Jual beli utang dengan utang merupakan sistem jual beli yang dilarang secara langsung lewat lisan Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Jumhur ulaman mengatakan bahwa makna larangan ini adalah la yahillu (tidak halal). Imam Ahmad radliyallahu ‘anhu mengatakan bahwa ini adalah keputusan ijma’(konsensus). Ibnu Mundzir juga menyebutkan hal yang sama sebagaimana dalam sebuah nuqilan.
Alhasil, dalam rupa apapun, asalkan memenuhi kaidah bahwa komoditas utang yang dibeli dengan harga berupa utang juga, maka laba yang dihasilkannya adalah termasuk la yahillu.
Masalahnya, adalah para ulama menetapkan bahwa akad hiwalah (oper tanggungan), juga memenuhi kaidah jual beli utang dengan utang.
Misalnya, Pah Ahmad punya utang kepada Pak Rabi’. Pak Rabi’ punya utang kepada Pak Khamis. Pak Rabi’ memberitahu kepada Pak Khamis agar pembayaran utangnya sebesar sekian ribu agar ditunaikan secara langsung saja ke Pak Ahmad sebab Pak Rabi’ punya utang ke Pak Ahmad. Pak Khamis setuju sehingga utang Pak Khamis ke Pak Rabi’ yang sebesar sekian ribu itu langsung dibayarkan ke Pak Ahmad.
Nah, akad seperti ini disebut dengan akad hiwalah. Hukumnya adalah boleh secara syara’ dan penjelasannya disampaikan oleh para ulama’ dalam berbagai kitab turats fikih.
Kebolehan Jual Beli Utang dengan Utang oleh Para Ulama’
Sudah barang tentu, praktik sebagaimana disampaikan oleh para ulama di atas adalah berangkat dari penelusuran manhajy (paradigmatik). Maksud dari manhajy ini adalah merunut dalil ushuliyah dan selanjutnya digunakan untuk memecahkan masalah furu’iyah (cabang). Bagaimana pola manhajy itu dilakukan? Simak ulasan berikut!
Pertama, jual beli merupakan istilah lain dari pertukaran (muqabalatu al-syai’ bi al-syai’). Syarat sah dari pertukaran, adalah apabila barang dan ‘iwadl-nya bersifat ma’lum (diketahui) dan bisa saling diserahterimakan. Serah terima (taqabudl) barang ini tidak selalu harus kontan (halan), namun bisa juga dengan jalan penundaan (ta’khiran). Apapun wujud barang (mutsman) dan harga (tsaman) itu.
Kedua, batas minimal penyerahan yang ditetapkan oleh syara’, adalah salah satunya menghendaki bisa saling diserahterimakan. Jika tidak harganya, maka barangnya. Jika harganya yang diserahkan duluan, maka disebut akad salam (order). Jika barangnya yang diserahkan duluan, maka disebut akad jual beli tempo (bai’ bi al-ajal). Tujuan syara’ (muqtadla al-hukmi) dari keharusan penyerahan ini adalah menghindari terjadinya gharar (spekulasi) dan dlarar (kerugian).
Coba kita bayangkan, bagaimana ruginya pihak penjual jika harganya sudah disepakati di awal, akan tetapi harga itu tidak diserahkan langsung? Sementara, waktu jatuh temponya masih satu minggu, satu bulan atau satu tahun kemudian. Jangan-jangan harga di hari jatuh tempo, sudah berubah naik, atau turun.
Kalau harganya naik, maka yang rugi adalah penjual. Rugi karena uang belum diserahkan sehingga ia tidak bisa memutarnya. Demikian halnya dengan pembeli jika harganya turun sementara barang belum diserahkan. Sudah tidak bisa memanfaatkan barang, harga belinya masih tinggi pula. Padahal, harga barang terkini sudah pada turun.
Itulah bagian dari dlarar dan gharar yang dimaksud oleh syara’ tersebut. Karenanya, para fuqaha’ menetapkan harus bisa diserahkan salah satu harga atau barangnya. Tujuannya, menghindari terjadinya gharar dan dlarar. La dlarara wa la dlirara (tidak boleh berbuat merugikan, atau saling merugikan).
Ketiga, syara’ menetapkan bahwa tidak boleh ada transaksi riba. Yang dinamakan dengan riba, adalah saling melebihkan takaran, timbangan, atau kadar dari salah satu barang atau harga yang ditukar. Ini adalah ushul dari riba al-fadly. Hal yang sama juga berlaku pada transaksi riba al-qardly (riba utang). Tidak boleh saling melebihkan tsaman (uang) yang ditukar.
