elsamsi log
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

Images (26)
Indonesia sebagai negara bangsa (nation state) yang dihuni oleh mayoritas umat Islam, dengan beragam suku, bangsa dan agama yang ada di dalamnya, telah menahbiskan diri sebagai negara yang merdeka, berdaulat dan menyelenggarakan sistem kenegaraan secara mandiri, tanpa adanya intervensi dari negara lain, atau sebaliknya melakukan imperialisime atau kolonialisme. Kesepakatan ini telah ditetapkan di dalam Pembukaan UUD 1945, dan intisarinya kemudian dituangkan di dalam sila-sila Pancasila. Itulah sebabnya, Indonesia kemudian disebut sebagai daru al-mu’ahadah wa al-wathaniyah (negara yang terikat oleh kesepakatan dan rasa nasionalisme warganya).

Sebagai negara mandiri dan hidup berdampingan dengan negara-negara lain, maka Indonesia sudah pasti harus melakukan segenap usaha untuk melakukan tugas pokok penyelenggaraan negara, di antaranya adalah melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam membina perdamaian dunia. Nah, guna melakukan hal tersebut, maka dibutuhkan modal dan pemasukan bagi kas negara. Dan salah satu sumber ”pemasukan” dan diakui sebagai sumber “pendapatan” kas negara itu antara lain adalah sektor pajak. 

Masalahnya adalah, apakah pungutan pajak ini termasuk yang legal dalam Islam? 

Sebagaimana kita tahu, bahwa sifat dari penarikan pungutan pajak ini adalah bersifat mengikat (lazimah) dan wajib berlaku atas setiap individu warga negara yang memiliki obyek wajib pajak, seperti kendaraan, tanah, bangunan, gaji dengan besaran tertentu dan bahkan perbelanjaan di atas 1 juta pun tak luput dari pajak. 

Memandang sifat wajib dan mengikatnya pajak sebagaimana dijelaskan di muka, menjadikan beberapa pihak menyamakan pajak sebagai layaknya al-maksu, yaitu pungutan liar yang dilakukan oleh petugas pasar di jaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga petugasnya terancam tidak masuk surga. Alasan mereka, adalah: Pertama, di dalam Islam, perkara wajib (tsubut) yang berkaitan dengan mal (harta) hanyalah berupa pengeluaran zakat. Mereka menggunakan sebuah nash yang menyatakan bahwa:

ليس في المال حق سوى الزكاة

“Tiada hak wajib di dalam harta selain daripada zakat.” HR. Ibnu Majah

Kedua, pemberlakuan kewajiban lain atas harta selain daripada yang disyariatkan oleh Allah, maka sifat pemberlakuan itu dikategorikan sebagai akhdzu al-haq al-ghair bi al-bathil (mengambil hak orang lain secara bathil). Mereka mendasarkan diri pada ketetapan nash, yaitu Q.S. al-Nisa [4] ayat 29. Dengan dasar ini, maka lengkap sudah mereka dalam memandang pajak sebagai al-maksu yang diharamkan. Bekerja di dinas perpajakan dan bea cukai juga dipandangnya sebagai haram, dengan alasan mendukung praktik shahib al-maksi (pemungut al-maks). Mendukung pajak, dianggapnya sebagai mendukung kebatilan sebab Nabi tidak pernah meneladankan. 

Padahal Ibnu Taimiyah yang merupakan teladan bagi mereka mengatakan:

مجموع الفتاوى ٢٨/‏٢٦ — ابن تيمية (ت ٧٢٨)

إذا كانَ لِلْمُسْلِمِينَ بِهِ مَنفَعَةٌ وهُوَ قادِرٌ عَلَيْها لَمْ يَنْبَغِ لَهُ أنْ يَتْرُكَ ذَلِكَ لِغَيْرِ مَصْلَحَةٍ راجِحَةٍ عَلى المُسْلِمِينَ؛ بَلْ كَوْنُهُ مُقَدَّمًا فِي الجِهادِ الَّذِي يُحِبُّهُ اللَّهُ ورَسُولُهُ أفْضَلُ مِن التَّطَوُّعِ بِالعِبادَةِ كَصَلاةِ التَّطَوُّعِ والحَجِّ التَّطَوُّعِ والصِّيامِ التَّطَوُّعِ. واَللَّهُ أعْلَمُ.

