Tulisan ini bermula dari salah seorang personil militer aktif yang berkirim pesan ke penulis. Beliau mendapati beberapa fenomena pelatihan militer oleh sekelompok masyarakat dengan mengatasnamakan diri sebagai persiapan untuk melakukan jihad.
Sebenarnya, penulis merasa tidak layak untuk menjelaskan mengenai hal ini. Akan tetapi, mengingat ada beberapa hal penting mengenai istilah i’dad li al-jihad tersebut di dalam beberapa fikih turats, dan dua kali penulis pernah membahasnya bersama dengan Tim dari Lemhanas pada waktu itu, maka di sini penulis hanya akan menyampaikan mengenai bagaimana hal tersebut disampaikan lewat kajian kami saat itu.
Pertama, latihan militer hanya boleh bila dilakukan dengan seizin pemerintah atau wakilnya.
كُرِهَ غَزْوٌ بِلَا إذْنِ إمَامٍ بِنَفْسِهِ أَوْ نَائِبِهِ لِأَنَّهُ أَعْرَفُ بِمَا فِيهِ الْمَصْلَحَةُ
“Makruh hukumnya latihan peperangan tanpa seijin imam secara langsung atau lewat wakilnya, sebab merekalah yang lebih mengetahui tentang kemaslahatan rakyatnya.” (Hasyiyatu al-Jamal)
Kedua, Tidak selamanya yang dinamakan berjihad itu mencakup hal-hal yang berkaitan dengan olah senjata atau keterampilan menggunakan senjata. Hal ini dapat diketahui dengan merujuk pada Kitab Fatawi Fiqhiyyatu al-Kubra, Juz 9, halaman 451, Syeikh Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah sebagai berikut::
الفتاوى الفقهية الكبرى – (ج 9 / ص 451)
( سُئِلَ ) رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى كَيْفَ عَدَّ الْأَصْحَابُ الرَّمْيَ بِنِيَّةِ الْجِهَادِ سُنَّةٌ مَعَ قَوْله تَعَالَى { وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ } وَالْأَمْرُ لِلْوُجُوبِ وَالْقُوَّةُ مُفَسَّرَةٌ فِي الْأَحَادِيثِ بِالرَّمْيِ ؟ ( فَأَجَابَ ) بِقَوْلِهِ اسْتَنَدُوا فِي ذَلِكَ إمَّا لِقَوْلِ بَعْضِ الصَّحَابَةِ : الْآيَةُ مَنْسُوخَةٌ وَإِذَا نُسِخَ الْوُجُوبُ بَقِيَ الْجَوَازُ الشَّامِلُ لِلنَّدْبِ الدَّالِّ عَلَيْهِ كَثْرَةُ الْأَحَادِيثِ فِي كَثْرَةِ ثَوَابِ الرَّمْيِ وَالتَّرْغِيبِ فِيهِ وَإِمَّا احْتِمَالُ أَنَّ الْأَمْرَ لِلْإِرْشَادِ وَلَا تَرِدُ عَلَيْهِ تِلْكَ الْأَحَادِيثُ نَظَرًا إلَى أَنَّ الْأَمْرَ الْإِرْشَادِيَّ لَا ثَوَابَ فِيهِ لِأَنَّ هَذَا إنَّمَا هُوَ مِنْ حَيْثُ ذَاتُهُ وَإِمَّا بِالنَّظَرِ لِمَا يَقْتَرِنُ بِهِ . فَقَدْ يَعْظُمُ ثَوَابُهُ بِخِلَافِ الْأَمْرِ الشَّرْعِيِّ فَإِنَّ الثَّوَابَ عَلَيْهِ مِنْ حَيْثُ ذَاتُهُ مِنْ غَيْرِ اعْتِبَارِ أَمْرٍ آخَرَ يَقْتَرِنُ بِهِ وَهَذَا الْفَرْقُ وَإِنْ لَمْ أَرَهُ إلَّا أَنَّهُ قَدْ يُومِئُ إلَيْهِ بَعْضُ الْفُرُوقِ مِنْ الْكَرَاهَةِ الشَّرْعِيَّةِ وَالْإِرْشَادِيَّة وَإِمَّا أَنَّهُمْ نَظَرُوا إلَى عُمُومِ مَا الْمُفَسَّرَةِ بِقُوَّةٍ وَذَلِكَ شَامِلٌ لِلرَّمْيِ وَغَيْرِهِ كَالسَّيْفِ وَالسِّلَاحِ وَالْحُصُونِ وَذُكُورِ الْخَيْلِ كَمَا قَالَهُ كَثِيرٌ مِنْ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَلَفْظُ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ هِيَ الْقَوْسُ إلَى السَّهْمِ فَمَا دُونَهُ وَأَمَّا الْحَدِيثُ الصَّحِيحُ وَهُوَ قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { أَلَا إنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ } فَهُوَ مِنْ بَابِ { الْحَجُّ عَرَفَةَ } كَمَا قَالَهُ مَكْحُولٌ. وَعَلَى هَذَا فَالْأَمْرُ فِي الْآيَةِ لِلْوُجُوبِ لِأَنَّ التَّهَيُّؤَ لِجِهَادِ الْعَدُوِّ وَالِاسْتِعْدَادَ لِمُلَاقَاتِهِ بِدُخُولِ جَيْشِنَا إلَى دَارِهِ كُلَّ سَنَةٍ أَوْ بِعِمَارَةِ الثُّغُورِ وَنَحْوِهَا حَتَّى لَا يَبْقَى لَهُ سَبِيلٌ إلَى دُخُولِ دَارِنَا وَاجِبٌ عَلَى الْكِفَايَةِ وَحِينَئِذٍ إذَا نَظَرْنَا لِلرَّمْيِ مِنْ حَيْثُ ذَاتُهُ قُلْنَا إنَّهُ سُنَّةٌ أَوْ مِنْ حَيْثُ دُخُولُهُ تَحْتَ الْأَمْرِ الْمَوْضُوعِ حَقِيقَةً لِلْوُجُوبِ قُلْنَا هُوَ مِنْ بَعْضِ جُزْئِيَّاتِ الْمَفْرُوضِ وَنَظِيرُهُ الْعِتْقُ مَثَلًا فِي الْكَفَّارَةِ الْمُخَيَّرَةِ فَهُوَ مِنْ حَيْثُ إنَّهُ أَفْضَلُهَا مَنْدُوبٌ وَمِنْ حَيْثُ تَأَدِّي الْوَاجِبِ بِهِ وَاجِبٌ وَلَعَلَّ هَذَا التَّقْرِيرَ أَوْلَى مِنْ قَوْلِ بَعْضِهِمْ الْقَوْلُ بِوُجُوبِ الرَّمْيِ أَخْذًا مِنْ الْأَمْرِ فِي الْآيَةِ لَيْسَ مَعْنَاهُ أَنَّهُ وَاجِبٌ لَعَيْنِهِ بَلْ إنَّهُ مِنْ بَابِ إيجَابِ شَيْءٍ لَا بِعَيْنِهِ كَمَا قَالَهُ الْفُقَهَاءُ فِي خَائِفِ الْعَنَتِ أَنَّهُ يَجِبُ عَلَيْهِ التَّعَفُّفُ وَلَا يُقَالُ إنَّ النِّكَاحَ فِي حَقِّهِ وَاجِبٌ عَلَى مَعْنَى أَنَّهُ وَاجِبٌ لَعَيْنِهِ بَلْ عَلَى مَعْنَى أَنَّ السَّعْيَ فِي الْإِعْفَافِ وَاجِبٌ إمَّا بِالنِّكَاحِ وَإِمَّا بِالتَّسَرِّي فَإِيجَابُ النِّكَاحِ عَلَيْهِ مِنْ بَابِ إيجَابِ شَيْءٍ لَا بِعَيْنِهِ وَمَا كَانَ مِنْ هَذَا الْقَبِيلِ إذَا حُكِمَ عَلَيْهِ بِعَيْنِهِ قِيلَ إنَّهُ سُنَّةٌ وَكَذَلِكَ هُنَا الْوَاجِبُ إعْدَادُ مَا يُنْتَفَعُ بِهِ فِي الْقِتَالِ وَيُدْفَعُ بِهِ الْعَدُوُّ أَمَّا الرَّمْيُ أَوْ غَيْرُهُ وَإِذَا حُكِمَ عَلَى الرَّمْيِ بِعَيْنِهِ قِيلَ إنَّهُ سُنَّةٌ ، وَاَللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ .
“Suatu ketika Syeikh Ibnu Hajar rahimahullah di tanya mengenai bagaimana agar latihan para pasukan pemanah dengan niat jihad itu bisa dinilai sebagai kesunnahan seiring ada perintah dari Allah SWT “Dan siapkanlah (latihlah) mereka sekuat tenaga kalian!” Padahal adanya perintah adalah untuk menunjuk makna wajib. Kalimat “al-Quwwah” sebagaimana terdapat dalam ayat sering ditafsirkan dengan hadits yang menceritakan pasukan pemanah?”
( فَأَجَابَ ) بِقَوْلِهِ اسْتَنَدُوا فِي ذَلِكَ إمَّا لِقَوْلِ بَعْضِ الصَّحَابَةِ : الْآيَةُ مَنْسُوخَةٌ وَإِذَا نُسِخَ الْوُجُوبُ بَقِيَ الْجَوَازُ الشَّامِلُ لِلنَّدْبِ الدَّالِّ عَلَيْهِ كَثْرَةُ الْأَحَادِيثِ فِي كَثْرَةِ ثَوَابِ الرَّمْيِ وَالتَّرْغِيبِ فِيهِ
“Beliau menjawab: Ayat perintah mempersiapkan diri untuk berjihad itu, oleh para ulama adakalanya disandarkan pada sebagian sahabat saja: yaitu bahwa ayat tersebut telah dinasakh. Apabila hukum kewajiban itu telah dinasakh, maka yang tersisa adalah hukum jawaz yang menyimpan makna kesunnahan melakukannya. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh banyak hadits yang menceritakan mengenai besarnya fahala berlatih panahan dan anjuran mengenai latihan dengannya.
