Manthiq merupakan mashdar mim, yang memiliki pengertian sama dengan nuthqun (mashdar ghairu mim) yang secara bahasa bermakna ucapan dalam bentuk narasi (uraian) hasil pemikiran. Karena yang disampaikan adalah hasil pemikiran, maka dibutuhkan yang namanya tata cara berargumen. Standartnya, ketika argumentasi itu bisa diterima oleh akal, maka kita menyebutnya sebagai logis (rasional). Namun, jika argumentasi itu susah diterima oleh akal, atau bahkan sama sekali tidak masuk akal, maka argumentasi semacam ini disemati dengan istilah tidak rasional (irrasional) atau terlampau rasional sehingga masuk kategori (suprarasional)
Memang, tidak gampang bagi seseorang untuk menyusun sebuah narasi argumentatif tersebut. Sebagaimana tidak mudah bagi seseorang untuk menguraikan suatu masalah (kasus) dalam bentuk teks tulisan argumentatif. Ada tahapan-tahapan yang harus dilalui dan ditapaki oleh pribadi yang hendak menyampaikan argumentasinya.
Sadar atau tidak sadar, tahapan-tahapan ini seolah berlaku layaknya rumus yang harus dipahami dalam menyusun sebuah narasi (nuthqun/manthiq). Ibarat orang hendak berbicara, ia perlu memperhatikan bagaimana menyusun kalimat yang baik dalam berbicara dan sesuai dengan tujuan berbicara. Mana bagian yang akan dijadikan subyeknya, mana bagian predikatnya, mana bagian obyeknya dan mana bagian keterangannya.
Seumpama ilmu nahwu, maka perhatian akan tertuju pada mana bagian mubtada’-nya, mana bagian khabar-nya, mana tamyiznya, atau bagaimana menyusun sebuah idlafah, dan lain sebagainya. Demikian halnya, bila lafadh itu terdiri dari jumlah fi’liyah, maka mana bagian fi’ilnya, mana fa’ilnya, mana maf’ulnya, dan seterusnya.
Jika rumus penyusunan kalimat ini terpenuhi, maka kalimat itu menjadi bersifat informatif (khabariyah). Namun, jika tidak terpenuhi, maka risikonya adalah kalimat itu menjadi tidak informatif (tidak wadla’). Jika tidak informatif, maka kalimat itu menjadi tidak berfaedah (ghairu mufid / unfaedah). Terhadap hal ini, anda mungkin akan bilang : ”O…orang ini sedang mengigau.” Atau bahkan mungkin, anda akan bilang: “O…karena sedang sakit, dia lagi menceracau.” Paling tidak, anda bisa jadi akan bilang: “Dia lagi ngomong sama siapa, ya?”
Semua ini, adalah sesuatu yang mungkin saja terjadi saat orang sedang menyusun kalimat karena faktor ketidak informatifan (unfaedah) kalimat yang sedang dibangun. Kalimatnya tidak memenuhi kaidah pemberian informasi (khabar). Tidak memenuhi kaiidah pemberian perintah. Tidak memenuhi kaidah menyatakan suatu harapan. Tidak memenuhi kaidah menyampaikan larangan atau sekedar himbauan kewaspadaan, dan seterusnya, dan seterusnya.
Syeikh Abdurrahman al-Akhdlary, muallif Kitab Sullami al-Munawwaraq menyatakan keserupaan manthiq (ilmu membangun argumentasi) dan ilmu naahwu sebagaimana disinggung dalam bait syair berikut:
وَبَعْدُ فَالمَنْطِقُ لِلْجَنَانِ … نِسْبَتُهُ كَالنَّحْوِ لِلِّسَان
“……Perumpamaan ilmu manthiq bagi hati (tempatnya ilmu pengetahuan) adalah menyerupai fungsinya ilmu nahwu atas lisan.”
———–
Ada kekurangjelasan dalam informasi di atas, bisa mengkontak redaksi melalui email: redaksi@elsamsi.my.id. Semoga bermanfaat
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.