Lembaga Fatwa Lajnah dalam Fatwanya juga menjelaskan dalam sebuah keputusan fatwanya sebagai berikut:


فتاوى الشبكة الإسلامية ١١/‏١٥٧٨٥ — مجموعة من المؤلفين

فإنه يجوز للدولة أن تفرض ضرائب على المواطنين لتوفر بما تجنيه من الضرائب الخدمات اللازمة كتعبيد الطرق وبناء المستشفيات والمدارس ، لكن بشرط أن تستنفد كل ما في بيت المال ( الخزينة العامة ) أما إذا جعلت ضرائب على المواطنين بدون مقابل ، أو جعلتها عليهم وفي بيت المال ما يكفي للقيام بالخدمات اللازمة والمصلحة العامة فإن ذلك محرم شرعاً ، وآخذها عرضة للعقاب الشديد ففي المسند من حديث عقبة بن عامر أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : لا يدخل الجنة صاحب مكس . يعني : العشار . والمكوس : هي الضرائب ونحوها ممايؤخذ بغير حق شرعي ، كما أن جواز الأخذ للحاجة الضريبية مقيد كذلك بما إذا لم يكن هنالك تسيب أو سوء استخدام في المال العام ، والعمل في إدارات الضرائب ينبني حكمه على نوعية الجباية ، وعلى ذلك ففيه تفصيل :

1 ـ فإن كانت مصلحة الضرائب تراعي الشرع ولا ترهق الناس بالضرائب الباهظة ، وتنفق هذه الأموال في مصالح المسلمين .. مع خلو الخزينة العامة للدولة من الأموال ، فعندئذ يجوز للمرء العمل في إداراتها ، لكن يجب على العامل أن يلتزم العدل ، وأن يبتعد عن الظلم ، وليحذر من الرشاوى التي تعرض عليه ، ليخفف مقدار الضريبة أو ليتجاوز عنها ، وراتبه في هذه الحالة حلال لا شيء فيه ، وكذا المستحقات التي تقرر له من الجهات التي ذكرت في السؤال ، مع وجوب تخلصه من المبالغ التي تزيد عما دفعه لشركة التأمين أو غيرها ، وذلك لحرمة التأمين التجاري الشائع في عصرنا .

2 ـ وإن كانت الدولة تفرض الضرائب على المواطنين بدون مقابل أو كان العمل في مصلحة الضرائب يخضع لقوانين مخالفة للشرع ، فلا يجوز جباية هذه الضرائب ولا العمل فيها في هذه الحالة ، لقوله تعالى :  وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ {المائدة: 2 }  والراتب في هذه الحالة حرام يجب التخلص منه بإنفاقه في مصالح المسلمين ، وما تم إنفاقه من هذا المال في الماضي لقضاء حوائج الموظف أو من يعول فلا نرى عليه فيه جناحا ، وما تبقى منه إلى الآن يجب عليه التخلص منه بالصورة التي ذكرنها ، وكل ما كان يخصم من راتبك في هذه الحالة يدخل تحت الحكم السابق ، وهو وجوب التخلص منه ، سواء كان تأميناً أو غيره ، لأنه جزء من الراتب المحرم ، أما إذا كانت جهة العمل هي التي تدفع الأموال لشركات التأمين والضمان الاجتماعي هبة منها إليك ، فلا مانع حينئذ من أخذها مع وجوب التخلص مما زاد عليها عند صرف المستحقات .

ولا نرى مانعاً من العمل في هيئات الضرائب ولو كانت الضرائب محرمة إذا كان في ذلك تخفيف عن الناس ، وذلك عملاً بقاعدة ” الضرر يزال ” وما يتفرع عليها من قواعد تفيد بأن الضر يزال قد الطاقة ، وقاعدة ” الميسور لا يسقط بالمعسور ” وقد سئل شيخ الإسلام ابن تيمية عن رجل جندي ، وهو يريد أن لا يخدم ؟ فأجاب : ” إذا كان للمسلمين به منفعة ، وهو قادر عليها لم ينبغ له أن يترك ذلك لغير مصلحة راجحة على المسلمين ” اهـ

Nah, bagi penolak pajak dan penganjur agar resign dari dinas perpajakan itu mengambil dasar pendapatmya siapa? Padahal lembaga panutannya saja memfatwakan sebagaimana di atas. Tentu kita dapat menyimpulkan bahwa pendapat keharaman itu adalah diperoleh dari semata berasal dari opini pribadinya.

