elsamsi log

Menu

Pembiayaan Ijarah di Institusi Keuangan Syariah Non-Bank (IKNB)

Pembiayaan Ijarah di Institusi Keuangan Syariah Non-Bank (IKNB)

Ada seorang NASABAH mengajukan permohonan fasilitas pembiayaan kepada IKNB (Institusi Keuangan Non-Bank) untuk menyewa bangunan/barang, dan selanjutnya pihak IKNB menyetujui. Lewat suatu perjanjian, IKNB mengikatkan diri untuk menyediakan fasilitas pembiayaan sesuai dengan ketentuan dan syarat-syarat yang disepakati bersama.

Bahwa, berdasarkan ketentuan Syari’ah, Pembiayaan oleh IKNB kepada NASABAH diatur dan akan berlangsung menurut ketentuan-ketentuan bahwa NASABAH untuk dan atas nama IKNB menyewa suatu unit bangunan dari pemasok (pemilik bangunan), untuk memenuhi kepentingan NASABAH dengan bea sewa disediakan oleh IKNB, dan selanjutnya IKNB tersebut menyewakan bangunan/barang tersebut kepada NASABAH sebagaimana NASABAH menyewa dari IKNB, dengan harga yang telah disepakati oleh NASABAH dan IKNB. Harga sewa ini tidak termasuk biaya-biaya lain yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan perjanjian.

Adapun penyerahan bangunan/barang tersebut dilakukan oleh Pemasok / pemilik langsung kepada NASABAH dengan persetujuan dan sepengetahuan IKNB.

NASABAH membayar harga pokok ditambah Ujroh keuntungan atas sewa ini kepada IKNB dalam jangka waktu tertentu yang disepakati oleh kedua belah pihak, sehingga karenanya sebelum NASABAH membayar lunas harga Pokok dan Ujroh Keuntungan kepada IKNB, maka NASABAH dinyatakan berutang kepada pihak IKNB.

Selanjutnya kedua belah pihak sepakat menuangkan perjanjian ini dalam perjanjian Pembiayaan IJARAH (selanjutnya disebut “perjanjian”) dengan syarat-syarat serta ketentuan yang disepakati bersama. 

Permasalahannya adalah apakah akad ini dibenarkan secara syara’? Untuk mengetahui jawabannya, berikut ini adalah hasil analisis dari rekan-rekan peneliti el-samsi. 

Sekilas Akad Wakalah

Para fuqaha sepakat bahwa akad wakalah merupakan akad yang dibangun di atas pondasi amanah. Itu sebabnya, sebagian fuqaha menegaskan bahwa batalnya akad wakalah adalah karena adanya unsur khiyanat. Meskipun hal ini tidak 100% diterima, namun keberadaan amanah sebagai pondasi akad wakalah, merupakan kesepakatan fuqaha’. 

Imam Khathib al-Syirbiny di dalam Mughny al-Muhtaj, menjelaskan:

مِن أحْكامِ الوَكالَةِ وهُوَ الأمانَةُ فَقالَ: (ويَدُ الوَكِيلِ يَدُ أمانَةٍ، وإنْ كانَ بِجُعْلٍ) لِأنَّهُ نائِبٌ عَنْ المُوَكِّلِ فِي اليَدِ والتَّصَرُّفِ فَكانَتْ يَدُهُ كَيَدِهِ، وأنَّ الوَكالَةَ عَقْدُ إرْفاقٍ ومَعُونَةٍ والضَّمانُ مُنافٍ لِذَلِكَ ومُنَفِّرٌ عَنْهُ فَلا يَضْمَنُ ما تَلَفَ فِي يَدِهِ بِلا تَعَدٍّ [مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج ٣/‏٢٥٤ — الخطيب الشربيني (ت ٩٧٧)]

Senada dengan Imam Khathib al-Syirbiny, al-Umrany di dalam Kitabnya al-Bayan fi Madzhab al-Imam al-Syafii, juz 6, halaman 409 juga menyatakan:

الوكالة تضمنت الأمانة والتصرف، فإذا بطلت الأمانة بالخيانة.. بقي التصرف

“Pada wakalah tersimpan makna amanah dan penyaluran. Apabila amanat itu batal, maka yang tersisa hanyalah penasarufan harta yang diwakilkan.”

Secara tidak langsung pernyataan di atas, adalah menegaskan bahwa di dalam akad wakalah tersimpan makna “tanggung jawab atas harta dan penunaiannya” (dlaman dan kafalah). 

