elsamsi log

Menu

Memanfaatkan Barang Gadai oleh Penggadai

Gadai (rahn) pada dasarnya merupakan akad utang (qardl) yang disertai dengan jaminan sebagai penguat kepercayaan (tautsiq) bahwa utang akan dilunasi tepat waktu oleh pihak yang berhutang (rahin). Apabila terjadi telat dalam pelunasannya, maka pihak pegadaian (murtahin) bisa melelang barang yang dijadikan jaminan untuk menutup utang yang sudah terjadi. Al-Allamah Zakaria al-Anshary (w. 926 H) di dalam Kitab al-Ghuraru al-Bahiyah fi Syarhi al-Bahjatu al-Waridah, menjelaskan hal tersebut secara sekilas lewat definisi dari akad gadai (rahn) sebagai berikut:


وشَرْعًا: جَعْلُ عَيْنِ مالٍ وثِيقَةً بِدَيْنٍ يُسْتَوْفى مِنها عِنْدَ تَعَذُّرِ وفائِهِ

"Secara syara, gadai adalah menjadikan suatu harta sebagai jaminan atas utang dan akan digunakan untuk melunasinya ketika ditemui sulitnya pelunasan.” (al-Ghuraru al-Bahiyah fi Syarhi al-Bahjatu al-Waridah, Juz 3, halaman 72)


Ketika terjadi akad gadai, maka pada dasarnya yang wajib berlaku adalah sifat keterikatan (luzumah) antara utang dengan jaminannya. ٍSifat keterikatan (luzumah) ini muncul sebab gadai merupakan bagian dari akad dlaman dengan jaminan utang berupa harta. Al-Allamah Syeikh Khathib Al-Syirbiny, menyampaikan dalam Kitab Hasyiyah al-Syirbiny, Juz 3, halaman 149 sebagai berikut:


(بابُ الضَّمانِ) هُوَ لُغَةً: الِالتِزامُ وشَرْعًا: يُقالُ لِالتِزامِ حَقٍّ ثابِتٍ فِي ذِمَّةِ الغَيْرِ، أوْ إحْضارِ مَن هُوَ عَلَيْهِ، أوْ عَيْنٍ مَضْمُونَةٍ


"[Bab Dlaman], secara bahasa bermakna keterikatan, dan secara syara’ didefinisikan sebagai keterikatan antara suatu hak dari pihak satu dengan kewajiban atas pihak lain secara otomatis, atau dengan kehadiran pihak yang bersinggungan dengannya, atau dengan barang yang dijaminkan.” (Hasyiyah al-Syirbiny, Juz 3, halaman 149).


Melalui ta’rif di atas, gadai masuk bagian dari ikatan antara utang dengan barang yang dijaminkan. Ikatan ini ditandai dengan kepastian bisanya barang jaminan (watsiqah) untuk dijual, saat jatuh tempo pelunasan utang itu tiba, akan tetapi pihak yang berhutang masih belum bisa menunaikan kewajibannya, sebagaimana definisi sebelumnya.



Adapun masalah barang yang digadaikan (marhun bih) masih bisa dikelola dan dimanfaatkan oleh pihak yang menggadaikan (rahin), maka hukumnya adalah boleh, sebab status barang gadai tersebut masih merupakan hak milik sah dari penggadai. 


Tentu saja, dalam konteks ini, pengelolaan terhadap barang gadai tidak boleh hingga menyebabkan rusaknya barang gadai. Dan sebab ini pula, para fuqaha juga mensyaratkan bahwa hendaknya pemanfaatan kembali barang gadai oleh penggadai adalah atas dasar ridanya pihak pegadaian. 


