Komoditas dalam fikih sering diutarakan sebagai istilah sil’ah. Jika komoditas itu dipajang dan ditampilkan atau ditawarkan sehingga bisa dipiilih dan di-ta’yin oleh setiap pembelinya sehingga bisa dieksekusi dan dijuaal kembali atau diniagakan (trading), maka komoditas ini dinamakan dengan istilah urudl. Itu sebabnya ada istilah yang berlaku, bahwa:
السِّلْعَةُ : كلُّ ما يُتَّجَرُ به من البضاعة. السِّلْعَةُ المتَاعُ
‘Sil’ah itu adalah segala sesuatu yang bisa diniagakan dan terdiri dari harta dagangan (bidla’ah). Sil’ah adalah harta benda.” (Mu’jam al-Wasith)
Karena sil’ah merupakan komoditas niaga / perdagangan, maka sil’ah wajib memenuhi kategori barang yang bisa menjadi obyek jual beli (mabi’).
Secara fikih, jual beli ada 2, yaitu bai’ ainin musyahadah (jual beli aset fisik) dan syaiin maushuf fi al-dzimmah (sesuatu yang diketahui karakteristiknya dan bisa dijamin).
Jual beli aset fisik, ditengarai dengan wujudnya barang secara fisik di hadapan penjual dan pembeli, bisa saling serah terima barang dan harga antara dua orang yang berakad, dan terjadi pindah kepemilikan sehingga memungkinkan pembelinya untuk memanfaatkannya, selamanya.
Jual beli syaiin maushuf fi al-dzimmah, juga meniscayakan terjadi dengan cara yang sama dengan jual beli aset fisik. Masalahnya kemudian adalah para fuqaha’ memakai diksi syaiin. Syaiin sendiri secara literal maknanya, adalah:
الشيءُ : الموجودُ. الشيءُ ما يتصوَّر ويخبر عنه
“Syai’, adalah perkara yang sejatinya ada. Syai’ juga merupakan sesuatu yang bisa dideskripsikan dan diinformasikan keberadaannya.” (Mu’jam al-Wasith).
Dengan kata lain, bahwa syai’ itu adalah suatu entitas yang sejatinya ada, namun kadang sulit untuk dideskripsikan. Ia kadang bisa berupa barang fisik (ain), kadang berupa utang (dain) dan kadang juga bisa berupa fi’lin (jasa/manfaat barang).
Karena sifat adanya syai’ sebagai obyek yang dijual-belikan menghendaki wajibnya kemakluman (ma’lum), maka setiap “syaiin” wajib bisa dideskripsikan dan dijamin bisanya diserahkan.
Misalnya, jika syaiin itu terdiri dari barang (ain), maka barang itu harus bisa dideskripsikan dan dijamin penyerahannya. Sehingga, apabila terjadii kerusakan barang oleh pihak lain, maka pihak tersebut bisa melakukan ganti rugi, sebab diketahui deskripsinya barang.
Apabila “syaiin” ini berupa utang (dain), maka besar “utang” tersebut harus diketahui besarannya / nilainya. Sehingga, apabila utang itu dialihkan penunaiannya kepada pihak lain, maka besar utang tersebut diketahui sehingga berlaku akad hiwalah. Ketidaktahuan nilai utang yang akan dialihkan, dapat menyeret seseorang jatuh pada riba qardly atau transaksi jahalah.
Jika “syaiin” itu terdiri atas “manfaatnya barang” atau “jasanya barang” (fi’lin / khadamat), maka “manfaat/jasa” tersebut harus bisa ditunjukkan karakteristiknya untuk menghindari terjadinya gharar (ketidakjelasan).
Karakteristik jasa, umumnya dideskripsikan (maushuf) dalam bentuk bagaimana jasa itu akan ditunaikan (amal) dan kapan waktu penunaiannya (muddah). Tanpa pembatasan ini, maka suatu “syaiin” yang terdiri atas “jasa / manfaatnya barang” tersebut tidak bis diukur dan tidak diketahui (tidak maklum), walhasil tidak bisa diserahkan kepada pemesannya.
ولصحة إجارة ما ذكر شروط، ذكرها بقوله: (إذا قُدِّرَت منفعته بأحد أمرين): إما (بمدة)، كآجرتك هذه الدار سَنةً (أو عمل) كاستأجرتك لتخيط لي هذا الثوب.