Praktik larangan riba yang terjadi pada riba nasiah (riba kredit) dan riba al-yad (riba jual beli tempo) adalah berangkat dari kedua ushul riba al-fadly dan riba al-qardly tersebut.
Namun sebelumnya penting dicatat bahwa riba al-nasiah dan riba al-yad adalah bagian dari transaksi riba yang terjadi pada kasus jual beli. Oleh karenanya, para fuqaha’ melabeli keduanya sebagai riba al-buyu’.
Pada kasus riba al-nasiah, riba itu terjadi dikarenakan skema cicilan harga lama dibeli dengan skema cicilan harga baru. Misalnya, berdasarkan skema cicilan harga lama, harga putus (harga lunas) adalah sebesar 100 ribu. Sementara pada skema cicilan harga baru, harga lunas menjadi 110 ribu.
Pertukaran (mu’awadlah) antara skema cicilan 100 ribu menjadi 110 ribu ini adalah memenuhi kaidah harga lama dibeli dengan harga baru. 100 ribu dibeli dengan harga 110 ribu. Utang 100 ribu dibeli dengan utang 110 ribu rupiah. Menjual utang lama sebesar 100 ribu yang dibeli dengan utang baru sebesar 110 ribu.
Padahal, syara’ sudah menetapkan landasan bahwa barang ribawi sejenis tidak boleh ditukar dengan lebih dari salah satunya (riba al-fadly). Itulah alasan dilarangnya praktik riba nasiah yang merupakan bagian dari riba al-buyu (riba jual beli).
Nah, baik riba nasi’ah maupun riba al-yad, adalah sama-sama ada pada kasus utang, karenanya disebut juga dengan istilah jual beli utang dengan utang (bai’ al-dain bi al-dain). Hukumnya adalah haram karena adanya illat riba.
Hikmah Syara
Larangan jual beli utang dengan utang dinyatakan secara tegas oleh nash. Namun, secara syara’, oper tanggungan kepada pihak lain yang sama-sama memiliki ikatan utang, hukumnya juga dinyatakan secara tegas sebagai boleh oleh nash. Akad oper tanggungan dikenal dengan istilah akad hiwalah.
Tentu kedua istilah ini tidak bisa saling dibenturkan karena dua-duanya adalah masyru’. Yang dibutuhkan adalah cara penyikapan.
Jumhur ulama’ madzahib al-arba’ah telah menjelaskan cara penyikapan itu. Caranya adalah dikembalikan pada syarat dan rukun jual beli, serta batasan-batasannya.
Syarat sah berlakunya jual beli adalah apabila tidak ada praktik riba, gharar, ghabn, dlarar, ghisyy dan jahalah. Nah, berdasarkan hal inilah maka ditetapkan bolehnya hukum jual beli utang dengan utang, lengkap dengan segala batasannya.
Batasan kebolehan praktik jual beli utang dengan utang adalah apabila tidak ada unsur saling melebihkan. Apabila terjadi kelebihan di salah satu harga atau barang yang ditukar, maka disitulah terjadi praktik riba.
Hal yang sama juga berlaku pada larangan berlaku dlarar dan gharar. Untuk itulah maka ditetapkan batasan syara’ bahwa salah satu dari harga dan barang harus bisa diserahkan dulu. Pada kasus hiwalah, utang yang berlaku sebagai harga, sudah diserahkan kepada pihak yang punya kewajiban (muhal ‘alaih). Alhasil, tinggal menyerahkan utang yang berlaku sebagai barangnya (mutsman). Demikian sebaliknya. Batasannya kedua barang yang ditukar harus sama kadar dan ukurannya. Wallahu a’lam bi al-shawab
Konsultasi Bisnis
Konsultasikan Plan Bisnis anda ke eL-Samsi Group Consulting & Planning. Pastikan bahwa plan bisnis anda sudah bergerak di atas rel dan ketentuan syara’! Awal perencanaan yang benar meniscayakan pendapatan yang halal dan berkah! Hubungi CP 082330698449, atau ke email: elsamsi2021@gmail.com! Negosiasikan dengan tim kami! Kami siap membantu anda melakukan telaah terhadap plan bisnis anda dan pendampingan sehingga sah dan sesuai dengan sistem bisnis syariah.
Muhammad Syamsudin
eL-Samsi Group Consulting & Planning bisnis berorientasi Bisnis Syariah. Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center