وَإِمَّا احْتِمَالُ أَنَّ الْأَمْرَ لِلْإِرْشَادِ وَلَا تَرِدُ عَلَيْهِ تِلْكَ الْأَحَادِيثُ نَظَرًا إلَى أَنَّ الْأَمْرَ الْإِرْشَادِيَّ لَا ثَوَابَ فِيهِ
Adakalanya pula, ayat perintah berlatih memanah itu hanya menunjuk faedah irsyady saja, sehingga tidak bisa dikembalikan pada dhahir hadits teks perintah berlatih panahan di atas. Hal ini karena melihat bahwa setiap perintah yang berfungsi memberi faedah irsyad adalah tidak memiliki nilai fahala sama sekali.”
لِأَنَّ هَذَا إنَّمَا هُوَ مِنْ حَيْثُ ذَاتُهُ وَإِمَّا بِالنَّظَرِ لِمَا يَقْتَرِنُ بِهِ . فَقَدْ يَعْظُمُ ثَوَابُهُ بِخِلَافِ الْأَمْرِ الشَّرْعِيِّ فَإِنَّ الثَّوَابَ عَلَيْهِ مِنْ حَيْثُ ذَاتُهُ مِنْ غَيْرِ اعْتِبَارِ أَمْرٍ آخَرَ يَقْتَرِنُ بِهِ وَهَذَا الْفَرْقُ وَإِنْ لَمْ أَرَهُ إلَّا أَنَّهُ قَدْ يُومِئُ إلَيْهِ بَعْضُ الْفُرُوقِ مِنْ الْكَرَاهَةِ الشَّرْعِيَّةِ وَالْإِرْشَادِيَّة
Berdasarkan hal ini, maka perintah berlatih panah terkadang dimaknai dari sisi dzatnya dan terkadang pula dimaknai dari aspek yang menyertai turunnya perintah. Apabila ditinjau dari aspek dzatiyahnya perintah, maka berlatih panahan itu tetap menunjuk pada besarnya fahala meski berbeda konteks dengan perintah syara’. Karena yang dinamakan fahala itu adalah kesesuaian dengan dzatiyahnya perintah, tanpa harus melihat pada perkara lain dibalik asal turunnya perintah. Di sinilah kemudian terjadi perbedaan. Dan saya tidak melihat hal ini diisyaratkan oleh ayat tersebut melainkan justru saya melihat adanya sebagian isyarat yang lain tentang adanya status kemakruhan berlatih panahan itu yang bersifat syar’i dan irsyadi.”
وَإِمَّا أَنَّهُمْ نَظَرُوا إلَى عُمُومِ مَا الْمُفَسَّرَةِ بِقُوَّةٍ وَذَلِكَ شَامِلٌ لِلرَّمْيِ وَغَيْرِهِ كَالسَّيْفِ وَالسِّلَاحِ وَالْحُصُونِ وَذُكُورِ الْخَيْلِ كَمَا قَالَهُ كَثِيرٌ مِنْ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَلَفْظُ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ هِيَ الْقَوْسُ إلَى السَّهْمِ فَمَا دُونَهُ
Di sisi lain para ulama memandang sisi keumuman penafsiran kalimat “quwwah”. Kalimat ini tidak hanya memuat pengertian keterampilan memanah, melainkan juga selainnya, meliputi keterampilan pedang, tombak, perisai, berkuda, sebagaimana pengertian ini juga diungkap oleh banyak para sahabat dan tabiin. Sebagaimana menurut penafsiran Sa’id bin Musayyab, lafadh quwwah itu dimaknai sebagai busur, anak panah dan selainnya.”
وَأَمَّا الْحَدِيثُ الصَّحِيحُ وَهُوَ قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { أَلَا إنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ } فَهُوَ مِنْ بَابِ { الْحَجُّ عَرَفَةَ } كَمَا قَالَهُ مَكْحُولٌ. وَعَلَى هَذَا فَالْأَمْرُ فِي الْآيَةِ لِلْوُجُوبِ لِأَنَّ التَّهَيُّؤَ لِجِهَادِ الْعَدُوِّ وَالِاسْتِعْدَادَ لِمُلَاقَاتِهِ بِدُخُولِ جَيْشِنَا إلَى دَارِهِ كُلَّ سَنَةٍ أَوْ بِعِمَارَةِ الثُّغُورِ وَنَحْوِهَا حَتَّى لَا يَبْقَى لَهُ سَبِيلٌ إلَى دُخُولِ دَارِنَا وَاجِبٌ عَلَى الْكِفَايَةِ
“Adapun berdasarkan penjelasan hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Ingatlah! Sesungguhnya “al-quwwah” itu adalah memanah.” Hadits ini mengungkap pengertian layaknya “Haji itu Arafah”, sebagaimana uraian ini disampaikan oleh Makhul.