Oleh karena itu tidak heran, apabila ada pernyataan bahwa: 

وإن وكله في الشراء، ولم يسلم إليه ثمنًا، فاشترى له، ففي الثمن ثلاثة أوجه: أحدها: أنه على الموكل، والوكيل ضامن. والثاني: أنه على الوكيل دون الموكل. والثالث: أن الثمن على الوكيل، وللوكيل مثله في ذمة الموكل، فيجوز للبائع مطالبة الوكيل دون الموكل، وللوكيل (مطالبة) الموكل بالثمن، وإن لم يطالبه البائع.  (حلية العلماء في معرفة مذاهب الفقهاء ط الرسالة الحديثة ٥/‏١٣٥ — الشاشي، أبو بكر (ت ٥٠٧))

Di dalam sebuah catatan kaki dari kitab yang sama, juga disampaikan bahwa:

لأن المبيع للموكل، فكان الثمن عليه، والوكيل تولى العقد، والتزم الثمن فضمنه، فعلى هذا يجوز للبائع أن يطالب الوكيل والموكل، لأن أحدهما ضامن، والآخر مضمون عنه، فإن وزن الوكيل الثمن، رجع على الموكل، وإن وزن الموكل، لم يرجع على الوكيل (حلية العلماء في معرفة مذاهب الفقهاء ط الرسالة الحديثة ٥/‏١٣٥ — الشاشي، أبو بكر (ت ٥٠٧))

Imam Raghib al-Ashfahany juga menyatakan bahwa: 

كلّ كفيل وكِيلٌ، وليس كلّ وكِيلٍ كفيلا (المفردات في غريب القرآن ١/‏٨٨٢ — الراغب الأصفهاني (ت ٥٠٢))

Pernyataan ini secara tidak langsung juga memberikan penegasan bahwa di dalam wakalah tersimpan makna adanya kesanggupan menunaikan suatu amanah yang dibebankan. Pelaksana yang sanggup menunaikan tersebut disebut sebagai kafil.

Alhasil, setiap kafil pastilah berlaku sebagai wakil, namun tidak semua wakil berlaku sebagai kafil. Wakalah lebih umum daripada akad dlaman dan kafalah. 

Relasi antara Muwakkil dan Wakil

Relasi antara wakil dan muwakkil merupakan relasi yang dibangun di atas pondasi yadu al-amanah. Alhasil, tindakan wakil adalah menyerupai tindakan muwakkilnya dalam penasarufan harta (al-wakil ka al-muwakkil fi tasharrufatihi), sesuai dengan yang diwakilkan padanya (al-wakilu aminun bima yuwakkalu bihi).

Apabila pihak muwakkil memerintahkan wakil untuk melakukan akad sewa sebuah bangunan tertentu, maka tindakan wakil dalam menyewa bangunan tersebut, adalah sama dengan perbuatan muwakkil. Alhasil, bea sewa merupakan tanggungan sepenuhnya dari muwakkil. 

Sampai di sini, maka berlaku rincian:

  1. Pihak yang menjadi wakil, berhak mendapatkan ujrah dari muwakkil apabila pekerjaan yang diperintahkan itu sudah ditunaikan. 
  2. Pihak yang memiliki bangunan, berhak menagih ongkos sewa kepada wakil
  3. Pihak wakil berhak menagih ongkos sewa kepada muwakkil
  4. Apabila pemilik bangunan itu memutuskan menggratiskan atau menghibahkan ongkos sewanya kepada pihak wakil, maka pihak wakil harus menyerahkan kembali ongkos tersebut kepada pihak muwakkil

وإذا وكل الرجل رجلًا بأن يستأجر له دارًا بعينها ببدل معلوم ففعل، فالآجر يطالب الوكيل بالأجرة، والوكيل يطالب الموكل وللوكيل أن يطالب الموكل بالأجرة، وإن لم يطالبه الآجر. وإذا وهب الآجر الأجر من الوكيل، وأبرأه صح. وللوكيل أن يرجع بالأجر على الآمر (المحيط البرهاني في الفقه النعماني فقه الإمام أبي حنيفة رضي الله عنه لأبي المعالي برهان الدين محمود بن أحمد بن عبد العزيز بن عمر بن مَازَةَ البخاري الحنفي (المتوفى: ٦١٦هـ) ج ٧ ص ٦١٣)

Permasalahannya kemudian, adalah bagaimana bila bangunan itu lantas disewa oleh wakil sendiri dari tangan muwakkil atas permintaan wakil sendiri, sehingga bayar sewanya adalah kepada pihak muwakkil dan bukan kepada pemilik bangunan aslinya? Bolehkah pihak muwakkil mengambil untung ongkos sewa?

