el-samsi-logo
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

Pembiayaan modal usaha, adalah salah satu produk yang penting bagi Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS), Badan Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), Baitu al-Maal wa al-Tamwil (BMT) dan sejenisnya. Pembiayaan jenis ini termasuk kategori pembiayaan sektor produksi. Konsumennya bisa terdiri dari Usaha Masyarakat Kecil dan Menengah (UMKM) atau bahkan perusahaan. 

Kali ini, kita akan fokus pada kajian mengenai pembiayaan produktif modal usaha mudlarabah / qiradl. Namun, teladan dari kasus ini, adalah pembiayaan sektor pertanian. Pertanian mutlak menjadi dasar pertimbangan seiring masyarakat Indonesia masih dihuni oleh profesi petani, pekebun, baik mereka memiliki lahan sendiri maupun menyewa. 

Sebagaimana umumnya produk pembiayaan, maka pembiayaan sektor pertanian juga bisa dibedakan menjadi 2, yaitu pembiayaan konsumtif dan pembiayaan produktif. Namun, saat ini kita fokus pada pembiayaan produktif terlebih dulu. 

Pembiayaan sektor produktif pertaian, dilakukan dengan akad musaqah. Akan tetapi, secara fikih, pembiayaan musaqah hanya berlaku pada 2 jenis tanaman saja, yaitu kurma (manshush) dan anggur (tasybih). 

Pertanyaannya, lalu bagaimana dengan sektor tanaman produktif yang lain yang merupakan produk dari masyarakat kita? Misalnya, budidaya padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, dan tanaman-tanaman lain? Bisakah dilakukan akad pembiayaan modal? Contoh kasusnya adalah sebagai berikut:

“Pak Ahmad ingin bercocok tanam cabai. Ia membutuhkan persediaan kebutuhan pra-tanam dan obat-obatan guna menghadapi musim tanam. Namun ia tidak memiliki modal sama sekali. Pada akhirnya, dipilih alternatif akses modal dengan menghubungi BMT el-Samsi.” Pembiayaan jenis apa yang sebaiknya dikucurkan? Bagaimana mekanismenya?

Dialektika Akad Musaqah

Jika kita merunut pada kehendak bagi hasil yang dikehendaki oleh BMT dan Petani, yang terdiri atas penjualan hasil buah atau hasil produksi tanaman kelak saat panen, maka akad kerjasama itu sudah barang tentu adalah akad mudlarabah / qiradl

Seiring buah adalah tujuan akhir dari kerjasama, maka akad ini menyerupai akad musaqah. Definisi dari musaqah, menurut Imam Haramain, adalah sebagai berikut:

المساقاة: أن يعامل مالكُ النخيل والكروم من يحسن العملَ فيها، ليقوم بسقيها، وتعهدها، ويشترط للعامل جزاء معلومًا مما يخرج من الثمر

Ada 2 akad yang menyerupai akad musaqah, yaitu akad muzara’ah dan akad mukhabarah. Akad mukhabarah di-nash sebagai akad yang terlarang. Oleh karena itu tinggal 1 akad, yaitu akad muzara’ah. Defiisi dari akad muzara’ah menurut Imam Haramain, adalah:

أما المزارعة فهي أن يعامل مالك الأرض رجلًا على أن يزرعها ببذرٍ لرب الأرض، وللعامل بعض ما يخرج منها، وهي استئجار الزراع ببعض يخرج من الزرع، فالمعاملة فاسدة.

Berdasarkan ibarat ini, maka anasir akad muzara’ah, terdiri dari:

  1. Pemilik tanah 
  2. ‘Amil / Muzari’
  3. Benih (al-badzru) berasal dari rabbu al-ardly (pemilik tanah)
  4. Amalnya ‘amil 

Akad muzara’ah dipandang sebagai muamalah fasidah disebabkan karena seolah pemilik lahan menyewa petani penggarap dengan upah berupa hasil buah yang kelak akan dipetik bersama. Alhasil, illat larangannya adalah karena jahalah dan gharar pada gajinya pengelola. 

Adapun akad mukhabrah, Imam Haramain menjelaskan:

والمخابرة أن يدفع الأرض إليه ليزرعها ببذر نفسه على جزء من الزرع يشرطه المالك للأرض. والعبارة عن المخابرة إنها استئجار الأرض ببعض ما يخرج منها

Berdasarkan ibarat ini, maka anasir dari akad mukhabarah, adalah sebagai berikut:

  1. Pemilik tanah
  2. Amil
  3. Amalnya ‘Amil
  4. Benih berasal dari ‘amil

Rusaknya muamalah mukhabarah, adalah karena seolah  telah terjadi praktik menyewakan tanah dengan upah berupa sesuatu yang belum timbul, yakni hasil panen. Alhasil, illat larangannya adalah karena jahalah dan gharar yang terjadi pada akad sewa tersebut..

Itu sebabnya, Imam Haramain menegaskan bahwa kedua praktik muzara’ah dan mukhabarah, adalah termasuk muamalah yang fasad (rusak).

والمزارعة، والمخابرة عقدان فاسدان

Namun, bukankah mekanisme musaqah dan muzara’ah memiliki banyak kemiripan? Bukankah yang membedakan adalah obyek akadnya saja. Musaqah hanya berlaku pada kurma dan anggur, sementara itu, akad muzara’ah berlaku atas jenis tanaman selain kurma dan anggur?