Mengingat pajak merupakan sektor terbesar bagi sumber pendapatan negara, maka sudah barang tentu opini serampangan sebagaimana hal di atas sangat patut disesalkan, sebab hal itu adalah tidak benar. Di dalam sejarah perkembangan hukum Islam, Sayyidina Umar radliyallahu ‘anhu juga tercatat pernah menerapkan kebijakan mengenai penarikan cukai (‘usyur) yang belum pernah diteladankan oleh Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Apakah kebijakan beliau ini juga akan mereka pandang sebagai mendukung kedhaliman meski tidak ada transaksi tijariyah (niaga) dan jasa di dalamnya? Dan apakah pemasukan kas Baitu al-Mal di jaman beliau dari sektor cukai ini juga akan mereka pandang sebagai kebatilan? Tentu, jika anggapan ini mereka lekatkan kepada beliau Sayyidina Umar ibn Khathab radliyallahu ‘anhu, maka sikap tersebut bisa ditengarai sebagai sikap kekurangajaran sebab beliau Sayyidina Umar merupakan salah satu sahabat yang dijamin surga lewat lisan Baginda Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam

Lantas, relasi apa yang dibenarkan dalam syara’ terkait dengan kebolehan pemberlakuan pajak bagi kas negara tersebut?

Di dalam negara kebangsaan (nation state), tidak ada lagi yang dinamakan kharraj, yaitu pajak yang dibebankan kepada penduduk non-muslim di wilayah yang ditundukkan oleh muslim. Semua penduduk yang tinggal dan menetap di negara kebangsaan, adalah diikat oleh suatu ikatan kesepakatan hidup bersama dan rasa nasionalisme terhadap negara. Semua individu tinggal dan menetap dengan status sama-sama berlaku sebagai warga negara (muwathinun). Mereka memiliki hak dan kewajiban bersama selaku warga negara. Untuk itu, kesepakatan semacam ini kemudian dikenal sebagai ikatan akad muwathanah

Ikatan akad muwathanah ini memang belum ditemui di dalam nushush al-syariah yang mu’tabar. Namun, setidaknya gambaran sederhana dari ikatan tersebut pernah dipraktekkan oleh Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lewat Piagam Madinah. 

Di dalam nushush al-syariah, salah satu relasi yang dibangun atas dasar kesepakatan bersama sehingga menyebabkan timbulnya hak dan kewajiban baru atas individu yang terlibat adalah ikatan munakahah. Asalnya, dua individu yang terlibat di dalam pernikahan, merupakan dua pihak yang diharamkan berdekatan dan melakukan kontak fisik (menyentuh, menjimak, dan lain-lain). Namun, setelah dilakukan akad pernikahan (aqdun nikah), maka apa yang sebelumnya haram bagi keduanya menjadi dibolehkan. Hukum kebolehan ini kemudian diiringi dengan kewajiban lain, yaitu adanya nafkah dan khidmah

Sebagaimana kita tahu, bahwa hukum asal nafkah seorang pria kepada seorang perempuan adalah tidak wajib sebelum adanya akad nikah. Sebab, ada kaidah, bahwa الأصل برائة الذمة, yaitu asal sebuah hukum adalah bebas dari tanggungan (kewajiban). Untuk itu, hak wajib atas harta yang dimiliki seorang pria ini hanyalah berlaku berupa kewajiban mengeluarkan zakat semata. Selain zakat, maka bukan lagi wajib atasnya mengeluarkan harta. Pengeluaran sebagian harta pria tersebut, selain zakat, maka dihukumi sebagai shadaqah, hibah, hadiah atau wakaf, yang hukumnya adalah sunnah. 

Namun, ketika jalinan akad nikah itu terjadi, kaidah asal bebas tanggungan ini tidak berlaku lagi atas pengeluaran hartanya, disebabkan faktor kelaziman bahwa setelah akad nikah maka hak nafkah istri adalah jatuh pada suami. Syariat menghormati hak kelaziman ini dengan Firman Allah SWT:

يا يها الذين امنوآ أوفوا بالعقود

“Wahai orang orang yang beriman! Penuhilah janji yang diikatkan.” (Q.S. Al-Maidah [5]: 1)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga bersabda:

المسلمون على شروطهم

“Orang Islam itu senantiasa di atas janjinya.” 