والذي يركب يشرب هو المالك للمنفعة وهو الراهن، فله الانتفاع وعليه النفقة. ولكن يشترط في ذلك: أن يكون الانتفاع بالعين المرهونة لا يُلحق بها ضررًا من نقص او تلف. وأن لا يسافر الراهن بالعين المرهونة، لأن السفر مظنة الخطر، ولا ضرورة له، فإذا أذن المرتهن بما يُمنع منه الراهن جاز له ذلك


"Orang yang berhak menaiki hewan dan meminum susunya adalah pemilik manfaat, yaitu rahin (penggadai). Baginya boleh mengambil manfaat dari barang yang digadaikan, dan wajib memberikan nafaqah terhadap barang gadaian. Akan tetapi, pemanfaatan ini memiliki syarat, yaitu a) jika pemanfaatan barang gadai tersebut tidak menyebabkan kerugian atas barang gadai, yaitu menyebbkan berkurangnya nilai atau timbulnya kerusakan, dan b) tidak bepergian dengan menggunakan barang yang digadaikan, sebab membawanya bepergian merupakan tempat bagi timbulnya prasangka kekhawatiran, sementara di satu sisi membawanya bepergian tersebut tidak ada kedlaruratan yang memaksa. Namun, apabila pihak pegadaian mengidzinkan membawanya pada aktifitas yang sejatinya dilarang, maka hukumnya boleh bagi penggadai membawanya pergi.” (al-Fiqh al-Manhajy ‘ala Madzhaby al-Imami al-Syafii, Juz 7, halaman 127). 


Dalam perspektiif Madzhab Imam Hanafi, illat keridlaan ini diambil dari turunan akad gadai itu sendiri, yaitu bahwa pada dasarnya akad gadai juga bisa disebut sebagai akad bai’u al-uhdah (jual beli yang disertai dengan janji akan ditebus lagi). Sementara itu muqtadla al-’aqdi (intisari tujuan) dari akad jual beli adalah terbitnya ‘an taradlin (saling ridla) antara dua pihak yang berakad. 


Apabila terjadi kerusakan yang menyebabkan turunnya nilai barang gadai, maka dalam hal ini berarti telah terjadi tindakan yang melampaui batas (i’tida’) sehingga menyebabkan kerugian (dlarar) terhadap pegadaian (murtahin). Oleh karena itu, setiap kerugian yang terjadi atas pihak lain, mensyaratkan adanya ganti rugi (dlaman). 


Kembali soal gadai tanah yang dikelola kembali oleh pihak penggadai. Dalam hal ini, pihak penggadai merupakan pihak pemilik tanah dan bertindak selaku yang berhutang. Dengan demikian, hukum asal dari pemanfaatan itu adalah boleh sebab barang gadai masih berstatus hak milik penggadai. 


Apabila dalam pengelolaan itu ada ketentuan yang disyaratkan oleh pegadaian berupa bagi hasil dari hasil pengelolaan, maka dalam konteks ini ada kemungkinan 2 pembacaan, yaitu:


Pertama, dilihat dari sisi Akad Gadai


Jika ditilik dari sisi akad gadai, maka pengelolaan barang gadai oleh penggadai (rahin) itu sendiri merupakan hukumnya sah dan boleh. Namun, ketika ada ketentuan lain berupa wajibnya menyerahkan bagi hasil yang disyaratkan oleh pegadaian (murtahin), maka hukum berubah menjadi ketidakbolehannya (haram). Mengapa? Sebab, barang gadai merupakann yang berkorelasi dengan akad utang. Syarat penyerahan bagi hasil ini menyerupai qardlu jara naf’an (utang dengan menarik kemanfaatan) sehingga merupakan riba. Riba yang terjadi adalah termasuk riba qardli. 


Kedua, dilihat dari sisi Akad Muzara’ah

Akad muzara’ah merupakan akad bagi hasil pertanian disebabkan adanya modal yang disampaikan oleh rabbu al-maal (pemilik harta) kepada ‘amil (petani penggarap). Syarat berlakunya akad ini, adalah bumi / tanah yang dijadikan lahan untuk bercocok tanam merupakan milik dari rabbu al-maal (pemilik modal). Jika bumi tersebut merupakan milik ‘amil (petani penggarap), maka pihak rabbu al-maal wajib untuk menyewanya terlebih dulu. Adapun nisbah bagi hasil, bisa ditentukan berdasar kesepakatan. 


