Apa yang diberitakan tentang salah satu selebriti Indonesia, hanyalah merupakan satu dari kesekian kisah pedofil yang terjadi di Indonesia. Sebelumnya kasus ini kembali mencuat, sudah ada kasus serupa yang dilakukan oleh Mario Manara, Michael Rene Heller (2001), Tony Wiliam SB (2004), Max Le Clerco (2005), MH (2006), Grandphild Philip Robert (2008), Baekuni (Babe) (2010), Candra Adi Gunawan (2014), Neil Bantleman dan Ferdinant Tjiong (2014), Agus Iskandar, Virgiawan, Syahrial, Zaenal dan Afrischa Setyani (2014), Robert Ellis (2015), Agus Dermawan (2015) dan terakhir adalah salah satu selebriti Indonesia yang lagi marak diberitakan saat ini. Dari kesekian nama ini, seluruhnya hanya yang terdata dan tersebar di media dan penulis kutip. Sangat ironis jika melihat jumlah korban yang ditimbulkan oleh para pelaku di atas.
Jika para pelaku pedofil terdiri dari warga yang tidak terkenal, maka dengan cepat efek traumatik korban yang masih hidup dapat dengan segera terobati dan dipulihkan. Akan tetapi, jika pelaku seorang public figure dan sering berlalu layang di media, maka di sini ada beberapa sengkarut permasalahan. Bagaimana kita seharusnya memandang tampilnya public figure tersebut kembali ke kancah selebrita nasional? Mari kita ulas!
Di dalam agama Islam, pelaku perzinahan yang melibatkan masing-masing pihak pelakunya sudah memiliki ikatan resmi dengan pasangannya masing-masing atau yang sudah pernah menikah, dan terjadi karena hubungan atas dasar suka sama suka melalui organ intim persenggamaan, maka perzinaan semacam ini disebut dengan istilah zina muhshan. Hal ini dapat kita pahami dari pengertian muhshan itu sendiri berdasar definisi kalangan Hanabilah yang dikutip oleh Imam Nawawi (w. 676 H).
والمحصن هو من وطئ زوجته في قبلها بنكاح صحيح لا باطل ولا فاسد
“Muhshan adalah orang yang mewathi pasangannya pada organ intimnya sebagai buah dari akad nikah yang sah, tidak batal dan tidak rusak.” (Majmu’ Syarah Muhadzab li al-Nawawi, Juz 20, halaman 13).
Bedasarkan ta’rif di atas, maka dapat didefinisikan pula bahwa zina ghairu muhshan merupakan zina yang terjadi apabila pelakunya belum pernah menikah. Bila persenggamaan terjadi pada selain organ intim, maka disebut sebagai liwath (sodomi).
Sanksi pezina muhshan adalah dirajam hingga meninggal, dan demikian halnya dengan sanksi pelaku liwath. Adapun untuk sanksi pezina ghairu muhshan adalah didera dan di-taghrib (diasingkan, atau di penjara.
فإذا زنى المحصن وجب رجمه حتى يموت….. وإن زنى الحر غير المحصن جلد مائة جلدة وغرب عاما إلى مسافة قصر
“Apabila seseorang melakukan zina muhshan, maka wajib dirajam hingga ia mati….. Dan apabila seorang merdeka melakukan zina ghairu muhshan, maka didera sebanyak 100 kali dan diasingkan selama satu tahun dalam jarak qashar shalat” (Majmu’ Syarah Muhadzab li al-Nawawi, Juz 20, halaman 13-14)
Bagaimana dengan kasus Pencabulan dan Pemerkosaan?
Kasus pencabulan terjadi bila pelaku dan korbannya dilandasi oleh adanya pemaksaan untuk melakukan persenggamaan pada organ intim. Bila terjadi pada organ intim, maka kasusnya dikenal sebagai delik pemerkosaan.
Di dalam kedua kasus ini, meniscayakan adanya pihak yang berlaku sebagai pemaksa (mukrih) dan yang dipaksa (mustakrih). Kerugian yang terjadi pada korban, bisa diidentifikasi sebagai 2, yaitu:
Pertama, hilangnya keperawanan bila terjadi pada gadis remaja. Kasus hilangnya keperawanan bisa terjadi akibat kasus pemerkosaan, dan bisa akibat pelecehan seksual serta pelecehan seksual. Kasus pelecehan seksual merupakan kasus akibat penggunaan alat atau benda dan bukan terdiri atas organ kelamin sehingga menyebabkan bedahnya selaput dara keperawanan.
Kedua, rusaknya organ tubuh (jarahah). Kasus pertama di atas meniscayakan hilangnya fungsi anggota tubuh. Hilangnya fungsi secara umum dapat dipilah menjadi 2, yaitu rusaknya organ intim persenggamaan sehingga menghilangkan batas normal timbulnya rasa ledzat ketika bersenggama dengan suaminya. Dan rusak yang sifatnya tidak sampai menghilangkan fungsi fa’al. Kasus kedua ini termasuk bagian dari tindak pidana qishash dan jarimah.
Pemilahan Sanksi pada Kasus Pemerkosaan dan Pencabulan
Di dalam Islam, sanksi pelaku perzinahan dipilah menjadi 2, yaitu antara dirajam (hudud) (bagi pezina muhshan) dan didera kemudian diasingkan (pezina ghairu muhshan). Karena di dalam pemerkosaan dan pencabulan, ada pihak yang berlaku sebagai mukrih (pemaksa) dan mustakrih (yang dipaksa), maka sudah barang tentu diperlukan adanya kadar penetapan hukum atas kedua pelaku tersebut.
Bagi pemerkosa dan pelaku pencabulan maka berlaku sanksi pidana hudud. Adapun bagi mustakrih, maka ia tidak bisa dikenai sanksi hukum pezina, sebab statusnya sebagai korban. Hak yang dilanggar oleh pelaku pemerkosa ada 2, yaitu haqqullah dan haqqu al-adamy. Haq Allah menghendaki untuk ditunaikan, dengan jalan minimal dipenjarakan seumur hidup atau pidana mati, khususnya bila pelakunya sudah pernah berkeluarga.
Adapun haqqu al-adamy yang dilanggar oleh pelaku, adalah karena menimbulkan kerugian (dlarar) terhadap korban. Kerugian ini meniscayakan tebusannya dalam bentuk pemberian kompensasi. Adakalanya dalam bentuk arsy al-bikarah (tambel keperawanan), dan diat (denda) sesuai dengan jenis anggota tubuh yang dihilangkan fungsinya. Diat inipun berlaku apabila terjadi keridlaan dari korban. Apabila tidak terjadi keridlaan, maka pelaku bisa dikenai had yang sama, yaitu penghilangan fungsi alat kelamin atau faal sebagaimana pada korban. Hal yang senilai dengan penghilangan fungsi kelamin, adalah dengan dimandulkan.
Apabila pelaku belum pernah berkeluarga, maka selain didera, ada had lain berupa tindakan pengasingan atau pemenjaraan selama 1 tahun. Namun, bila pelakunya adalah pihak yang sudah pernah berkeluarga namun belum berkeluarga lagi, maka kiranya kadar sanksi yang menimbang sisi keterhubungan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, adalah pengasingan seumur hidup. Pengasingan ini, identik dengan istilah tidak muncul di hadapan publik, tidak diberi panggung, kendati itu adalah panggung intertainment.
Apakah sudah terhenti sampai di sini? Ternyata belum. Efek pelukaan dan traumatic korban menghendaki adanya kompensasi dari pelaku sebagai bagian dari diat.
Muhammad Syamsudin
Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.