“Selanjutnya, agar suatu akad sewa jasa bisa disebut sah, maka mushannif menyebutkan beberapa syarat, antara lain (apabila jasa syaiin tersebut bisa dibatasi kadarnya berdasarkan salah satu dari dua hal berikut ini), yaitu: (1) adakalanya dengan (durasi jasa), misalnya saya sewa rumah ini setahun, atau (dengan jenis amal / fungsinya), misalnya aku kontrak kamu untuk menjahitkan baju ini untukku.”
Misalnya, transaksi pembelian pulsa. Durasi kontraknya bisa satu bulan masa aktif dan satu bulan masa tenggang. Satu bulan menyatakan muddah (durasi). Sementara masa aktif dan masa tenggang menyatakan fungsional. Karakteristik dari masa aktif umumnya adalah bisanya “pulsa” tersebut dipergunakan untuk menelepon atau menerima telepon (amal / fungsional / jasa / manfaat). Karakteristik dari masa tenggang, adalah hanya bisa untuk menerima telepon (amal / fungsional / jasa / manfaat).
Ketidaktahuan terhadap manfaat/jasa yang dibeli, kapan ditunaikan, kapan diserahkan, dapat mengubah transaksi pembelian “syaiin” sebagai transaksi jahalah. Karena illat jahalah ini, maka terjadi praktik gharar (spekulatif).
Misalnya, bittcoin. Bitcoin tidak ada fisik materi di dunia nyata selain daripada di alam maya. Alhasil, Bitcoin ibarat sesuatu yang ada di balik tembok / layar sehingga memenuhi ketentuan sebagai “syaiin”. Sebagai syaiin, maka ia wajib bisa dideskripsikan manfaatnya sebab secara fisik tidak pernah dicetak.
Bagaimana jika tidak bisa dideskripsikan?
Suatu entitas yang tidak berwujud fisik dicetak dalam dunia nyata, jika tidak bisa dideskripsikan manfaat itu, dan hanya bisa dijualbelikan dalam bursa, maka itu merupakan faktor murajjih (indikator), bahwa:
- bitcoin adalah entitas yang masuk ranah syak sebagai syaiin yang bisa diserahkan manfaatnya.
- Apalagi ditambah dengan indikasi, tidak bertanggungjawabnya Pihak Penerbit script bitcoin (Perusahaan) untuk membeli material kriptografi yang berhasil ditambang oleh penambang.
- Karena pihak penerbit script tidak mahu membeli produk kriptografi Bitcoin, atau cryptocurrency sejenis, maka Bitcoin menjadi tidak punya ikatan dengan dain, ain dan fi’lin.
- Karena tidak punya ikatan dengan daiin, ain dan fi’lin, maka Bitcoin dan entitas cryptocurrency sejenis adalah termasuk aset fiktif (ma’dum).
- Bukti bahwa Bitcoin, adalah aset ma’dum adalah adanya qarinah bahwa entitas tersebut harus dijual ke orang lain dan bukan penerbit.
- Transaksi jual beli aset yang demikian, adalah termasuk transaksi bai’ ma’dum.
Imam Syihabuddin al-Syairazy di dalam Kitab Al-Muhaddzab fi Fiqh zal-Imam al-Syafii, Juz 2, halaman: 144 telah menjelaskan:
ولا تجوز الحوالة إلا على من له عليه دين لأنا بينا أن الحوالة بيع ما في الذمة بما في الذمة فإذا أحال من لادين عليه كان بيع معدوم
“Tidak boleh melakukan pengoperan tanggungan kepada pihak yang tidak memiliki kewajiban utang atas pihak yang mengoper, karena sesungguhnya telah jelas bagi kita bahwa pada dasarnya akad oper tanggungan itu adalah ibarat jual beli tanggungan dengan tanggungan. Karenanya, apabila terjadi pengalihan tanggungan atas pihak yang tidak memiliki utang wajib kepada pihak yang mengoper, maka transaksinya disebut transaksi fiktif (bai’ ma’dum).”
Kesimpulan, jangan tanya lagi soal hukumnya! Sebab, sudah bisa dipastikan bahwa entitas sebagaiimana contoh terakhir, hukumnya adalah haram syar’an jaliyyan. La yahillu (Tidak Halal).
Wallahu a’lam bi al-shawab
Muhammad Syamsudin, S.Si., M.Ag
Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.