Jika akad ini yang diberlakukan, maka konsekuensi logisnya adalah apabila ada keterlambatan pengembalian utang (modal) dari pihak penggadai ke pegadaian, maka pihak pegadaian tidak boleh melelang tanah yang dijadikan jaminan dan bahkan seharusnya tidak boleh adanya jaminan. Apabila  pihak pegadaian masih melelang tanah yang dijadikan jaminan, maka itu berarti akadnya adalah masih akad gadai, sehingga bagi hasil yang diserahkan oleh pihak penggadai (rahin) ke pegadaian (murtahin) adalah termasuk bagian dari praktik riba qardli.


Jika ditilik dari akad ini, yang tidak ada penjelasan lebih lanjut dari pertanyaan saudara penanya adalah:

Ada atau tidak nilai sewa itu diberikan kepada ‘amil atas bumi yang digarap?

Ada atau tidak kesepakatan nisbah bagi hasil dari hasil pengelolaan? Berapa bagian untuk pegadaian, dan berapa bagian untuk amil?

Masih adakah relasi antara barang jaminan dengan utang yang sudah terjadi antara pihak pegadaian dan penggadai? 


Apabila jawaban dari ketiga pertanyaan di atas adalah sebagaimana dimaksudkan oleh mujawwib dan tertuang dalam penjelasan di atas, maka sudah bisa dipastikan bahwa itu adalah bagian dari riba. Namun, apabila tidak ada keterikatan antara utang dengan pelelanggan barang gadaian, maka akad tersebut adalah termasuk akad muzara’ah yang sah secara syara’. Ciri dasar ketiadaan keterkaitan, adalah apabila tidak disyaratkan kembalinya modal dan tanah yang digadaikan tidak dijual oleh rabbu al-maal (pegadaian) bila terjadi kerugian / gagal panen.


Permasalahannya, apakah pegadaian memiliki program yang bergerak dalam bidang satu ini? Kiranya jawaban bisa dipastikan sebagai yang tidak. Alhasil, akad yang terjadi sebagaimana yang penanya tanyakan adalah merupakan bagian dari riba qardly. Wallahu a’lam bi al-shawab

Gadai (rahn) pada dasarnya merupakan akad utang (qardl) yang disertai dengan jaminan sebagai penguat kepercayaan (tautsiq) bahwa utang akan dilunasi tepat waktu oleh pihak yang berhutang (rahin). Apabila terjadi telat dalam pelunasannya, maka pihak pegadaian (murtahin) bisa melelang barang yang dijadikan jaminan untuk menutup utang yang sudah terjadi. Al-Allamah Zakaria al-Anshary (w. 926 H) di dalam Kitab al-Ghuraru al-Bahiyah fi Syarhi al-Bahjatu al-Waridah, menjelaskan hal tersebut secara sekilas lewat definisi dari akad gadai (rahn) sebagai berikut:

وشَرْعًا: جَعْلُ عَيْنِ مالٍ وثِيقَةً بِدَيْنٍ يُسْتَوْفى مِنها عِنْدَ تَعَذُّرِ وفائِهِ

“Secara syara, gadai adalah menjadikan suatu harta sebagai jaminan atas utang dan akan digunakan untuk melunasinya ketika ditemui sulitnya pelunasan.” (al-Ghuraru al-Bahiyah fi Syarhi al-Bahjatu al-Waridah, Juz 3, halaman 72)

Ketika terjadi akad gadai, maka pada dasarnya yang wajib berlaku adalah sifat keterikatan (luzumah) antara utang dengan jaminannya. ٍSifat keterikatan (luzumah) ini muncul sebab gadai merupakan bagian dari akad dlaman dengan jaminan utang berupa harta. Al-Allamah Syeikh Khathib Al-Syirbiny, menyampaikan dalam Kitab Hasyiyah al-Syirbiny, Juz 3, halaman 149 sebagai berikut:

(بابُ الضَّمانِ) هُوَ لُغَةً: الِالتِزامُ وشَرْعًا: يُقالُ لِالتِزامِ حَقٍّ ثابِتٍ فِي ذِمَّةِ الغَيْرِ، أوْ إحْضارِ مَن هُوَ عَلَيْهِ، أوْ عَيْنٍ مَضْمُونَةٍ

“[Bab Dlaman], secara bahasa bermakna keterikatan, dan secara syara’ didefinisikan sebagai keterikatan antara suatu hak dari pihak satu dengan kewajiban atas pihak lain secara otomatis, atau dengan kehadiran pihak yang bersinggungan dengannya, atau dengan barang yang dijaminkan.” (Hasyiyah al-Syirbiny, Juz 3, halaman 149).

