Mnyak Goreng Curah: Bagai Istri Tua yang diabaikan karena Istri Muda. Begitulah kiranya pepatah ini menggambarkan kebijakan pemerintah terhadap para produsen migor curah belakangan ini. Saat jaya ia dinistakan, saat sengsara ia dirindukan. Pepatah ini menjadi santer kembali pasca kaahnya pemerintah oleh para pengusaha besar produsen minyak goreng. (Baca: HET untuk Minyak Goreng Curah. Apa yang dimahu Pemerintah?)
Bukan tanpa sebab, anggapan ini muncul karena ada beberapa indikasi yang nampak di permukaan. Pertama, adalah disebabkan karena membludaknya minyak goreng kemasan pasca diserahkan mekanisme harganya pada pasar. Kedua, adalah pemerintah terpaksa harus menekan kontrak melakukan penetapan harga eceran tertinggi (HET) pada minyak goreng curah sebesar Rp14.000 per liter.
Untuk memperbaiki citra kekalahan dan menutupi proses yang melatarbelakangi kekalahan tersebut, pemerintah menggandeng Polri guna memberikan efek tekanan terhadap publik sehingga kebijakan HET pada minyak curah itu berjalan.
Permasalahannya, adalah apakah kebijakan ini merupakan yang terbaik dan harus diambil? Mengapa tidak bertahan pada kebijakan yang lama dengan memberikan subsidi pada produsen minyak goreng kemasan saja? Berikut ini hasil analisisnya!
Mengapa HET diberlakukan pada Minyak Goreng Curah?
Produsen minyak goreng kemasan terdiri dari para pengusaha kuat. Untuk menolak kebijakan pemerintah, mereka tidak mungkin melakukan pengerahan tenaga kerja dan buruh agar terjun ke jalan-jalan. Selagi hal itu bisa disiasati, tentu akan lebih praktis dan hemat.
Salah satu siasat penolakan adalah dilakukan dengan jalan menahan keluarnya produk yang mereka produksi ke pasar (ihtikar). Dasar pertimbangannya, adalah harga minyak goreng di pasaran dunia lebih menggiurkan dibanding akumulasi subsidi pemerintah yang diperoleh dari APBN. Kesempatan mendapatkan laba di pasar dunia jauh lebih besar di banding pasar domestik saat harga eceran dipatok oleh pemerintah (tas’ir jabary).
Meskipun pemerintah mengancam memberlakukan sanksi kepada produsen, dan mengata-ngatai tindakan produsen tersebut sebagai tindakan yang tidak manusiawi karena berusaha memperkaya diri sendiri dan mengais keuntungan yang sebesar-besarnya, para produsen ini memiliki kekuatan daya topang dan daya tawarnya terhadap pemasukan kas negara, Alhasil, pemerintah tidak memilikii opsi lain selain menuruti kemahuannya.
Untuk menuruti kemahuan tersebut, dan menjaga agar keberlangsungan mekanisme pasar tetap berjalan normal, maka satu-satunya instrumen pemerintah adalah memakai peran minyak goreng curah.
Kita harus ingat bahwa minyak goreng curah adalah produk usaha kecil dan menengah masyarakat (UKM). Kekuatan daya tekannya kepada pemerintah tidak sekuat produsen minyak goreng kemasan. Mengapa? Sebab, kekuatan produsen minyak goreng curah adalah bersifat partistik dan lokal. Alhasil, mudah untuk ditekan dan dikendalikan.
Tentu hal ini sangat jauh berbeda dengan produsen kemasan yang terdiri atas industri berskala besar, yang bersifat sentralistik dan mencakup hajat hidup orang banyak. Apabila pemerintah menekan dan memaksanya, maka mereka bisa menunjukkan powernya.
Inilah simalakama yang dihadapi pemerintah. Akhirnya, pemerintah harus mengeluarkan kebijakan balik kucing ke memanfaatkan peran HET. Alih-alih juga menjaga keamanan pemasukan kas negara, pengaruh dari memberikan keleluasaan pada produsen minyak goreng kemasan.
Mengapa penetapan HET Migor Curah disebut kebijakan Balik Kucing?
Kita harus ingat bahwa pemerintah sebelumnya pernah menekan peran peredaran migor curah di pasaran lewat kebijakan wajib kemas. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2020 tentang Minyak Goreng Sawit Wajib Kemasan. (Baca juga: Politik Minyak Curah dan Penurunan Neraca Ekspor CPO)
Apa alasan kebijakan wajib kemas minyak goreng tersebut diberlakukan? Anda bisa baca sendiri pada item pertimbangan dari Permendag 36/2020 tersebut, antara lain:
- bahwa untuk menjamin mutu dan higienitas minyak goreng sawit yang dijual kepada konsumen sebagai bahan pangan kebutuhan dasar masyarakat yang sesuai dengan standar keamanan, mutu, dan gizi pangan, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai minyak goreng sawit dengan kemasan;
- bahwa Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 80/M-DAG/PER/10/2014 tentang Minyak Goreng Wajib Kemasan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 09/M-DAG/PER/2/2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 80/MDAG/PER/10/2014 tentang Minyak Goreng Wajib Kemasan, tidak lagi sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat;
- bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan tentang Minyak Goreng Sawit Wajib Kemasan;
Yang diakui oleh pemerintah sebagai MINYAKKITA, adalah merek dagang untuk Minyak Goreng Sawit yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan yang telah terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Sementara yang dimaksud dengan produsen minyak goreng dalam Permendag 36/2020, adalah orang perseorangan atau badan usaha berbentuk badan hukum yang melakukan kegiatan pengolahan bahan baku dari kelapa sawit menjadi Minyak Goreng Sawit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lalu peraturan mana yang digunakan untuk menekan peredaran migor curah? Berdasar ketentuan yang terdapat pada item ke 10 dari Pasal 1 Permendag 36/2020 ini disampaikan bahwa Nomor Induk Berusaha yang selanjutnya disingkat NIB adalah identitas Pelaku Usaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS setelah Pelaku Usaha melakukan pendaftaran. Pengertian dari bunyi aturan Ini adalah seolah mengatakan bahwa migor curah hanya boleh beredar jika disertai adanya merek dagang. Alhasil, kebijakan wajib kemas adalah bagian dari pelarangan migor curah.
Namun, seiring terjadinya sengkarut pada DMO akibat tekanan dari produsen besar migor kemasan, Permendag Nomor 36 ini dicabut. Pemerintah lewat Siaran Pers 10 Desember 2021 dan mulai berlaku pada 1 Januari 2022.
Berdasarkan inforrmasi yang beredar, pencabutan ini di satu sisi ditentang oleh para pengusaha saat diumumkan. Namun, belakangan para pengusaha itu menyetujuinya pasca diberlakukannya Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 170 Tahun 2022 yang ditandangani pada tanggal 9 Maret 2022 dan mulai berlaku sejak 10 Maret 2022, dan dikuatkan lewat pengumuman Presiden RI pada Selasa, 15 Maret 2022.
Inilah kebijakan balik kucing itu. Kebijakan ini seolah menempatkan minyak goreng curah sebagai produk yang dibenci tapi dirindu. Atau bisa juga disebut Bagai Istri Tua yang diabaikan karena Istri Muda
Ditulis: Muhammad Syamsudin (Direktur eL-Samsi)
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.