elsamsi log
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

Menyoal Sistem Bisnis Agro-Trading untuk Petani Kit

Agro-trading merupakan sebuah istilah yang saat ini sedang populer dan lagi trending di kalangan masyarakat kita, karena dianggap sebagai membuka peluang usaha baru bagi kebanyakan masyarakat petani kecil pedesaan. Sistemnya dilakukan dengan jalan pihak perusahaan memberikan stimulus modal usaha kepada para petani besar untuk menanam satu jenis tanaman tertentu. Pihak perusahaan selanjutnya mematok harga hasil panen per kilogramnya sebesar harga tertentu yang disepakati bersama antara petani dan pengusaha, di muka, sebelum tanam. 

Suatu misal, per kilogram hasil panen cabe kelak dipesan dengan harga 20 ribu rupiah per kilogram. Selain itu, pihak perusahaan juga mematok, bahwa untuk modal usaha yang dikucurkan per jutanya, perusahaan menarget 50 kg hasil panenan yang harus disetor oleh petani. Jadi, kalau petani menerima asupan modal sebesar 10 juta, maka ia harus menyetor 50 kilogram x 10 = 500 kg, atau 5 Kwintal cabe. 

Permasalahannya, adalah ketika musim panen tiba, terkadang cabe memiliki harga yang melambung tinggi hingga mencapai kisaran harga melebihi 20 ribu per kilogram.  Ketika kondisi ini terjadi, secara tidak langsung para petani mengalami kerugian. Penyebabnya, karena ia tidak bisa mendapatkan harga cabe sesuai harga pasar. Akibat lainnya, petani secara sembunyi-sembunyi menjual sendiri hasil panennya ke pasar demi mengejar harga pasar yang melonjak naik. 

Di samping itu, ketika harga cabe jatuh, petani diuntungkan, karena cabe yang dimilikinya sudah dipatok seharga 20 ribu rupiah per kilogram oleh perusahaan. Bahkan terkadang, petani yang tidak ikut dalam bagian sasaran permodalan oleh perusahaan, ikut nimbrung menjual cabenya di petani yang dimodali. 

Menyimak dari praktik ini, secara tidak langsung sudah tergambar bagaimana untung ruginya kedua pihak yaitu bagi petani dan sekaligus bagi pemodal. Pola bisnis semacam ini seringkali dikenal sebagai sistem agro-trading

Pertanyaannya, adalah apakah akad semacam ini diperbolehkan dalam Islam? Termasuk akad apakah pola semacam itu? 

Telaah Sistem Agro-Trading: Sumber Modal

Untuk memahami termasuk jenis akad apa pola bisnis sebagaimana ilustrasi di atas, maka terlebih dulu kita telaah sumber asal permodalan. Memang, secara 100% permodalan sebagaimana di atas adalah diperoleh oleh petani ketika ia hendak mengelola lahannya. Karena melihat sumber modalnya yang 100% dari perusahaan semacam itu, maka akad ini sering diistilahkan oleh beberapa pihak sebagai sistem bagi hasil (profit sharing). Di dalam syariat Islam, akad bagi hasil sering dikelompokkan ke dalam 2 akad, yaitu : sistem qiradl, dan sistem mudlarabah

Sistem qiradl, selain dicirikan oleh sumber asal modal yang 100% dari pemodal, namun dalam praktik di lapangan, pihak pemodal tidak menentukan bahwa pihak harus melakukan usaha di bidang tertentu. Oleh karena itu, menimbang dari ciri sistem qiradl, maka sistem bagi hasil di atas, tidak memenuhi kategori sistem qiradl. Jika demikian, apakah profit shariing di atas termasuk sistem mudlarabah? 

Sistem mudlarabah memang dicirikan oleh keberadaan perusahaan selaku pihak rabbu al-maal (investor) menentukan jenis bisnis apa yang akan dilakukan oleh pihak mudlarib, yaitu petani penggarap. Dengan demikian, karena bisnis di atas memenuhi kriteria ini, maka pola kerjasama profit sharing di atas, kita anggap sementara sebagai berbasis mudlarabah

Pola Bagi Hasil Agro-Trading

Menyimak dari alur bagaimana perusahaan itu mematok harga cabe kepada para petani, yaitu seharga 20 ribu rupiah per kilogram, dan setiap per juta modal yang diterimakan, petani harus menyetor 50 kilogram cabe kepada pihak perusahaan, maka dapat disimpulkan bahwa akad yang sebelumnya disebut sebagai akad mudlarabah, adalah termasuk jenis mudlarabah fasidah (akad bagi hasil yang rusak). 

Mengapa? Sebab, seolah perusahaan sudah memesan terlebih dahulu jumlah cabe yang harus ia dapatkan dari petani, pada waktu panen. Akad pemesanan (pre-order) semacam ini akan lebih tepat bila dimasukkan sebagai akad salam. Dengan demikian, sangat tidak tepat bila akad di atas dikelompokkan sebagai akad bagi hasil (profit sharing). 

Akan tetapi, menempatkan akad di atas sebagai akad salam, nampaknya juga dirasa kurang memenuhi aspek kemaslahatan bagi kedua pihak. Sebab, apabila harga panen melambung tinggi, maka pihak petani yang dirugikan. Dan apabila harga turun lebih rendah dari harga yang disepakati (20 ribu rupiah per kilogram), maka pihak perusahaan yang merugi. Karena bagaimanapun, pihak perusahaan menjadi terikat untuk memborong seluruh hasil panenan petani. Padahal, harga cabe sedang jatuh. 

Sistem semacam ini seolah menempatkan kedua pihak, baik petani atau perusahaan sebagai yang melakukan praktik gambling (judi). Oleh karenanya, praktik semacam dikenal dengan istilah maisir (spekulatif) dalam Islam. Karena Illat maisir ini pula, maka hal itu berlaku sebagai yang dilarang oleh syara’ juga. 

Bukankah, akad di atas sudah memenuhi Kriteria Akad Salam?

Akad salam dicirikan dengan penyerahan harga di awal, sementara barang diserahkan di belakang. Syarat yang harus dipenuhi dalam akad salam, adalah barang yang dijadikan obyek transaksi harus jelas kriterianya. 

Jika hal ini berlaku pada cabe, siapa to orang yang tidak tahu bentuknya cabe. Sejak jaman purbakala sampai sekarang, yang namanya cabe, maka bentuknya ya semacam itu. Alhasil, tidak perlu dipermasalahkan dari sisi kriteria cabenya. Asalkan, merk cabe yang ditanam sudah disepakati di awal, maka dari sisi obyek yang diakadi, praktik itu sudah memenuhi kriteria akad order (salam). 

Masalahnya adalah bahwa akad salam itu harus memenuhi juga kaidah imkan al-qabdl dan imkan al-taslim, yaitu bisanya obyek akad itu untuk diserahkan dan dikuasai oleh kedua pihak. 

Mencermati sisi kedua illat hukum ini, sistem agro-trading itu bermasalah dari sisi kepastian barang itu bisa diserahkan. Sebab, bagaimanapun juga, dalam bertani itu adakalanya gagal dan adakalanya berhasil. Jika berhasil, petani mungkin saja bisa memenuhi target penyerahan barang yang sudah dipatok oleh perusahaan. Namun, jika ada gagal panen, bagaimana petani mahu memenuhinya? Itulah sebabnya, praktik di atas sebagai yang cacat dari sisi imkan al-qabdli dan imkan al-taslim ini. Alhasil, illat yang unggul dan nampak di permukaan, adalah illat maisir-nya, karena spekulasinya. 

Berdasarkan pemahaman ini, maka hukum agro-trading sebagaimana uraian di atas, secara syara adalah haram secara syara’. Jika ada illat maisir maka biasanya selalu bergandengan illat gharar (penipuan). Yang berlaku sebagai merasa tertipu bisa dua-duanya, yaitu bisa petani, dan juga bisa pengusaha. Keuntungan yang diperoleh, merupakan buah dari praktik ghabn al-fakhisy, yaitu kecurangan yang terlampau besar kadarnya, sehingga tidak layak disebut sebagai untung / keuntungan usaha. Wallahu a’lam bi al-shawab

————–

Ada kurang jelasnya terhadap uraian permasalahan di atas, pembaca bisa mengontak langsung Redaksi eL-Samsi (Lembaga Studi Akad Muamalah Syariah Indonesia) lewat alamat email: redaksi@elsamsi.my.id

Spread the love
Muhammad Syamsudin
Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah PW LBMNU Jawa Timur, Wakil Rais Syuriyah PCNU Bawean, Wakil Ketua Majelis Ekonomi Syariah (MES) PD DMI Kabupaten Gresik

Related Articles

Tinggalkan Balasan