Di sini kemudian Imam Haramain menyatakan:

واستدل بعض الفقهاء بهذا الحديث على أن الأمر لا يلزم المأمور قبل اتصال الأمر به فهذا صورة هذه العقود

“Sebagian fuqaha beristidlal dengan hadits dari Imam Rafi’ ini dengan menyatakan bahwasannya perintah tidak berlaku atas pihak yang diperintahkan sebelum ada sebab perintah itu dilaksanakan. Nah, demikianlah akad musaqah yang berlaku atas obyek kurma dan anggur tersebut.”

Maksudnya, adalah ada kemungkinan bahwa akad musaqah tersebut dikembangkan dengan skema obyek tanaman yang lain dan menemui titik kesamaan dalam qiyasnya. Imam Haramain menukil pernyataan Imam Syafii radliyallahu ‘anhu dan memberi kesan adanya isyarah terhadap hal tersebut, yaitu:. 

لم نردّ إحدى سنتيه بالأخرى 

“Kami belum menemukan riwayat pemakaian salah satu dari 2 sunnah beliau ini pada obyek yang lain.”

Mafhum dari ungkapan Imam Syafii ini adalah musaqah secara dhahir nash memang berlaku atas kurma dan anggur. Namun, ada peluang untuk mengqiyaskan muzara’ah terhadap musaqah, baik dalam hal kebolehan maupun larangannya. 

Demikian halnya dengan praktik mukhabarah, yang merupakan praktik yang dilarang untuk digunakan dalam kerjasama pertanian. Tentu masing-masing memiliki illat larangan itu. 

أشار إلى أن القياسَ التسويةُ بين المساقاة والمزارعة في الجواز والمنع، ولكن السنة فرقت بينهما ووردت بتجويز المساقاة وبالمنع من المخابرة

Untuk memperkuat argumentasi beliau, Imam Syafii beristidlal dengan hadits riwayat Ibn Umar radliyallahu ‘anhuma mengenai praktik mukhabarah pada masa Ibnu Umar, yang kemudian ditegaskan larangannya lewat hadits Rafi’ radliyallahu:

كنا نخابر أربعين سنة لا نرى بذلك بأسًا، حتى ورد علينا رافعُ بنُ خَديج فأخبرنا أن رسول الله ﷺ نهى عن المخابرة فتركناها بقول رافع

Alhasil, akad mukhabarah dilarang adalah sebab nash. Sementara itu, untuk akad muzara’ah, adalah menyerupai akad musaqah. Itu sebabnya aneh bila kemudian musaqah diperbolehkan sementara muzara’ah berlaku sebagai yang dilarang. Padahal, keduanya juga sama-sama memiliki konsep landasan yang sama, yaitu menyewa petani penggarap dengan upah berupa hasil tanaman. Itu sebabnya, keduanya sama-sama majhul dan gharar. 

Para ulama’ pun lantas berusaha mencari takyif fikih dari akad musaqah. Mereka menegaskan:

المساقاة تنزع إلى عقود، وتشبهها في أحكام: هي شبيهة بالسَّلَم، من حيث إن العامل يلتزم العمل في الذمة، ولا تبطل بموت العامل، وتشبه بيعَ العين [الغائبة] (١)؛ إذ لا يجب فيها تسليم العوض في المجلس، بل لا سبيل إلى ذلك؛ فإن عوض العمل جزء من الثمار التي سيخلقها الله تعالى، وهي شبيهة بالإجارات؛ إذ المقصود منها العمل، وهي على الجملة معاملةٌ مستقلة بنفسها، ذاتُ خاصية

Berdasarkan pandangan ini, maka akad musaqah itu sejatinya bisa ditakyif menurut dua model.

Pertama, disamakan dengan akad salam dengan obyek akad berupa amalnya amil yang masuk dalam ruang al-amal fi al-dzimmah. Amal ini tidak bisa dibatalkan meski Si Amil itu telah mati sebagaimana jual beli barang yang tidak ada (bai’ ainin ghaibah). Upahnya Si Amil tidak harus diserahkan di majelis akad. Hanya saja, tidak mungkin bagi kita membawa akad musaqah itu ke arah situ (sebab akad salamnya yang harus menyerahkan ra’su al-maal). 

Kedua, disamakan dengan akad ijarah. Jika amalnya ‘amil dirupakan dalam bentuk bagian dari buah yang belum terjadi, maka akad musaqah akan menyerupai akad ijarah. Secara umum, penyamaan musaqah dengan akad ijarah adalah tidak sesuai sebab keduanya merupakan 2 hal yang berbeda dan masing-masing memiliki kekhushusan. Alhasil, jika musaqah dipandang sebagai akad ijarah, maka ijarahnya menjadi fasidah sebab gharar pada upahnya ‘amil.

Nah, takyif sebagaimana di atas, ternyata juga berlaku atas akad muzara’ah. Lantas atas dasar apa kemudian muzara’ah dengan obyek berupa tanaman selain anggur dan kurma itu tidak diperbolehkan? (Bersambung)

Muhammad Syamsudin
Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah PW LBMNU Jawa Timur, Wakil Rais Syuriyah PCNU Bawean, Wakil Ketua Majelis Ekonomi Syariah (MES) PD DMI Kabupaten Gresik

Tinggalkan Balasan

Skip to content