Sampai di sini, maka dapat disimpulkan bahwa pengeluaran harta yang hukumnya wajib secara lazimah disebabkan adanya ikatan akad janji hidup bersama (munakahah atau muwathanah) adalah masuk rumpun nafkah. Karena adanya nafaqah, maka berlaku kewajiban lain yaitu khidmah (pelayanan). Berangkat dari sinilah kita bisa menarik dan mengambil hukum mengenai pajak. 

Pajak yang lahir disebabkan karena relasi akad muwathanah (relasi kewarganegaraan) menduduki derajat nafaqah dalam hukum Islam. Oleh karena itu, sebagaimana akibat relasi munakahah, maka hak yang berlaku atas warga negara yang membayar pajak adalah mereka mendapatkan pelayanan (khidmah) dari pemerintah dan penyelenggara negara. Khidmah tersebut adalah dapat berupa fasilitas publik yang bisa diakses, rasa aman dalam menjalankan ibadah dan melakukan aktifitas niaga, dan masih banyak hal lain, termasuk di dalamnya adalah terciptanya rasa aman dari serangan/gangguan musuh yang berasal dari luar. 

Penutup

Pajak merupakan kewajiban yang berlaku atas warga negara yang dibangun atas relasi akad muwathanah. Oleh karena itu, pajak tidak bisa disamakan dengan al-maksu (pungutan liar), sehingga hukum bekerja pada kantor perpajakan dan bea cukai bukan termasuk bagian yang diancam oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai masuk neraka dan tidak dijamin surga. 

Jika memandang posisi strategis kantor perpajakan bagi terwujudnya hak dan kewajiban relasi muwathanah ini, maka bekerja pada sektor perpajakan dan bea cukai, justru menduduki posisi wajib adanya karena peran wasilah / perantara. Sebagaimana sebuah kaidah yang menyatakan bahwa: “ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajibun.” (Suatu kewajiban yang tidak bisa sempurna tanpa keberadaan sarana yang menyertainya, maka mewujudkan sarana itu hukumnya adalah wajib). Petugas pajak dan kantor perpajakan, berperan selaku sarana itu. Itulah sebabnya, justru keberadaan mereka hukumnya adalah wajib adanya demi memelihara relasi muwathanah tersebut dan kemaslahatan negara. Wallahu a’lam bi al-shawab

Rujukan

الفقه الميسر ١٣/‏١٠٨ — عبد الله الطيار (معاصر) 

المواطنة في الإسلام

المواطنة: اصطلاح يشير إلى الانتماء إلى أمة أو وطن، ويعني ذلك الجنسية. وتسبغ المواطنة حقوقًا وواجباتٍ معينة على المواطنين تشمل حق التصويت وشغل الوظائف العامة، وواجبات تناط بالمواطنين مثل دفع الضرائب، والدفاع عن وطنهم

الحكم الشرعي لذلك:

إن مفهوم المواطنة قد أرسي في الإسلام حيث تشير الصحيفة التي كتبها الرسول – ﷺ – عندما قدم المدينة المنورة، التي تعد أول دستور في الإسلام، وقد حددت الصحيفة العلاقة بين سكان المدينة المنورة من المسلمين وغيرهم من اليهود، وبينت الحقوق والواجبات، وحققت لهم العدل والمساواة.

وبهذا يتضح أن الإسلام يؤيد مبدأ حق المواطنة وما يبنى عليها من حقوق وواجبات، وهو يحقق المصلحة للفرد والمجتمع وللأمة، ولا يترتب عليه مفاسد. والله أعلم.

السياسة الشرعية – جامعة المدينة ١/‏٢٣٣ — جامعة المدينة العالمية (معاصر)

تجنب الراجعية في الزكاة:

أيضًا تجنب الراجعية في الزكاة، قد يحدث في بعض الأحيان أن بعض المكلفين عندما تفرض عليه الضريبة يحاول أن يتخلص منها أو من بعضها عن طريق نقلها إلى غيره، وقد يساعده على ذلك ظروف المجتمع الاقتصادية، وعلاقته بأفراد مجتمعه، وبذلك يتخلص من بعض التكاليف المالية المفروضة عليه.