وَحِينَئِذٍ إذَا نَظَرْنَا لِلرَّمْيِ مِنْ حَيْثُ ذَاتُهُ قُلْنَا إنَّهُ سُنَّةٌ أَوْ مِنْ حَيْثُ دُخُولُهُ تَحْتَ الْأَمْرِ الْمَوْضُوعِ حَقِيقَةً لِلْوُجُوبِ قُلْنَا هُوَ مِنْ بَعْضِ جُزْئِيَّاتِ الْمَفْرُوضِ وَنَظِيرُهُ الْعِتْقُ مَثَلًا فِي الْكَفَّارَةِ الْمُخَيَّرَةِ فَهُوَ مِنْ حَيْثُ إنَّهُ أَفْضَلُهَا مَنْدُوبٌ وَمِنْ حَيْثُ تَأَدِّي الْوَاجِبِ بِهِ وَاجِبٌ وَلَعَلَّ هَذَا التَّقْرِيرَ أَوْلَى مِنْ قَوْلِ بَعْضِهِمْ
Sampai di sini, apabila kita memandang dari sisi dzatiyahnya perintah berlatih panah, maka kita bisa mengatakan bahwa hukum berlatih panah adalah sunnah. Dan apabila kita melihatnya dari sisi turunnya konteks ayat yang memuat lafadh perintah sehingga menyimpan pengertian wajib pula, maka kita juga bisa mengatakan bahwa perintah berlatih panah itu adalah termasuk bagian dari jenis keterampilan yang senantiasa wajib untuk dilaksanakan. Sebagai perbandingannya adalah memerdekakan budak (misalnya) di dalam penentuan pilihan pembayaran kafarah. Berdasarkan hal ini, maka berlatih panah itu adalah seolah menempati bagian paling utamanya keterampilan yang harus dilatih, alhasil hukumnya adalah sunnah. Dan karena berdasarkan pertimbangan bahwa berusaha menunaikan kewajiban, hukumnya adalah wajib pula, maka barangkali inilah pilihan dari sebagian pendapat para ulama di atas sehingga dipandang bahwa berlatih panah adalah menempati derajat aula (lebih utama).”
الْقَوْلُ بِوُجُوبِ الرَّمْيِ أَخْذًا مِنْ الْأَمْرِ فِي الْآيَةِ لَيْسَ مَعْنَاهُ أَنَّهُ وَاجِبٌ لَعَيْنِهِ بَلْ إنَّهُ مِنْ بَابِ إيجَابِ شَيْءٍ لَا بِعَيْنِهِ كَمَا قَالَهُ الْفُقَهَاءُ فِي خَائِفِ الْعَنَتِ أَنَّهُ يَجِبُ عَلَيْهِ التَّعَفُّفُ وَلَا يُقَالُ إنَّ النِّكَاحَ فِي حَقِّهِ وَاجِبٌ عَلَى مَعْنَى أَنَّهُ وَاجِبٌ لَعَيْنِهِ بَلْ عَلَى مَعْنَى أَنَّ السَّعْيَ فِي الْإِعْفَافِ وَاجِبٌ إمَّا بِالنِّكَاحِ وَإِمَّا بِالتَّسَرِّي فَإِيجَابُ النِّكَاحِ عَلَيْهِ مِنْ بَابِ إيجَابِ شَيْءٍ لَا بِعَيْنِهِ وَمَا كَانَ مِنْ هَذَا الْقَبِيلِ إذَا حُكِمَ عَلَيْهِ بِعَيْنِهِ قِيلَ إنَّهُ سُنَّةٌ وَكَذَلِكَ هُنَا الْوَاجِبُ إعْدَادُ مَا يُنْتَفَعُ بِهِ فِي الْقِتَالِ وَيُدْفَعُ بِهِ الْعَدُوُّ أَمَّا الرَّمْيُ أَوْ غَيْرُهُ وَإِذَا حُكِمَ عَلَى الرَّمْيِ بِعَيْنِهِ قِيلَ إنَّهُ سُنَّةٌ ، وَاَللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ .
Pendapat yang menyatakan wajibnya berlatih panahan yang diambil karena adanya shighah perintah di dalam ayat, tidak bisa dimaknai bahwa berlatih panah adalah sebagai sebuah kewajiban dalam arti materiil perintah. Akan tetapi, perintah tersebut selayaknya dimaknai sebagai kewajiban melakukan hal yang serupa dengan berlatih panah, alhasil bukan ain panahan unsigh. Hal ini sebagaimana layaknya pendapat para fuqaha ketika menghukumi orang yang takut melakukan perbuatan zina. Kewajiban yang berlaku atas pihak ini adalah kewajiban menjaga diri dan bukannya kewajiban nikah itu sendiri secara materiil. Oleh karenanya, hal wajib yang berlaku padanya adalah berusaha meneguhkan penjagaan diri tersebut, yang bisa dilakukan antara lain salah satunya dengan jalan menikahi perempuan merdeka, atau menikahi budak perempuannya. Kewajiban menikah yang berlaku atas pihak yang takut zina ini adalah termasuk bab ijabu syaiin la bi ‘ainihi (kewajiban menunaikan sesuatu yang tidak secara mateiriilnya). Berdasarkan pertimbangan ini, maka ketika dihukumi secara materiil, maka fisik menikah itu adalah bagian dari kesunahan. Walhasil, demikian pula sisi kewajiban yang berkaitan dengan persiapan sesuatu yang bisa memberi manfaat saat peperangan, dan dapat berfaedah mengusir musuh, seperti keterampilan memanah atau selainnya. Bila dihukumi berdasarkan fisik keterampilan memanah itu sendiri, maka hukumnya dapat dikatakan sebagai kesunnahan. Wallahu a’lam
Kesimpulan
Alhasil, berdasarkan penjelasan ini, maka kita dapat menarik kesimpulan umum, bahwa:
- Latihan peperangan yang dilakukan oleh selain militer atau masyarakat yang terkena kewajiban melakukan bela negara, hukumnya adalah haram bila tidak disertai adanya ijin dari imam atau pemerintah yang berkuasa.
- Jihad dalam pengertian umum (menegakkan / meninggikan kalimat tauhid) bagi masyarakat umum non militer, adalah tdiak harus dengan angkat senjata, melainkan bisa dilakukan dengan jalan:
- Meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan agama sehingga dirinya tidak gampang terpengaruh oleh pemahaman lain yang menyimpang dari ajaran agama itu sendiri
- Meningkatkan kemampuan dalam teknologi agar negara tidak gampang dijajah oleh bangsa lain secara teknologi.
الـــفــقــه الإســلامـي و أدلــتـــه ( ج : 8 ، ص : 5846 )
فـَالْـجِـهَــادُ يَـكُــوْنُ بـِالـتَّـعْـلِـيْــمِ وَتـَـعَــلُّـــمِ أَحْــكـَـامِ الإِْسْلاَمِ وَنَــشْــرِهـَـا بَـيْـنَ الــنَّــاسِ وَبِـبَــذْلِ الْــمَـالِ وَبـِالْـمُـشَــارَكـَـةِ فِـي قِــتـَـالِ الأَعْـــدَاءِ إِذَا أَعْــلَــنَ الإِمَــامُ الْـجِـهَــادَ ، لِـقـَـوْلـِـهِ تـَـعـَـالَـى : ” جـَـاهِــدُوا الْـمُـشْــرِكِـيْــنَ بِـأَمْــوَالِــكُــمْ وَ اَنْـفُـسِــكُــمْ وَأَلْـسِــنَــتِــكُـــمْ ”
MARAJI’ TAMBAHAN:
الموسوعة الفقهية الكويتية – (ج 1 / ص الموسوعة الفقهية الكويتية – (ج 1 / ص 8809)
«إعداد السّلاح للجهاد والتّدرّب عليه»
2 – ذهب العلماء إلى أنّ الاستعداد للجهاد بإعداد السّلاح ، والتّدرّب على استعماله وعلى الرّمي فريضة تقتضيها فريضة الجهاد ، لقوله تعالى «وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدْوَّ اللّهِ وَعَدُوَّكُمْ» . قال القرطبيّ والفخر الرّازيّ : إنّ الآية تدلّ على أنّ الاستعداد للجهاد بالسّلاح فريضة ، إلاّ أنّه من فروض الكفايات. فقد أمر اللّه سبحانه وتعالى المسلمين بإعداد القوّة للأعداء. وقد ورد لفظ القوّة – في الآية الكريمة – مطلقاً بغير تحديد ولا تقييد ، فهو يتّسع ليشمل كلّ عناصر القوّة مادّيّاً ومعنويّاً ، وما يتقوّى به على حرب العدوّ ، وكلّ ما هو آلة للغزو والجهاد فهو من جملة القوّة. وقد تركت الآية الكريمة تحديد القوّة المطلوبة ، لأنّها تتطوّر تبعاً للزّمان والمكان ، وحتّى يلتزم المسلمون بإعداد ما يناسب ظروفهم من قوّة يستطيعون بها إرهاب العدوّ. وعن عقبة بن عامر رضي الله عنه قال : ” سمعت رسول اللّه صلى الله عليه وسلم وهو على المنبر يقول : «وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ» ، ألا إنّ القوّة الرّمي ، ألا إنّ القوّة الرّمي ، ألا إنّ القوّة الرّمي «. كرّر هذه الجملة ثلاث مرّات ، للتّأكيد والتّرغيب في تعلّمه وإعداد آلات الحرب ، وقد فسّر رسول اللّه صلى الله عليه وسلم القوّة بالرّمي ، وهو أهمّ فنون القتال ، حيث إنّ الرّمي أعلى المراتب في استعمال السّلاح.
