Indonesia merupakan negara yang memiliki luas daratan yang sangat luas dan tersebar di berbagai pulau di Indonesia. Luas daratan Indonesia mencapai kurang lebih 1.919.440 km². Sementara luas lautan sekitar 3.273.810 km².
Menurut catatan Sayogjo pada tahun 1978, hanya 30% dari total daratan yang dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Sisanya (70%) dimanfaatkan untuk wilayah hutan dengan berbagai tipe dan jenis hutan. Pada tahun itu, kepemilikan lahan oleh tiap-tiap Kepala Keluarga, diprediksi sekitar 0,5 hektar.
Luas lahan pertanian yang dimiliki oleh tiap-tiap Kepala Keluarga ini dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020 sebagai terus mengalami penurunan, hingga 0,3 hektar per KK.
Bulan Oktober 2021, BPS kembali melaporkan hasil Survei KSA yang menyebutkan luas lahan pertanian kembali menyusut sebesar 245,47 ribu hektar (2,3%) dibandingkan tahun 2020.
Apa yang menyebabkan penguasaan lahan ini terus menyusut dari tahun ke tahun?
Ada beberapa sebab yang berhasil di identifikasi oleh para peneliti dari KSA, yaitu:
Pertama, sejak digulirkannya UU Pokok Agraria Tahun 1960, belum ada lagi pembukaan lahan baru yang dapat menambah luas lahan pertanian dan dilakukan oleh pemerintah. Oleh karena itu, luas lahan itu senantiasa bertahan relatif konstan hingga sekarang.
Kedua, jumlah penduduk semakin bertambah dari tahun ke tahun. Adanya sistem pewarisan lahan oleh keluarga, menjadi salah satu penyebab utama penyempitan lahan per KK. Sebagaimana kita ketahui, bahwa sistem pewarisan meniscayakan pembagian tanah pusaka antar ahli waris.
Ketiga, adanya konversi lahan dari lahan pertanian dan tambak menjadi areal pemukiman, jalan umum, dan area perindustrian, semakin mempercepat penyempitan luas areal pertanian yang dimiliki oleh keluarga petani. Ironisnya, tidak ada perimbangan bagi pembukaan lahan baru oleh pemerintah sampai dengan periode pemerintahan Presiden Jokowi.
Keempat, UUPA 1960 yang sejatinya memiliki semangat untuk pemerataan penguasaan lahan pertanian kepada warga negara tidak dilaksanakan sebagaimana harusnya. Banyak pembukaan hutan dan penguasaan hak kelola hutan justru jatuh ke tangan para pengusaha besar. Sementara itu, masyarakat kecil yang seharusnya menjadi sasaran landreform (reforma agraria), justru tidak mendapatkan hak akses tersebut.
Kelima, program transmigrasi yang pernah dilaksanakan oleh Orde Baru (Orba) justru semakin mempercepat penguasaan lahan bagi para pengusaha. Penyebabnya, para transmigran yang mendapatkan jatah tanah karena transmigrasi, menjual tanahnya kembali kepada para pengusaha besar yang ada di sekeliiling.
Ini terjadi bukan tanpa sebab. Mereka menjual tanah itu karena terbatasnya sarana transportasi menuju ke pasar untuk menjual hasil pertaniannya. Akibatnya, sebagai satu-satunya solusi, mereka terpaksa menjual lahan yang sudah diiberikan kepadanya dan memutuskan kembali ke Jawa. Sementara itu, tanah miliknya yang di Jawa pun sudah dijual kepada pihak lain. Akibatnya, mereka menjadi keluarga tanpa kepemilikan lahan dan memilih bekerja sebagai petani penggarap.
Keenam, menurunnya kemahuan generasi milineal untuk bekerja di bidang pertanian karena luas lahan yang dimilikinya tidak menjanjikan sama sekali untuk membantu meningkatkan perekonomiannya. Bukan karena tidak ada kemampuan, melainkan karena sempitnya lahan yang dimiliki serta keterbatasan akses modal lunak baginya.
Akibatnya, inovasi di bidang pertanian pun menjadi berkurang seiring tanah yang dikuasai juga sempit. Di sejumlah negara maju, inovasi teknologi tepat guna di dunia pertanian berbanding lurus dengan penguasaan lahan. Sementara yang terjadi di negara kita, lahan yang sudah ada, sudah dipetak-petak dalam ukuran yang kecil sehingga tidak memungkinkan penggunaan teknologi maju.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.