وفي الواقع تعتبر راجعية الضريبة في النظم الوضعية إحدى العقبات الأساسية في تحقيق المساواة بين المواطنين في تحمل التكاليف المالية المقررة في الدولة.

ومن أمثلة الراجعية في الضريبة: المنتج أو التاجر الذي يحسب الضريبة التي يدفعها ضمن نفقات إنتاجه، أو ثمن سلعته، ويضفيها بالتالي إلى ثمن مبيعاته، وكذلك المالك الذي يزيد الأجرة بما يُفرض عليه من ضريبة عقارية، وإذا كان ذلك وضع الضرائب وموقف كثير من المكلفين ممن لم يقدروا المصلحة العامة حق قدرها، فإن وضع الزكاة يختلف عن الضريبة في هذا الشأن، ونظرة الناس إليها غير نظرتهم إلى الضريبة، فالمسلم يشعر أن الزكاة ليست علاقة بينه وبين حكومة أو إدارة تحصيل، بل هي علاقة بينه وبين ربه -سبحانه وتعالى- قبل كل اعتبار، وهذا هو معنى العبادة في الزكاة التي بأدائها يتقرب المسلم إلى الله، ويشعر حين يؤديها أنه يحقق ركنًا من أركان الإسلام، ومن هنا كان إيتاؤها طاعة وصلاحًا.

وبالإضافة إلى ما سبق فإن المسلم يعلم جيدًا أن الزكاة حق من حقوق الله واجب الأداء، ومن الطبيعي أن ما ذكرناه يولد في نفس المكلف الشعور بعدم إمكانية التحلل منها بطريق أو بآخر، وهذا الشعور في الواقع هو الشرط الأساسي لتجنب الراجعية في الزكاة.

المحيط البرهاني في الفقه النعماني ٢/‏٣٤٥ — ابن مَازَةَ (ت ٦١٦) – كتاب الخراج←الفصل الرابع في بيان مقدار الخراج

أن العلماء اختلفوا في الأراضي التي فتحت عنوة، ومنّ الإمام عليهم بها، منهم من قال: بأن الأراضي تصير للمسلمين ضرب عليهم الضرائب، وهكذا قالوا: سواد العراق إن جعل السواد بمنزلة العبيد للمسلمين، وجعل أراضيهم ملكًا للمسلمين، وما وضع عليهم، فهو كالضريبة التي يضربها المولى على عبده، وعبيدنا هم أحرار، والأراضي مملوكة لهم، وما يؤخذ منهم، فهو خراج كأهل بلدة من أهل الحرب ما…… مع الإمام على أن نجعلهم رقيق، فإن كان الأمر كما قال علماؤنا رحمهم الله: لا يجوز الزيادة، وإن كان الأمر كما قاله أولئك يجوز الزيادة، ويجوز التحويل؛ لأن للإمام ولاية نقل الجند من وظيفة إلى وظيفة، وأن يزيد على الوظيفة الأصلية، فإذا اجتهد الإمام حول أولئك، وحكم عليهم بالزيادة وبالتحويل، فقد حكم في فعل مجتهد فيه، فلا يكون للثاني أن يبطله بعد ذلك.

وإن افتتح الأراضي بالصلح قبل أن يظهر الإمام عليهم، وباقي المسألة بحاله، فالثاني ينقض فعل الأول؛ لأن فعله فعل في موضع لا يسوغ فيه الاجتهاد، لأن العلماء اتفقوا على أن هؤلاء أحرار، وأموالهم باقية على ملكهم، وليسوا بمنزلة العبيد للمسلمين إذ لم يوجد فيهم سبب الرق، والإمام أعطاهم الأمان بما شرط عليهم من الوظيفة، والتحويل والزيادة عليها تكون غدر بهم بالإجماع، فلم يقبل حكم الأول، فرده الثاني، بخلاف ما إذا فتحت الأراضي عنوة؛ لأن هناك وجد سبب الرق فيهم، وهو القهر والغلبة والاستيلاء، فيأتي الخلاف أن الإمام بالمن جعلهم أحرارًا، أو جعلهم عبيدًا للمسلمين على نحو ما بينا، الأراضي التي يريد الإمام توظيف الخراج عليها ابتداء، إذا زاد على وظيفة عمر ﵁ على قول محمد، وإحدى الروايتين عن أبي يوسف يجوز، وعلى قول أبي حنيفة وإحدى الروايتين عن أبي يوسف لا يجوز، وهو الصحيح للمعنى الذي ذكرنا هذا هو الكلام خراج الوظيفة حينًا إلى خراج المقاسمة، فالتقدير فيه مفوض إلى الإمام، ولكن لا يزاد على نصف الخارج؛ لأن الشرع لم يرد بالزيادة على نصف الخارج.