الموسوعة الفقهية الكويتية – (ج 1 / ص 10628)
عُدّةالتّعريف1 – العُدّة – بالضّمّ – في اللّغة : الاستعداد والتّأهّب وما أعددته من مال أو سلاح . وفي الاصطلاح هي : جميع ما يتقوّى به في الحرب على العدوّ .س«الأحكام المتعلّقة بالعدّة»
2 – العدّة – أي الاستعداد للحرب – فريضة تلازم فريضة الجهاد ، فالحرب بلا عدّة إلقاء للنّفس إلى التّهلكة ، والعدّة للحرب في سبيل إعلاء كلمة اللّه بأنواعها فرض على المسلمين . قال تعالى : « وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدْوَّ اللّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِن دُونِهِمْ لاَ تَعْلَمُونَهُمُ اللّهُ يَعْلَمُهُمْ » ، والخطاب لكافّة المسلمين ، وقال سبحانه : « وَأَنفِقُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ » أي بترك الإنفاق في سبيل اللّه ، والخطاب أيضاً لكافّتهم ، وعدّ سبحانه وتعالى : ترك الإنفاق في سبيل اللّه وعدم الاستعداد للحرب باتّخاذ العدّة اللازمة للنّصر تهلكةً للنّفس ، وتهلكةً للجماعة ، فالدّعوة إلى الجهاد في التّوجيهات القرآنيّة والنّبويّة تلازمها في الأغلب الأعمّ دعوة إلى الإنفاق . جاء في تفسير الماورديّ : « وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ » بأن تتركوا النّفقة في سبيل اللّه فتهلكوا ، ثمّ قال : هذا قول ابن عبّاس ، وقيل : لا تقحموا أنفسكم في الحرب بغير نكاية في العدوّ ، وقال ابن كثير : التّهلكة أن تمسك يدك عن النّفقة في سبيل اللّه .
الموسوعة الفقهية الكويتية – (ج 1 / ص 10629)
والعدّة بما في الطّوق من فروض الكفاية على المسلمين ، فإن تركوها أثموا جميعاً ، وهي من الأمور المنوطة بالإمام وتلزم عليه ، قال الماورديّ : من الأمور الواجبة على الإمام : تحصين الثّغور بالعدّة المانعة ، والقوّة الدّافعة حتّى لا يظفر الأعداء بغرّة ينتهكون فيها محرّماً ، أو يسفكون فيها لمسلم أو معاهد دماً ، وعدّ القرآن ترك العدّة للحرب إعلاءً لكلمة اللّه من علامات النّفاق ، فقال تعالى : في شأن المنافقين الّذين استأذنوا النّبيّ صلى الله عليه وسلم لأعذار واهية في عدم الخروج معه في الجهاد : « لاَ يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَن يُجَاهِدُواْ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ وَاللّهُ عَلِيمٌ بِالْمُتَّقِينَ ، إِنَّمَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ ، وَلَوْ أَرَادُواْ الْخُرُوجَ لأَعَدُّواْ لَهُ عُدَّةً »
الموسوعة الفقهية الكويتية – (ج 1 / ص 10629)
«ما تكون به العدّة»3 – بيّن القرآن العدّة : بأنّها القوّة ، ورباط الخيل ، قال تعالى : « وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ الْخَيْلِ » . واختلف المفسّرون في المراد من القوّة : وقال الماورديّ فيه خمسة أقوال : أ – القوّة : ذكور الخيل ، ورباط الخيل إناثها . ب – القوّة : السّلاح ، قاله الكلبيّ . ج – التّصافي ، واتّفاق الكلمة . د – الثّقة باللّه . هـ – الرّمي . وقال صاحب تفسير الخازن بعد أن ذكر أقوالاً في معنى القوّة :
الموسوعة الفقهية الكويتية – (ج 1 / ص 10630)
القول الرّابع : إنّ المراد بالقوّة جميع ما يتقوّى به في الحرب على العدوّ ، فكلّ ما هو آلة يستعان بها في الجهاد فهو من جملة القوّة المأمور بإعدادها ، وقوله صلى الله عليه وسلم: « ألا إنّ القوّة الرّمي » لا ينفي كون غير الرّمي من القوّة المأمور بإعدادها فهو كقوله صلى الله عليه وسلم : « الحجّ عرفة » وكقوله : « النّدم توبة » فهذا لا ينفي اعتبار غيره، بل يدلّ على أنّ المذكور هو من أجلّ المقصود ، ولأنّ الرّمي كان من أنجع وسائل الحرب نكايةً في العدوّ في زمنه صلى الله عليه وسلم فهكذا هنا يحمل معنى الآية على الاستعداد للقتال في الجهاد بجميع ما يمكن من الآلات ، كالرّمي بالنّبل ، والنّشاب ، والسّيف ، وتعلّم الفروسيّة ، والتّصافي ، واتّفاق الكلمة ، والثّقة باللّه وكلّ ذلك مأمور به ، وقال الشّهاب : إنّما ذكر هذا هنا ، لأنّه صلى الله عليه وسلم : لم يكن له استعداد تامّ في بدر ، فنبّهوا على أنّ النّصر بدون استعداد لا يتأتّى في كلّ زمان ، ودلّت الآية على وجود القوّة الحربيّة اتّقاء بأس العدوّ . وخصّ رباط الخيل بالذّكر – مع أنّ الأمر بإعداد القوّة في الآية يتناول جميع ما يتقوّى به للحرب على اختلاف صنوفها وألوانها وأسبابها – لأنّها الأداة الّتي كانت بارزةً عند من كان يخاطبهم القرآن أوّل مرّة ، ولو أمرهم بأسباب غير معروفة لديهم ، ولا يطيقون إعدادها لكان تكليفاً بما لا يطاق .
التفسر المنير (ج 5 / 392 )
(من قوة ) نكرة تفيد العموم فتشمل الاعداد المادي بمختلف الاسلحة المناسبه للعصر المتطورة حسبما يوجد لدى العدو المصنعة في داخل البلاد الاسلاميه وتشمل ايضا الاعداد المعنوي والروحي من حفزالمواهب والقوى واعدادالجيل اعدادا حربيا وتسلحه بالعقيدة الاسلاميه الحقة وبالاخلاق الدسنسة الصالحة وبغير ذلك لا نصر على العدو
الأحكام السلطانية – (ج 1 / ص 73)
( فَصْلٌ ) وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ مِنْ أَحْكَامِ هَذِهِ الْإِمَارَةِ مَا يَلْزَمُ مِنْ أَمِيرِ الْجَيْشِ فِي سِيَاسَتِهِمْ وَاَلَّذِي يَلْزَمُهُ فِيهِمْ عَشْرَةُ أَشْيَاءَ : أَحَدُهَا حِرَاسَتُهُمْ مِنْ غِرَّةٍ يَظْفَرُ بِهَا الْعَدُوُّ مِنْهُمْ ، وَذَلِكَ أَنْ يَتَتَبَّعَ الْمَكَامِنَ وَيُحَوِّطَ سَوَادَهُمْ بِحَرَسٍ يَأْمَنُونَ بِهِ عَلَى نُفُوسِهِمْ وَرِجَالِهِمْ ، لِيَسْكُنُوا فِي وَقْتِ الدَّعَةِ وَيَأْمَنُوا مَا وَرَاءَهُمْ فِي وَقْتِ ، الْمُحَارَبَةِ .
وَالثَّانِي : أَنْ يَتَخَيَّرَ لَهُمْ مَوْضِعَ نُزُولِهِمْ لِمُحَارَبَةِ عَدُوِّهِمْ ، وَذَلِكَ أَنْ يَكُونُوا أَوْطَأَ الْأَرْضِ مَكَانًا وَأَكْثَرَ مَرْعًى وَمَاءً وَأَحْرَسَهَا أَكْنَافًا وَأَطْرَافًا لِيَكُونَ أَعْوَنَ لَهُمْ عَلَى الْمُنَازَلَةِ وَأَقْوَى لَهُمْ عَلَى الْمُرَابَطَةِ .
وَالثَّالِثُ : إعْدَادُ مَا يَحْتَاجُ الْجَيْشُ إلَيْهِ مِنْ زَادٍ وَعُلُوفَةٍ تُفَرَّقُ عَلَيْهِمْ فِي وَقْتِ الْحَاجَةِ حَتَّى تَسْكُنَ نُفُوسُهُمْ إلَى مَادَّةٍ يَسْتَغْنُونَ عَنْ طَلَبِهَا ، لِيَكُونُوا عَلَى الْحَرْبِ أَوْفَرَ وَعَلَى مُنَازَلَةِ الْعَدُوِّ أَقْدَرَ .
وَالرَّابِعُ : أَنْ يَعْرِفَ أَخْبَارَ عَدُوِّهِ حَتَّى يَقِفَ عَلَيْهَا وَيَتَصَفَّحَ أَحْوَالَهُ حَتَّى يُخْبِرَهَا فَيَسْلَمَ مِنْ مَكْرِهِ وَيَلْتَمِسَ الْغِرَّةَ فِي الْهُجُومِ عَلَيْهِ .