Melalui ta’rif di atas, gadai masuk bagian dari ikatan antara utang dengan barang yang dijaminkan. Ikatan ini ditandai dengan kepastian bisanya barang jaminan (watsiqah) untuk dijual, saat jatuh tempo pelunasan utang itu tiba, akan tetapi pihak yang berhutang masih belum bisa menunaikan kewajibannya, sebagaimana definisi sebelumnya.

Adapun masalah barang yang digadaikan (marhun bih) masih bisa dikelola dan dimanfaatkan oleh pihak yang menggadaikan (rahin), maka hukumnya adalah boleh, sebab status barang gadai tersebut masih merupakan hak milik sah dari penggadai. 

Tentu saja, dalam konteks ini, pengelolaan terhadap barang gadai tidak boleh hingga menyebabkan rusaknya barang gadai. Dan sebab ini pula, para fuqaha juga mensyaratkan bahwa hendaknya pemanfaatan kembali barang gadai oleh penggadai adalah atas dasar ridanya pihak pegadaian. 

والذي يركب يشرب هو المالك للمنفعة وهو الراهن، فله الانتفاع وعليه النفقة. ولكن يشترط في ذلك: أن يكون الانتفاع بالعين المرهونة لا يُلحق بها ضررًا من نقص او تلف. وأن لا يسافر الراهن بالعين المرهونة، لأن السفر مظنة الخطر، ولا ضرورة له، فإذا أذن المرتهن بما يُمنع منه الراهن جاز له ذلك

“Orang yang berhak menaiki hewan dan meminum susunya adalah pemilik manfaat, yaitu rahin (penggadai). Baginya boleh mengambil manfaat dari barang yang digadaikan, dan wajib memberikan nafaqah terhadap barang gadaian. Akan tetapi, pemanfaatan ini memiliki syarat, yaitu a) jika pemanfaatan barang gadai tersebut tidak menyebabkan kerugian atas barang gadai, yaitu menyebbkan berkurangnya nilai atau timbulnya kerusakan, dan b) tidak bepergian dengan menggunakan barang yang digadaikan, sebab membawanya bepergian merupakan tempat bagi timbulnya prasangka kekhawatiran, sementara di satu sisi membawanya bepergian tersebut tidak ada kedlaruratan yang memaksa. Namun, apabila pihak pegadaian mengidzinkan membawanya pada aktifitas yang sejatinya dilarang, maka hukumnya boleh bagi penggadai membawanya pergi.” (al-Fiqh al-Manhajy ‘ala Madzhaby al-Imami al-Syafii, Juz 7, halaman 127). 

Dalam perspektiif Madzhab Imam Hanafi, illat keridlaan ini diambil dari turunan akad gadai itu sendiri, yaitu bahwa pada dasarnya akad gadai juga bisa disebut sebagai akad bai’u al-uhdah (jual beli yang disertai dengan janji akan ditebus lagi). Sementara itu muqtadla al-’aqdi (intisari tujuan) dari akad jual beli adalah terbitnya ‘an taradlin (saling ridla) antara dua pihak yang berakad. 

Apabila terjadi kerusakan yang menyebabkan turunnya nilai barang gadai, maka dalam hal ini berarti telah terjadi tindakan yang melampaui batas (i’tida’) sehingga menyebabkan kerugian (dlarar) terhadap pegadaian (murtahin). Oleh karena itu, setiap kerugian yang terjadi atas pihak lain, mensyaratkan adanya ganti rugi (dlaman). 