ثم إن محمدًا ﵀ يعتبر طاقة الأراضي في الخراج، ومعنى الطاقة أن لا يزيد الخراج نصف الخارج؛ لأن الشرع لم يرد بالزيادة على نصف الخارج، إليه أشار في كتابه «العشر والخراج».

وروى داود بن رشيد عن محمد: في معنى الطاقة أن يترك لكل رجل من أصحاب الأراضي من زرعه ما يقوته، ويقوت عياله، ويذره في أرضه، إلى أن يعود الزرع من قابل، وذكر القاضي الإمام صدر الإسلام معنى الطاقة في أرض الزعفران فقال: ينظر إلى ما خرج من جريب الأرض من الزرع كم قيمته، فإن كان قيمته مائة ينظر إلى الواجب فيه،

درر الحكام في شرح مجلة الأحكام ٣/‏١٥٥ — علي حيدر (ت ١٣٥٣)

ذا كانَتْ التَّكالِيف الأمِيرِيَّة لأجل مُحافَظَة النُّفُوس فَتَقْسِم عَلى عَدَد الرُّءُوسِ

إذا كانَتْ التَّكالِيفُ الأمِيرِيَّةُ لِأجَلِ مُحافَظَةِ النُّفُوسِ فَتُقَسَّمُ عَلى عَدَدِ الرُّءُوسِ ولا يَدْخُلُ فِي دَفْتَرِ التَّوْزِيعِ النِّساءُ ولا الصِّبْيانُ، وإذا كانَتْ لِمُحافَظَةِ الأمْلاكِ فَتُقَسَّمُ عَلى مِقْدارِ المِلْكِ لِأنَّ الغُرْمَ بِالغُنْمِ كَما ذُكِرَ فِي مادَّةِ ٨٧) إذا كانَتْ التَّكالِيفُ الأمِيرِيَّةُ لِأجَلِ مُحافَظَةِ النُّفُوسِ وتَحْصِينِ الأبْدانِ فَتُقَسَّمُ عَلى عَدَدِ الرُّءُوسِ؛ أيْ عَلى النُّفُوسِ الَّتِي يَتَعَرَّضُ إلَيْها ولا يَدْخُلُ فِي دَفْتَرِ التَّوْزِيعِ النِّساءُ ولا الصِّبْيانُ ولا يُعْتَبَرانِ مُكَلَّفَيْنِ بِهَذا التَّكْلِيفِ (الهِنْدِيَّةُ)

وعَلَيْهِ فالتَّكالِيفُ الَّتِي تُحْمَلُ عَلى أهالِي قَرْيَةٍ لِمُحافَظَةِ النُّفُوسِ لا يُحْمَلُ مِنها شَيْءٌ عَلى رَجُلٍ غَيْرِ ساكِنٍ فِي القَرْيَةِ المَذْكُورَةِ لِأنَّ بَدَنَ ذَلِكَ الرَّجُلِ لَيْسَ فِي تِلْكَ القَرْيَةِ (التَّنْقِيحُ).

ومِن التَّكالِيفِ الَّتِي تُفْرَضُ لِمُحافَظَةِ النُّفُوسِ القَسامَةُ أيْضًا، وذَلِكَ إذا وجَبَ عَلى أهالِي قَرْيَةٍ أوْ مُحَلَّةٍ أداءُ قَسامَةٍ أوْدِيَةٍ فَلا يَدْخُلُ فِي القَسامَةِ والدِّيَةِ الصِّبْيانُ والمَجانِينُ والنِّسْوانُ والمَعْتُوهُونَ (مِعْيارُ العَدالَةِ بِزِيادَةٍ).

كَذَلِكَ لَوْ صَدَرَ أمْرٌ سُلْطانِيٌّ بِأخْذِ العَوارِضِ مِن الرِّجالِ فَقَطْ فَلا يُؤْخَذُ مِن النِّساءِ (الحَمَوِيُّ).