وَالْخَامِسُ : تَرْتِيبُ الْجَيْشِ فِي مَصَافِّ الْحَرْبِ وَالتَّعْوِيلُ فِي كُلِّ جِهَةٍ عَلَى مَنْ يَرَاهُ كُفُؤًا لَهَا ، وَيَتَفَقَّدُ الصُّفُوفَ مِنْ الْخَلَلِ فِيهَا ، وَيُرَاعِي كُلَّ جِهَةٍ يَمِيلُ الْعَدُوُّ
الفقه الإسلامي وأدلته – (ج 7 / ص 379(
القاعدة الثالثة: ترتب ضرر أعظم من المصلحة: إذا استعمل الإنسان حقه بقصد تحقيق المصلحة المشروعة منه، ولكن ترتب على فعله ضرر يصيب غيره أعظم من المصلحة المقصودة منه، أو يساويها، منع من ذلك سدا للذرائع، سواء أكان الضرر الواقع عاما يصيب الجماعة، أو خاصا بشخص أو أشخاص. والدليل على المنع قول الرسول (ص): [لا ضرر ولا ضرار](1) وعلى هذا فإن استعمال الحق يكون تعسفا إذا ترتب عليه ضرر عام، وهو دائما أشد من الضرر الخاص، أو ترتب عليه ضرر خاص أكثر من مصلحة صاحب الحق أو أشد من ضرر صاحب الحق أو مساو لضرر المستحق. أما إذا كان الضرر أقل أو متوهما فلا يكون استعمال الحق تعسفا
مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج – (ج 16 / ص 299(
فُرُوعٌ : تَجِبُ طَاعَةُ الْإِمَامِ وَإِنْ كَانَ جَائِرًا فِيمَا يَجُوزُ مِنْ أَمْرِهِ وَنَهْيِهِ لِخَبَرِ { اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعُ الْأَطْرَافِ } وَلِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْ نَصْبِهِ اتِّحَادُ الْكَلِمَةِ ، وَلَا يَحْصُلُ ذَلِكَ إلَّا بِوُجُوبِ الطَّاعَةِ ، وَتَجِبُ نَصِيحَتُهُ لِلرَّعِيَّةِ بِحَسَبِ قُدْرَتِهِ ، وَلَا يَجُوزُ عَقْدُهَا لِإِمَامَيْنِ فَأَكْثَر وَلَوْ بِأَقَالِيمَ وَلَوْ تَبَاعَدَتْ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ اخْتِلَالِ الرَّأْيِ وَتَفَرُّقِ الشَّمْلِ ، فَإِنْ عُقِدَتْ لِاثْنَيْنِ مَعًا بَطَلَتَا أَوْ مُرَتَّبًا انْعَقَدَتْ لِلسَّابِقِ كَمَا فِي النِّكَاحِ عَلَى امْرَأَةٍ ، وَيُعَزَّرُ الثَّانِي وَمُبَايِعُوهُ إنْ عَلِمُوا بِبَيْعَةِ السَّابِقِ لِارْتِكَابِهِمْ مُحَرَّمًا .
حاشية الجمل – (ج 21 / ص 364)
( كُرِهَ غَزْوٌ بِلَا إذْنِ إمَامٍ ) بِنَفْسِهِ أَوْ نَائِبِهِ لِأَنَّهُ أَعْرَفُ بِمَا فِيهِ الْمَصْلَحَةُ نَعَمْ إنْ عَطَّلَ الْغَزْوَ وَأَقْبَلَ هُوَ وَجُنْدُهُ عَلَى الدُّنْيَا أَوْ غَلَبَ عَلَى الظَّنِّ أَنَّهُ إذَا اُسْتُؤْذِنَ لَمْ يَأْذَنْ أَوْ كَانَ الذَّهَابُ لِلِاسْتِئْذَانِ يُفَوِّتُ الْمَقْصُودَ لَمْ يُكْرَهْ وَالْغَزْوُ لُغَةً الطَّلَبُ لِأَنَّ الْغَازِيَ يَطْلُبُ إعْلَاءَ كَلِمَةِ اللَّهِ تَعَالَى قَوْلُهُ كُرِهَ غَزْوٌ ) أَيْ لِلْمُتَطَوِّعَةِ وَأَمَّا الْمُرْتَزِقَةُ فَيَحْرُمُ عَلَيْهِمْ بِغَيْرِ إذْنِ الْإِمَامِ ا هـ ح ل وَمِثْلُهُ فِي شَرْحِ م ر وَسَوَاءٌ فِي الْحُرْمَةِ عَطَّلَ الْإِمَامُ الْغَزْوَ أَوْ لَا فَيَخُصُّ مَا يَأْتِي مِنْ عَدَمِ كَرَاهَةِ الْغَزْوِ وَبِغَيْرِ إذْنِهِ بِالْغُزَاةِ الْمُتَطَوِّعَةِ بِهِ ا هـ ع ش عَلَى م ر
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.