apabila seseorang menaruh batu atau perkakas bangunan di jalanan umum, lalu ada hewan yang mengais-ngaisnya, kemudian hewan tersebut mengalami kerusakan, atau ada seseorang yang menuang sesuatu yang licin di jalanan umum, semacam minyak atau air yang banyak, atau semisal keduanya, kemudian ada binatang ternak yang terpeleset karenanya dan rusak, maka (penaruh atau penuang cairan) wajib memberikan tempuhan ganti kerugian.” (Al-Zuhaily, Nadhariyatu al-Dlammân awa Ahkâm al-Masûliyyah al-Madaniyah wa al-Jinaiyah fi al-Fiqhy al-Islâmy, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2012: 68-69)

Kedua, pemerintah bertanggung jawab selaku penanggung ganti rugi

ولو حفر بئرا في سوق العامة أو بنى فيه دكانا فعطب به شيء: إن فعل ذلك بإذن الحاكم لايكون ضامنا وبغير إذنه يكون ضامنا

Artinya: “Andaikan ada seseorang yang menggali subur di dekat pasar umum atau membangun toko di lokasi pasar itu, kemudian (tanpa diduga) menyebabkan kerusakan barang lainnya: ‘maka jika tindakan pelaku di atas dilakukan dengan seidzin Hakim, maka ia tidak wajib menanggung risiko kerusakan barang lain tersebut. Akan tetapi apabila tindakannya tanpa disertai idzin Hakim, maka ia wajib menanggung ganti rugi.’” (Al-Zuhaily, Nadhariyatu al-Dlammân awa Ahkâm al-Masûliyyah al-Madaniyah wa al-Jinaiyah fi al-Fiqhy al-Islâmy, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2012: 69)

Ketiga, pentingnya evaluasi kebijakan yang telah berlaku oleh pemerintah dan menuntut pihak yang melanggar aturan untuk melakukan ganti rugi akibat tindakannya yang melampaui batas yang ditetapkan

وللإنتفاع فيما يمس حقوق الناس في الطرقات يشترط شرطان: أولا – السلامة يعني عدم الآضرار بالآخرين في الحالات التي يمكن التحرز منها. ثانيا – الحصول على إذن من ولي الأمر في الجلوس ووضع الأشياء وإحداثها ونحو ذلك فإن خالف الشخص أحد هذين الشرطين كان ضامنا أثر فعله الذي تسبب به

“Untuk pemanfaatan sarana jalan yang berhubungan dengan hak masyarakat umum maka berlaku dua syarat, yaitu: Pertama, keselamatan, yakni ketiadaan merugikan pihak lain dalam beberapa hal yang bisa dijaga. Kedua, mendapatkan izin dari pemerintah setempat dalam hal duduk, atau menaruh sesuatu, mendirikan sesuatu dan sejenisnya. Jika di kemudian hari ada pihak yang tidak melaksanakan salah satu dari dua syarat ini, maka ia harus bertanggung jawab atas resiko yang ditimbulkan karena usahanya.” (Al-Zuhaily, Nadhariyatu al-Dlammân awa Ahkâm al-Masûliyyah al-Madaniyah wa al-Jinaiyah fi al-Fiqhy al-Islâmy, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2012: 68)

Spread the love

Related Articles

Tinggalkan Balasan