وإذا كانَتْ الضَّرِيبَةُ لِمُحافَظَةِ الأمْلاكِ فَتُقَسَّمُ عَلى مِقْدارِ المِلْكِ ويُطْرَحُ عَلى النِّسْوانِ والصِّبْيانِ حِصَّةٌ مِن التَّكالِيفِ المَذْكُورَةِ بِنِسْبَةِ مِلْكِهِمْ (رَدُّ المُحْتارِ) سَواءٌ كانَ صاحِبُ المِلْكِ مُقِيمًا فِي المَحِلِّ المَوْجُودِ فِيهِ المِلْكُ أوْ كانَ مُقِيمًا فِي مَحِلٍّ آخَرَ فَيَجِبُ عَلَيْهِ إعْطاءُ ضَرِيبَةِ مِلْكِهِ ولا تَجِبُ هَذِهِ الضَّرِيبَةُ عَلى السّاكِنِ فِي ذَلِكَ المِلْكِ بِطَرِيقِ الإيجارِ (البَهْجَةُ) وقَدْ ذَكَرَ فِي شَرْحِ المادَّةِ (٥٢٩) الحُكْمُ فِيما إذا أُخِذَتْ ضَرِيبَةُ المِلْكِ مِن المُسْتَأْجِرِ..

فَعَلى ذَلِكَ لَيْسَ لِإمامِ قَرْيَةٍ الِامْتِناعُ عَنْ دَفْعِ الضَّرِيبَةِ الَّتِي تُصِيبُ أمْلاكَهُ ولَكِنْ لا يُجْبَرُ عَلى إعْطاءِ مِقْدارٍ زائِدٍ عَنْ ذَلِكَ.

وضَرِيبَةُ الأمْلاكِ تَجِبُ عَلى مَن تَدْخُلُ فِي مِلْكِهِ تِلْكَ الأمْلاكُ فَلِذَلِكَ لَوْ باعَ أحَدٌ أمْلاكَهُ المَعْلُومَةَ لِآخَرَ فَتَجِبُ ضَرِيبَةُ تِلْكَ الأمْلاكِ عَلى المُشْتَرِي (النَّتِيجَةُ) أمّا الضَّرِيبَةُ الَّتِي تَراكَمَتْ فِي ذِمَّةِ البائِعِ قَبْلَ البَيْعِ لِلْمُشْتَرِي فالبائِعُ مُكَلَّفٌ بِأدائِها.

كَذَلِكَ إذا أُوقِفَ مِلْكٌ وكانَ مُقَرَّرًا أخْذُ ضَرِيبَةٍ مِن الوَقْفِ فَضَرِيبَةُ الوَقْفِ تُدْفَعُ مِن قِبَلِ مَن لَهُ الغَلَّةُ (الخَيْرِيَّةُ).

الخَساراتُ البَحْرِيَّةُ: والحُكْمُ فِي الخَساراتِ البَحْرِيَّةِ هُوَ عَلى هَذا الوَجْهِ، وهُوَ إذا وُجِدَ فِي سَفِينَةٍ أمْوالٌ ونُفُوسٌ فَأصابَها إعْصارٌ وخِيفَ مِن غَرَقِها وتَلِفَتْ الأمْوالُ والنُّفُوسُ ولَزِمَ مُحافَظَةً عَلى النُّفُوسِ إلْقاءُ الأمْوالِ فِي اليَمِّ واتَّفَقَ سُكّانُ السَّفِينَةِ عَلى طَرْحِ الأمْوالِ المَذْكُورَةِ فِي البَحْرِ فَيَضْمَنُ مُلْقُو تِلْكَ الأمْوالِ الأمْوالَ ويُقَسَّمُ بَدَلُ الضَّمانِ عَلى عَدَدِ الرُّءُوسِ (الأشْباهُ).

كَذَلِكَ إذا مَرَّتْ السَّفِينَةُ فِي مَحِلِّ غَيْرِ عَمِيقٍ ولَمْ يَخَفْ مِن تَلَفِ النُّفُوسِ إلّا أنَّهُ خِيفَ مِن تَلَفِ الأمْوالِ ولَزِمَ لِحِفْظِ ذاتِ القِيمَةِ أنْ تُلْقى فِي البَحْرِ الأمْوالُ الثَّقِيلَةُ ذاتُ القِيمَةِ القَلِيلَةِ وطُرِحَتْ فِي البَحْرِ فَيُقَسَّمُ بَدَلُ ضَمانِ الأمْوالِ المُتْلَفَةِ بِنِسْبَةِ قِيمَةِ الأمْوالِ الباقِيَةِ (هَلْ يَجِبُ إدْخالُ السَّفِينَةِ ضِمْنَ الأمْوالِ الباقِيَةِ؟).

أمّا إذا خِيفَ مِن تَلَفِ الأمْوالِ والنُّفُوسِ مَعًا وطُرِحَتْ بَعْضُ الأمْوالِ فَيُقَسَّمُ بَدَلُ ضَمانِ الأمْوالِ المُتْلَفَةِ عَلى عَدَدِ النُّفُوسِ وعَلى مِقْدارِ الأمْوالِ الباقِيَةِ، إنّ اعْتِبارَ قِيمَةِ الأمْوالِ الباقِيَةِ أمْرٌ ظاهِرٌ، أمّا قِيمَةُ النُّفُوسِ فَهَلْ تُعْتَبَرُ فِي ذَلِكَ قِيمَةُ الدِّيَةِ أوْ يُعْتَبَرُ كَما فِي حُكُومَةِ العَدْلِ قِيمَةُ الصَّيْدِ؟

إذا كانَ أحَدٌ غائِبًا وأذِنَ بِإلْقاءِ مالِهِ فِي البَحْرِ فِي حالٍ حُصُولِ خَطَرٍ كَهَذا فَيُعْتَبَرُ مالُهُ فَقَطْ ولا تُعْتَبَرُ نَفْسُهُ أمّا إذا كانَتْ نَفْسُهُ ومالُهُ مَوْجُودَيْنِ فِي السَّفِينَةِ فَتُعْتَبَرُ نَفْسُهُ ومالُهُ مَعًا كَما بُيِّنَ آنِفًا.

كَذَلِكَ لَوْ ألْقى أحَدٌ مالَهُ أثْناءَ خَطَرٍ كَهَذا فَلا يَلْزَمُ شَيْءٌ.

وإذا لَمْ يَتَّفِقْ سُكّانُ السَّفِينَةِ عَلى إلْقاءِ الأمْوالِ فِي البَحْرِ وألْقاها أحَدُهُمْ فَيَلْزَمُ مُلْقِي المالِ ضَمانُ قِيمَةِ ذَلِكَ المالِ بِقِيمَتِهِ فِي ذَلِكَ الحالِ ولَوْ كانَ ذَلِكَ المالُ مِثْلِيًّا. اُنْظُرْ شَرْحَ المادَّةِ (٩١).

ومَعْنى (فَتُقَسَّمُ عَلى مِقْدارِ المِلْكِ) أنَّهُ يَدْفَعُ كُلُّ شَخْصٍ ضَرِيبَةً بِمِقْدارِ مِلْكِهِ، مَثَلًا لَوْ كانَ عَقارٌ مُشْتَرَكًا بَيْنَ شُرَكاءَ مُتَعَدِّدِينَ وكانَتْ حِصَصُ الشُّرَكاءِ مُتَفاوِتَةً فَيَدْفَعُ كُلُّ شَرِيكٍ مِن الضَّرِيبَةِ بِنِسْبَةِ مِقْدارِ حِصَّتِهِ. وقَدْ حُرِّرَ فِي تَنْقِيحِ الحامِدِيَّةِ مِن كُتُبِ الفَتاوى فَصْلٌ مَخْصُوصٌ مُتَعَلِّقٌ بِهَذِهِ المادَّةِ؛ لِأنَّ الغُرْمَ بِالغُنْمِ كَما ذُكِرَ فِي المادَّةِ (٨٧).

وهَذا التَّعْبِيرُ هُوَ عَيْنُ عِبارَةِ القاعِدَةِ الفِقْهِيَّةِ وأمّا العِبارَةُ الوارِدَةُ فِي المادَّةِ (٨٧) فَهِيَ عِبارَةُ أنَّ المَضَرَّةَ مُقابِلَةُ المَنفَعَةِ وهِيَ تَرْجَمَتُها مَآلًا.

Muhammad Syamsudin, S.Si., M.Ag

Spread the love

Tinggalkan Balasan