Efek – dalam istilah Pasar Modal – artinya adalah surat berharga (al-auraq al-maliyyah). Agunan itu artinya jaminan (dzimmah). Padanan dari Aset adalah harta, yang bisa terdiri dari: ‘ain (barang), dain atau fi’lin, yang mana ketiganya adalah bisa dinilai sebagai harta ( uang ). Menurut OJK, aset yang dimaksud dalam EBA adalah Aset Keuangan. Jadi, di sinilah titik temu antara EBA perspektif fikih mu’amalah dan EBA versi OJK.
كل ما يتمول فهو المال
“Segala sesuatu yang bisa dijadikan harta adalah harta.”
Kalau dinalar versi OJK, barang kali pernyataan dari Imamuna Al-Syafii di atas bisa dibaca sebagai segala sesuatu yang bisa dijadikan harta adalah Aset Keuangan.
Ain dan dain merupakan harta fisik yang bisa terdiri atas barang dan uang. Sementara fi’lin merupakan harta manfaat, yang komponennya bisa berupa pekerjaan jasa (khadamat), manfaat yang dimiliki suatu barang (manafi’u al-a’yan) atau hak atas sesuatu.
Jadi, kalau begitu maka apakah Efek Beragun Aset (EBA) itu artinya adalah kertas/surat berharga berjamin ‘ain (barang), dain dan fi’lin sehingga merupakan syaiin maushuf fi al-dzimmah?
Jawabnya adalah iya di satu sisi dan tidak di sisi yang lain. Sebab, dzimmah sendiri maknanya adalah bisa dlamman, bisa pula kafalah. Kalau dimaknai dlamman, maka madlmun lah-nya adalah ain dan dain dan ini yang terdapat dalam narasi bab jual beli – versi Madzhab Syafii. Kalau dimaknai kafalah, maka makful lah-nya adalah fi’lin. Dalam narasi Fikih Madzhab Syafii, dzimmah yang bermakna kafalah ini masuk dalam ruang kajian Ijarah (sewa jasa). Ya, karena fi’lin itu adalah bagian dari jasa.
Lalu bagaimana dengan EBA di Pasar Modal?
Di Pasar Modal, EBA memiliki fungsi yang mirip dengan obligasi di satu sisi, dan reksadana di sisi yang lain. Bagaimana bisa hal itu terjadi? Nalar fikihnya (takyif fikih) bagaimana?
Bayangkan bahwa ada sebuah manaajemen perusahaan yang membawahi banyak unit kegiatan anak perusahaan. Ada yang bergerak di bidang infrastruktur, produksi, penjualan, pengadaan barang, dan lain sebagainya. Dari sini, mereka memiliki income yang banyak dan disatukan. Income ini cenderung bersifat tetap.
Nah, pihak manajemen ini menghendaki untuk melakukan ekspansi usaha. Ia ingin mendirikan satu unit kegiatan yang baru. Untuk itulah, maka mereka butuh sumber pendanaan lagi. Jika sumber pendanaan itu diambil dari pendapatan salah satu unit anak usaha saja, tentu hal itu tidaklah mencukupi. Lalu bagaimana agar tetap bisa melakukan usaha dan memperoleh dana?
Sebenarnya bisa sih menghubungi perbankan. Namun, itu tidak dilakukan. Apa sebab? Ya, karena banyak risiko yang harus ditanggung.
Alternatif yang bisa dipakai adalah mensekuritasisasi anak usaha. Maksudnya, bagaimana?
Begini. Jadi, maksud dari sekuritisasi ini adalah semua potensi yang ada dan telah dimiliki oleh manajemen dan terdiri atas berbagai anak usaha ini disekuritaskan, yakni: diterbitkan sebagai surat berharga.
Income yang cenderung konstan dijadikan sebagai dasar landasan (morgage) bahwa pihak manajemen bisa mengembalikan pinjaman kepada para calon investornya.
Gampangnya, begini. Pihak pengusaha bilang kepada manajer investasi, bahwa saya punya pendapatan dari berbagai sumber usaha saya. Pendapatan ini cenderung konstan. Saya butuh dana untuk ekspansi. Kalau mengandalkan pemasukan dari seluruh unit yang sudah ada, nampaknya kurang. Jadi, gimana caranya agar semua unit ini bisa saya jadikan landasan untuk mengajukan pinjaman kepada para investor?
Di situlah, akhirnya pihak Manajemen Investasi ini bertindak selaku pengalkulasi kekuatan dari seluruh unit anak usaha yang dimiliki manajemen perusahaan, dan selanjutnya merupakannya dalam bentuk Efek Beragun Aset.
Alhasil, makna aset yang dimaksud dalam EBA di sini, adalah aset yang memenuhi standar sebagai syaiin maushuf fi al-dzimmah disebabkan karena tidak bisa dita’yin (ditentukan).
Dengan begitu, EBA menjadi memiliki kemiripan dengan obligasi. Bedanya, kalau obligasi itu aset landasannya hanya ada pabrik X saja. Sementara, kalau EBA, aset landasannya bisa Pabrik X, Y dan Z dan dikelola oleh manajemen pusat / induk perusahaan (super holding). Nah, EBA diterbitkan oleh manajemen pusat / induk.
Rukun EBA
Kita akan bagi antara EBA konvensional dan EBA syariah. Mengapa? Sebab, mekanisme perjalanan keduanya niscaya berbeda.
EBA Konvensional. Mencermati terhadap perjalanan EBA itu dilaksanakan, maka rukun EBA konvensioal itu seolah tergambar sebagai berikut:
- Emiten : manajemen induk perusahaan dan berperan selaku pihak yang mewakilkan kepada pihak fund manager (Manajer Investasi) untuk mencarikan hutangan. Itu sebabnya, pihak ini disebut juga sebagai Issuer
- Fund manager (Manajer Investasi) berperan selaku wakil emiten guna menerbitkan EBA dan mencarikan hutangan. Karena selaku pihak yang menerbitkan, maka Manajer Investasi bertindak selaku penjamin transaksi. Kalau ada mangkirnya pihak emiten dalam menunaikan kewajiban sesuai dengan kontrak, maka MI bertugas memberikan teguran kepada manajemen perusahaan.
- Investor berperan selaku pihak yang memberi hutangan
EBA Syariah. Karena EBA syariah tidak mungkin berangkat dari akad qardl / hutang, maka akad yang berlaku adalah sebagaimana pada akad penerbitan sukuk. Artinya, EBA sebagai produk syariah itu menyatakan kepemilikan. Secara rinci, peran masing-masing pihak adalah sebagai berikut:
- Emiten : manajemen induk yang bertindak selaku pemilik aset dan mewakilkan kepada fund manager untuk menjualkan asetnya, kemudian aset itu akan disewa / dikelola oleh pihak manajemen lagi dengan janji akan ditebus lagi setelah selesai masa kontrak modal
- Manajemen Investasi bertindak selaku wakil emiten untuk menjualkan asetnya kepada para investor, yang lalu aset tersebut akan disewa emiten untuk digunakan dalam usaha. Pihak investor akan mendapatkan janji berupa bagi hasil
- Investor, bertindak selaku pembeli aset milik emiten lewat manajer investasi dan sekaligus menyewakannya untuk dikelola emiten.