elsamsi log
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

Png 20220314 215749 0000

Dunia modern ditandai oleh banyaknya produk makanan dan minuman kemasan yang dipasarkan di masyarakat. Mayoritas produk-produk ini menggunakan bahan pengawet agar produk dapat bertahan lama. Bahan pengawet ini sudah pasti berupa zakat aditif kimia. 

Sebagai zat aditif, maka bahan kimia pengawet tersebut berasal dari faktor eksternal yang tidak berkaitan langsung dengan produk makanan. Ia merupakan unsur atau senyawa yang ditambahkan.

Di sisi lain, ada produk olahan makanan dengan orientasi pada rasa. Untuk mewujudkan cita rasa tertentu, maka diproduksilah bahan kimia sintetis sehingga bukan berasal dari bahan asli nabati atau hewani. Tak urung produk sari rasa ini merupakan olah bahan kimiawi yang bukan hasil ekstraksi kimiawi. 

Masih belum berhenti di situ, ada produk yang kadangkala diambil tidak dari hayawan atau tumbuhan yang diperbolehkan oleh syara’. 

Hasil ekstraksi lemak, kolagen, protein, terkadang tidak berasal dari hewan yang dihalalkan oleh syara’. Hasil ekstraksinya bisa jadi sama-sama protein. Namun, sumber asal proteinnya ternyata bisa berasal dari entitas yang halal dan bisa juga dari entitas yang haram. 

Belum lagi, di dalam Islam, kehalalan produk daging hewani adalah meniscayakan produk tersebut berasal dari hewan yang disembelih. Sesuatu yang terlepas dari hayawan yang hidup, adalah berstatus sebagai bangkai. 

Semua ketentuan di atas, memerlukan standar pengawasan dan kategorisasi. Seluruhnya memerlukan adanya organisasi yang mengayomi dan mewadahi. 

Lembaga Pengujian Produk Obat dan Makanan (LP POM) adalah bagian dari pihak yang memiliki tugas melakukan pengawasan dan pengujian tersebut. Hanya saja, LP POM itu juga bisa diselenggarakan oleh umum dan ada yang diselenggarakan oleh lembaga keagamaan. Hasil uji kandungan ekstrak makanan dan obat-obatannya bisa jadi adalah sama. Namun, titik pangkal pengawasannya bisa jadi berbeda. 

LP POM yang diselenggarakan oleh MUI, sudah pasti akan merunut asal hewan atau produk makanan itu diperoleh. Sementara di luar MUI atau instansi yang bekerja di luar prinsip keagamaan yang menjadi fokusnya, mungkin hanya akan berfokus pada kandungan protein, karbohidrat, lemak atau bahan lainnya. Sementara status halal itu bukan semata ditentukan pada aspek kandungan, melainkan aspek asal darimana produk itu diekstrak. 

Pengujian terhadap kualitas kandungan zat yang terdapat di dalam makanan, umumnya hanya berorientasi pada terdapat atau tidaknya unsur dlarar dan idlrar pada manusia. Pengujian ini, biasanya hanya akan terfokus pada apakah produk tersebut dengan konsentrasi tertentu bisa membahayakan terhadap nyawa manusia atau tidak. Just it is. Sementara yang dibutuhkan oleh masyarakat terkait dengan hasil uji laboratorium obat dan makanan adalah uji yang bersifat universal. 

Fatwa halal atau haram, merupakan fatwa yang memuat seluruh lingkup asal, dalil dan dampak. Dan semua itu menghendaki adanya lembaga yang kompeten menanganinya dan serius dalam mendalaminya. 

Walhasil, uji produk berkaitan erat dengan fatwa. Fatwa berkaitan erat dengan penggalian dalil. Setiap fatwa meniscayakan adanya adab dalam berfatwa. Apakah Badan Pengawasan Jaminan Produk Halal yang dibawahi oleh Kementerian Agama dapat memenuhi kriteria itu? Istafti qalbak!

Muhammad Syamsudin

Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Spread the love

Related Articles

Tinggalkan Balasan