Ketika anda memainkan sebuah permainan game, baik online atau offline, anda akan disuguhi dengan sejumlah item game. Kalau item itu anda ambil, tokoh yang anda mainkan tiba-tiba bisa berubah menjadi berkuatan super. Atau sebaliknya, tiba-tiba tokoh yang anda mainkan lemah kekuatannya.
Nah, sebagian masyarakat kita ada yang menjadikan item ini sebagai lahan mencari penghasilan. Item yang berhasil dikumpulkannya, dijual kepada pihak lain yang ingin memainkan game yang sama. Bagaimana tinjauan penulis terhadap item game ini jika dilihat dari sudut pandang fikihnya?
Begini.
Item Game Online “gratis” atau “prabayar,” keduanya memang sama-sama diperoleh dengan adanya “amal” dari pemain game. Ada “manfaat” yang bersifat “mustaqir” dengan item tersebut, yaitu kekuatan super dari tokoh di dalam game dan sedang dioperasikan oleh gamer. Kedua hal ini penting untuk kita garis bawahi.
Adanya amal, menandakan bahwa item itu adalah produk / buah dari amal, sehingga bersifat mutaqawwam.
المتقوم: ما له قيمة
Adanya manfaat mustaqir menandakan bahwa item itu menempati derajatnya sesuatu yang mutamawwal.
أن كل ما يقدر له أثر في النفع فهو متمول
Permasalahannya kemudian adalah bagaimana kalau item itu ditransaksikan dalam akad pertukaran (mu’awadlah). Kira-kira, akad apa yang bisa digunakan?
Jika kita tengok lebih dalam, seandainya terjadi pertukaran antara item dan uang, maka pertukaran itu meniscayakan berlakunya jangka waktu penyerahan. Uangnya diserahkan sekarang, itemnya diserahkan nanti.
Padahal, yang kita tahu adalah item itu terdiri dari entitas maya, sehingga tidak fisik, namun memiliki atsar (pengaruh) terhadap kekuatan super tokoh yang dimainkan.
Berangkat dari kedua indikasi mekanisme pertukaran itu, maka praktik pertukarannya tidak mungkin dihukumi sebagai akad jual beli (bai’). Mengapa?
Sebab, jual beli itu meniscayakan adanya barang fisik (ain), baik dalam bentuk musyahadah maupun maushuf fi al-dzimmah. Item game itu tidak memenuhi kedua syarat ini.
Oleh karena itu, kita perlu mencermati pada sisi atsaru item-nya yang bersifat mustaqir tersebut sebab dengan atsar itu, kita bisa menempatkan item itu sebagai mutamawwal. Sementara itemnya sendiri menempati derajatnya mutaqawwam.
Adanya penyerahan uang yang disertai keinginan untuk mendapatkan manfaat item non fisik, menandakan akadnya adalah akad ijarah dengan manfaat yang dikehendaki adalah amal berupa pekerjaannya item (atsaru al-naf’i).
Karena antara penyerahan uang dan adanya amal item itu ada jeda waktu penunaian, maka uang itu menempati derajatnya ra’su al-maal pada akad salam.
Namun, sekali lagi perlu diingat bahwa item itu adalah non fisik (maya). Jadi, tidak mungkin kalau dipandang sebagai salam sebagaimana bai’. Lalu dipandang sebagai apa?
Penyerahan uang yang disertai adanya janji penyerahan item (non fisik) di kemudian hari, menandakan bahwa uang itu berstatus sebagai utang (dain). Alhasil, item itu pada dasarnya adalah masuk derajatnya harta utang (dain).
الدَّيْنُ لُزُومُ حَقٍّ فِي الذِّمَّة فَيَشْمَل المال والحُقُوقَ
Dengan demikian, dapat kesimpulan yang bisa kita ambil, adalah:
- Item itu berstatus sebagai aset dain dengan atsar yang dikehendaki adalah amal-nya item
- Mentransaksikan item memenuhi syarat sebagai akad ijarah.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.