Kembali soal gadai tanah yang dikelola kembali oleh pihak penggadai. Dalam hal ini, pihak penggadai merupakan pihak pemilik tanah dan bertindak selaku yang berhutang. Dengan demikian, hukum asal dari pemanfaatan itu adalah boleh sebab barang gadai masih berstatus hak milik penggadai. 

Apabila dalam pengelolaan itu ada ketentuan yang disyaratkan oleh pegadaian berupa bagi hasil dari hasil pengelolaan, maka dalam konteks ini ada kemungkinan 2 pembacaan, yaitu:

Pertama, dilihat dari sisi Akad Gadai

Jika ditilik dari sisi akad gadai, maka pengelolaan barang gadai oleh penggadai (rahin) itu sendiri merupakan hukumnya sah dan boleh. Namun, ketika ada ketentuan lain berupa wajibnya menyerahkan bagi hasil yang disyaratkan oleh pegadaian (murtahin), maka hukum berubah menjadi ketidakbolehannya (haram). Mengapa? Sebab, barang gadai merupakann yang berkorelasi dengan akad utang. Syarat penyerahan bagi hasil ini menyerupai qardlu jara naf’an (utang dengan menarik kemanfaatan) sehingga merupakan riba. Riba yang terjadi adalah termasuk riba qardli. 

Kedua, dilihat dari sisi Akad Muzara’ah

Akad muzara’ah merupakan akad bagi hasil pertanian disebabkan adanya modal yang disampaikan oleh rabbu al-maal (pemilik harta) kepada ‘amil (petani penggarap). Syarat berlakunya akad ini, adalah bumi / tanah yang dijadikan lahan untuk bercocok tanam merupakan milik dari rabbu al-maal (pemilik modal). Jika bumi tersebut merupakan milik ‘amil (petani penggarap), maka pihak rabbu al-maal wajib untuk menyewanya terlebih dulu. Adapun nisbah bagi hasil, bisa ditentukan berdasar kesepakatan. 

Jika akad ini yang diberlakukan, maka konsekuensi logisnya adalah apabila ada keterlambatan pengembalian utang (modal) dari pihak penggadai ke pegadaian, maka pihak pegadaian tidak boleh melelang tanah yang dijadikan jaminan dan bahkan seharusnya tidak boleh adanya jaminan. Apabila  pihak pegadaian masih melelang tanah yang dijadikan jaminan, maka itu berarti akadnya adalah masih akad gadai, sehingga bagi hasil yang diserahkan oleh pihak penggadai (rahin) ke pegadaian (murtahin) adalah termasuk bagian dari praktik riba qardli.

Jika ditilik dari akad ini, yang tidak ada penjelasan lebih lanjut dari pertanyaan saudara penanya adalah:

  1. Ada atau tidak nilai sewa itu diberikan kepada ‘amil atas bumi yang digarap?
  2. Ada atau tidak kesepakatan nisbah bagi hasil dari hasil pengelolaan? Berapa bagian untuk pegadaian, dan berapa bagian untuk amil?
  3. Masih adakah relasi antara barang jaminan dengan utang yang sudah terjadi antara pihak pegadaian dan penggadai? 

Apabila jawaban dari ketiga pertanyaan di atas adalah sebagaimana dimaksudkan oleh mujawwib dan tertuang dalam penjelasan di atas, maka sudah bisa dipastikan bahwa itu adalah bagian dari riba. Namun, apabila tidak ada keterikatan antara utang dengan pelelanggan barang gadaian, maka akad tersebut adalah termasuk akad muzara’ah yang sah secara syara’. Ciri dasar ketiadaan keterkaitan, adalah apabila tidak disyaratkan kembalinya modal dan tanah yang digadaikan tidak dijual oleh rabbu al-maal (pegadaian) bila terjadi kerugian / gagal panen.

Permasalahannya, apakah pegadaian memiliki program yang bergerak dalam bidang satu ini? Kiranya jawaban bisa dipastikan sebagai yang tidak. Alhasil, akad yang terjadi sebagaimana yang penanya tanyakan adalah merupakan bagian dari riba qardly. Wallahu a’lam bi al-shawab

Spread the love
Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah PW LBMNU Jawa Timur

Related Articles

%d blogger menyukai ini: