Kemarin malam (1/4/2021), penulis memposting sebuah hasil rumusan Bahtsul Masail Via Whatsapp hasil rumusan Grup Kajian Fikih Terapan (KFT). Penulis sendiri sudah lupa, bagaimana perdebatan lengkapnya rumusan itu dulu ditulis. Sebab, ada beberapa admin yang terdiri para aktifitas Bahtsul Masail yang terlibat di dalam grup tersebut.
Kalau sudah bicara mengenai debat di Grup, untuk 1 soal, kadang sampai membutuhkan waktu sampai 1 hari lebih. Namun, ada banyak hikmah yang bisa diambil, yaitu kepekaan para mubahitsin semakin terasah. Sebab, bagaimanapun juga, yang dinamakan dalil itu adalah benar. Hanya saja, kadang pribadi orangnya yang sering salah tempat atau salah pasang ibarat disebabkan salah dalam memahami tashawwur masalah.
Kasus mengenai SIM itu, diawali dari sebuah pertanyaan yang datang dari salah satu penanya. Isinya kurang lebih:
Membuat SIM di Indonesia khususnya Kkabupaten saya (Penanya) tidaklah mudah, dan harus melewati test yang mana sangat sulit. Padahal, jika berkendara dan tidak membawa SIM, maka terkena tilang dan dianggap melanggar aturan.
Pernah ada kejadian, bahwa orang ikut sudah ikut hingga 7 kali tes, namun tetap tidak lolos. Padahal 7 kali tes itu berarti 7 kali pula dia meninggalkan pekerjaan, 7 kali beli bensin ke tempat tes berkendara. Karena tidak lolos juga, makka akhirnya dia memutuskan untuk minta bantuan sama polisi dengan membayar uang sejumlah tertentu agar diiberi kemudahan dalam mengurusnya.
Berangkat dari kasus ini, lalu muncul pertanyaan, apakah tindakan tersebut termasuk kategori suap? Setelah pertanyaan itu mendapat pembahasan, muncul pertanyaan berikutnya, yaitu lalu bagaimana hukum uang yang diterima polisi?
Sambil disertai ngopi di rumah / tempatnya masing-masing, para kyai, ustadz, gus dan santri berdebat. Perdebatan itu sangat seru. Lalu muncul sebuah perumpamaan (tamtsil). Perumpamaan tersebut begini:
“Anda punya pohon kelapa, tapi anda tidak bisa memanjat sendiri. Lalu apa yang akan anda lakukan?”
Jawab salah satu kyai: “Ya nyewa orang untuk memetikkan.”
Lalu balik dijawab: “Nah, begitulah yang terjadi pada pengurusan SIM. Anda punya sepeda motor. Untuk bisa digunakan dan tidak terkena tilang, anda harus punya SIM. Anda sudah berangkat test selama 7 kali. Dan nggak lolos-lolos juga. Itu justru tidak maslahah bagi karir dan pekerjaan anda. Yang maslahah, anda menyewa seseorang untuk menguruskan saja, alasannya: karena sepeda itu sudah jadi milik anda, bukan?”
Jawab para kyai: “Betuuuuuuul.” Sembari ketawa-ketiwi.
Lalu ada yang bertanya: “Kira-kira ada ‘ibarat yang bisa digunakan apa tidak?”
Akhirnya, dikirimlah kutipan dari sebuah kitab Mirqat al-Shu’ud al-Tashdiq, halaman 74, yang menjelaskan mengenai pengertian risywah secara syara’, yaitu:
قَالَ الشَّيْخُ مُحَمَّدٌ بْنُ عُمَرَ نَوَوِي الْجَاوِيُ: وَأَخْذُ الرِّشْوَةِ بِكَسْرِ الرَّاءِ وَهُوَ مَا يُعْطِيْهِ الشَّخْصُ لِحَاكِمٍ أَوْ غَيْرِهِ لِيَحْكُمَ لَهُ أَوْ يَحْمِلَهُ عَلىَ مَا يُرِيْدُ كَذَا فِي الْمِصْبَاحِ وَقَالَ صَاحِبُ التَّعْرِيْفَاتِ وَهُوَ مَا يُعْطَى لإِبْطَالِ حَقٍّ أَوْ لإِحْقَاقِ بَاطِلٍ اهـ
“Disampaikan oleh Syeikh Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi: suap itu adalah memberikan sesuatu kepada seorang hakiim atau yang sederajat dengan hakim agar ia memutuskan kasus hukum atas dirinya atau yang sedang disandangnya agar sesuai dengan apa yang diinginkannya. Demikian keterangan yang termaktub dalam Kitab Al-Mishbah. Lalu pengarang Kitab al-Tarifat memberikan penegasan, suap itu adalah memberi sesuatu kepada hakim untuk membatalkan sesuatu yang haq atau membenarkan sesuatu yang bathil.”
Berdasarkan ta’rif ini, suap itu ditegaskan sebagai perilaku bathil berupa memberikan sesuatu kepada pihak yang lain untuk membenarkan sesuatu yang salah / bathil. Padahal, kepemilikan sepeda motor oleh pihak yang sedang ditest, adalah sesuatu yang haq.
Sementara itu, alasan prosedur untuk mendapatkan SIM dengan jalan test berkendara dengan mengikuti pola angka delapan dan sejenisnya, adalah tidak memiliki korelasi dengan kepemilikan dan keselamatan berkendara. Sebab, jenis lintasan uji yang ditetapkan oleh polisi, tidak sinkron dengan kenyataan di lapangan. Alhasil, kedudukan test tersebut adalah yang lemah dari sisi hukum.
Karena faktor lemahnya tersebut, maka test berkendara pada lintasan, sifatnya adalah diabaikan dari sisi syara’ (mulgha). Sehingga, yang diunggulkan secara syara’ adalah pemilik kendaraan bermotor, harus diperbolehkan untuk mengendarai barang yang sudah menjadi hak miliknya.
Bila untuk meneguhkan kepemilikan itu harus dilakukan dengan jalan menyewa jasa polisi agar menguruskannya, maka tindakan menyewa itu bukan termasuk tindakan suap yang haram, disebabkan karena bersifat meneguhkan sifat kepemilikan terhadap barang/kendaraan.
Lantas Bagaimana bila di dalam Peraturan hal tersebut dinyatakan sebagai suap?
Para Kyai kemudian menjawab: “Bila menyewa jasa polisi adalah termasuk yang dipandang sebagai suap secara peraturan, maka sifat haramnya suap tidak berlaku atas pemilik kendaraan karena alasan di atas. Sifat keharaman itu berlaku atas Polisi yang disuruh, sebab melanggar aturan yang telah ditetapkan atas dirinya.” Para kyai ketawa lagi, grrrrrrrr……..
“Ada dasar ma’khadznya?” Sergah salah satu kyai
“Ini, ada dalam kitab Nihayatu al-Zain, mushanniif menjelaskan:”
وقبول الرشوة حرام وهي ما يبذل للقاضي ليحكم بغير الحق أو ليمتنع من الحكم بالحق وإعطاؤها كذلك لأنه إعانة على معصية أما لو رشي ليحكم بالحق جاز الدفع وإن كان يحرم على القاضي الأخذ على الحكم مطلقا أي سواء أعطي من بيت المال أم لا ويجوز للقاضي أخذ الأجرة على الحكم لأنه شغله عن القيام بحقه
“Menerima suap adalah haram, yaitu sesuatu yang diserahkan kepada qadli (atau menempati maqam qadli) agar ia memutuskan hukum dengan tanpa haq, atau supaya terhalang berlakunya hukum secara haq. Memberikannya juga sama, karena termasuk tindakan tolong menolong dalam perbuattan ma’shiyat. Adapun bila seseorang menyuap hakim agar ia memutuskan sesuatu dengan haq, maka boleh memberikan suap tersebut, kendati hal itu haram bagi seorang qadli untuk menerimanya berdasar hukum secara muthlaq meskipun uang suap itu diperoleh dari harta baitu al-mal atau selainnya (hukumnya tetap haram). Akan tetapi, boleh bagi qadli menerima upah atas suatu putusan berdasar hukum, karena aktifitas yang memakan waktu baginya untuk menunaikan perkara yang haq tersebut.”
Alhasil, berdasarkan ibarat ini, para kyai dan para alim yang ada di KFT kemudian memutuskan, yang lebih selamat bagi polisi, adalah ditetapkan hukum keharamannya saja, sebagai upaya saddu al-dzariah, dan jangan diputuskan sebagai upah! Sebab, semua orang nanti tidak ada yang taat aturan. Begitu.
Akhirnya, keputusan itu difatihai bersama, dan diketok palu kesepakatan rumusan. Tok Tok Tok.
“Boleh tidak hal ini dipublikasikan?” Tanya salah satu Kyai.
“Jangan dipublikasikan “Cukup di sini saja”! Catet!” Jawab admin. Lalu dicatat….. Dan dihasilkanlah catatan itu.
Begitu ceritanya! Penulis di sini, juga hanya mengisahkan alurnya saja! Tidak bermaksud mempublikasikan “cukup di sini saja”.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.