Untuk menjawab masalah ini, ada sebuah ibarat dari fuqaha’ kalangan Hanafiyah yang menyatakan:

الوكيل باستئجار الدار بعينها بعشرة إذا استأجرها بخمسة عشر، ودفعها إلى الموكل. وقال: إنما استأجرتها بعشرة، فلا أجر على الآمر، وعلى الوكيل الأجر لرب الدار؛ لأن العقد ههنا نفذ على الوكيل لمكان الخلاف. وهذه المسألة دليل أن الإجارة لا تنعقد بالتعاطي.

(المحيط البرهاني في الفقه النعماني فقه الإمام أبي حنيفة رضي الله عنه لأبي المعالي برهان الدين محمود بن أحمد بن عبد العزيز بن عمر بن مَازَةَ البخاري الحنفي (المتوفى: ٦١٦هـ) ج ٧ ص ٦١٣)

“Seorang wakil akan diberi ongkos sewa rumah dan seluruh isi bangunannya sebesar 10 apabila ia berhasil menyewakan rumah itu seharga 15. Lalu diberikanlah harga 15 ini kepada muwakkil. Kemudian ia berterus terang (kepada muwakkil): Sebenarnya aku diberi harga sewa sebesar 10. 

Karena hal ini, maka tidak ada kewajiban bagi pihak penyuruh (muwakkil) untuk menggaji wakil. Hak wakil adalah mendapat upah dari pemilik rumah. Sebab akad yang berlaku di sini adalah bermula dari wakil yang menempatkan diri pada posisi khilaf (sengketa). 

Secara tidak langsung, Ini merupakan petunjuk bahwa akad ijarah tidak bisa berlaku sebab adanya penyimpangan.”

Mafhum dari ibarat di atas, adalah

  1. bahwa wakil tidak melaksanakan perintahnya pihak muwakkil, melainkan ia melaksanakan perintah pemilik rumah. 
  2. Karena tidak melaksanakan perintahnya muwakkil, maka pihak yang menggaji wakil adalah pihak yang menyuruh, yaitu pemilik bangunan
  3. Posisi wakil dalam kasus di atas, menjadi suruhan pemilik rumah, dan bukan suruhan muwakkil.
Dengan kata lain, mafhum ibarat tersebut adalah bahwa wakil tidak boleh mendapatkan upah dari dua sisi, yaitu dari muwakkil sekaligus pemilik rumah. 

Sekarang mari kita hubungkan dengan kasus kita sebelumnya!

Dalam kasus IKNB, peran masing-masing pihak dapat dipetakan sebagai berikut:

  1. Pihak penyuruh sebenarnya (al-Amir) adalah pihak nasabah sebab ia yang membutuhkan fasilitas bangunan.
  2. Pihak yang disuruh sebenarnya (al-ma’mur) adalah pihak muwakkil (IKNB). 
Jika merunut pada relasi ini, dan berdasarkan pertimbangan ibarat di atas, maka pihak yang berlaku sebagai orang yang berkewajiban membayar ongkos ma’mur (yang diperintah) adalah nasabah, karena ikatan relasi penyuruh (amir) dan yang disuruh (ma’mur).

Pihak yang disuruh (IKNB) bisa pula mewakilkan kepada pihak lain sebab dalam akad wakalah berlaku ketentuan:

وكل ما جاز للإنسان التصرف فيه بنفسه جاز له أن يوكل فيه أو يتوكل (متن أبي شجاع المسمى الغاية والتقريب ١/‏٢٤ — أبو شجاع (ت ٥٩٣))

Karena IKNB merupakan ma’mur, maka ia berhak atas ujrah dari nasabah selama IKNB menunaikan amanah yang diperintahkan sesuai dengan penyuruh. Demikian pula berlaku sebaliknya, yaitu pihak nasabah selaku wakil (di relasi lanjutan) juga berhak mendapatkan ujrah dari muwakkilnya (IKNB) karena relasi menyuruh mencari bangunan yang bisa disewa.

Apabila ongkos sewa yang diserahkan oleh rabbu al-bunyan (pemilik bangunan) sesuai dengan yang disampaikan oleh IKNB (al-ma’mur) kepada pihak nasabah (amir), maka harga sewa baru yang ditetapkan oleh IKNB kepada Nasabah adalah menempati derajatnya ujrah

Dengan demikian, maka akad ijarah yang diperankan dalam pembiayaan IKNB di atas sudah memenuhi ketentuan ijarah dalam bingkai fikih madzhab hanafi. Wallahu a’lam bi al-shawab

Spread the love
Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah PW LBMNU Jawa Timur

Related Articles