Hari ini, kita sedang disuguhkan oleh issue seputar Jaminan Hari Tua (JHT). JHT merupakan salah satu dari 5 program jaminan sosial nasional, bersama-sama dengan jenis jaminan yang lain, antara lain jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.
Pemberian JHT dilakukan dengan jalan memberikan manfaat berupa uang tunai yang dibayarkan secara sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap.
Landasan dasar filosofi diterapkannya JHT, adalah untuk menjamin agar peserta menerima uang tunai saat memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015 Pasal 15 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun ditegaskan bahwa JHT akan diberikan saat karyawan memasuki genap usia 56 tahun, yang mana usia ini terhitung sebagai usia tua. Sasaran JHT sendiri tidak hanya berlaku bagi golongan ASN (Aparatur Sipil Negara), akan tetapi juga berlaku atas karyawan perusahaan
Permasalahannya, adalah bagaimana Islam memandang akad dari JHT itu sendiri? Apakah sah atau tidak secara syara’? Berikut ini kupasannya.
Penting untuk dicatat bahwa JHT (Jaminan Hari Tua) adalah bagin dari asuransi dan menjadi bagian dari program BPJS Ketenagakerjaan. Itu artinya, berbicara soal hukum JHT, maka berbicara pula soal hukum Asuransi Ketenagakerjaan.
Menurut para fuqaha kontemporer, asuransi merupakan bagian dari akad takaful dan tadlamun. Ditilik dari sisi akad takaful, maka asuransi adalah cabang dari akad kafalah bi al-badan.
Obyek akad ini (makful) adalah pekerjaan yang harus ditunaikan penjamin (kafil) saat pihak yang dijamin penunaian pekerjaannya (ashil) berhalangan menunaikannya.
Sementara pihak yang mendapatkan penjaminan hak (makful ‘anhu), adalah para karyawan yang sudah memenuhi kriteria usia pensiun, cacat tetap akibat kerja atau kematian.
Hak yang dijamin atas karyawan (makful lahu), adalah ia mendapatkan Jaminan Hari Tua (JHT) dari instansi asal tempatnya bekerja.
Perlu juga diketahui bahwa sumber asal dana JHT adalah berasal dari pemotongan gajinya selama ia bekerja di usia produktif. Potongan gaji tersebut selanjutnya dimasukkan dalam Program BPJS Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek.
Nah, hak untuk mendapatkan kembali uang gaji yang pernah dipotong inilah yang merupakan tanggung jawab dari pihak BPJS untuk mencairkan saat dibutuhkan dan diajukan klaim asuransi.
Selanjutnya, dtinjau dari akad tadlamun, maka asuransi adalah cabang dari akad dlaman (ganti rugi). Besaran iuran premi yang dibayarkan oleh pihak karyawan dan dipotong dari persentase gajinya (setiap bulannya), adalah berstatus sebagai utangnya (dain) Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) ketenagakerjaan yang harus dibayarkan dan diserahkan kembali kepada pemiliknya saat pengajuan claim.
Sebab, bagaimanapun juga, potongan gaji tersebut adalah hak karyawan. Jika potongan itu dimaksudkan agar para karyawan tetap terjamin hari tuanya, maka secara tidak langsung status potongan gaji tersebut adalah berlaku sebagai utang BPJS. Pihak BPJS Ketenagakerjaan wajib menepatinya sebagai buah dari relasi dlamanu al-dain (jaminan utang).
Nah, selanjutnya yang perlu dipertegas adalah, apakah ada perjanjian dari BPJS untuk menempatkan uang yang dipotong tersebut sebagai dana investasi ataukah hanya sekedar dana tabungan, atau dana tabarru’?
Jika potongan tersebut (baca: premi) dimasukkan ke dalam sub dana investasi, maka kewajiban dari BPJS adalah mengembalikan uang plus hasil investasinya (istitsmary). Namun, apabila potongan terseut masuk ke dalam sub dana tabungan, maka pihak BPJS hanya berkewajiban mengembalikan sebesar uang yang pernah dipotong sebagai premi.
Di sisi lain, jika mencermati adanya kepastian pembatasan usia pensiun, maka tidak ada kemungkinan menjadikan dana premi peserta berlaku sebagai dana tabarru’. Oleh karenanya, hanya 2 kemungkinan status JHT itu berlaku atas karyawan terkait relasinya dengan jasa asuransi, yaitu sebagai investor, atau sebagai muqridl (pihak yang menghutangi).
Hukum Asuransi JHT
Berbekal pemahaman terhadap alur transaksi di atas, maka syarat sah berlakunya asuransi adalah keharusan menepati ketentuan yang berlaku dalam akad kafalah dan akad dlaman. Karena kedudukan lembaga asuransi adalah berperan selaku kafil dan sekaligus dlamin, maka peran itu tidak ada ubahnya dengan peran wakil perusahaan atau wakil karyawan.
Sahnya peran kafil, dlamin ataupun wakil, adalah apabila pihak wakil tersebut telah di-ta’yin. Dalam hal ini, BPJS Ketenagakerjaan merupakan yang berlaku sebagai pihak yang mu’ayyan. Adapun berkaitan dengan jenis obyek yang dijamin atau diwakilkan, maka tidak ada ketentuan dalam syara’ untuk mengetahui secara rinci. Alasannya, adalah karena baik kafalah, dlaman atau wakalah, ketiganya adalah akad yang dibolehkan karena dlarurah li al-hajah (darurat karena pertimbangan kebutuhan).
Yang perlu ditegaskan kemaklumannya adalah kejelasan waktu penunaian pekerjaan dan penyampaian utang. Mengapa? Karena kafalah adalah rumpun dari akad ijarah dengan obyek berupa manfaat pekerjaan. Akad kafalah akan berubah menjadi akad gharar apabila tidak bisa dibatasi oleh durasi kontrak (muddah) dan penunaian pekerjaannya (amal).
Sementara itu, ditinjau dari sisi harta yang diwakilkan lewat relasi akad dlaman, maka penyerahan harta tersebut juga meniscayakan diketahui waktu dan tempat penyerahannya (waqtu mahallihi). Mengapa? Karena akad dlaman adalah bagian dari cabang akad jual beli.
Sebagaimana diketahui, bahwa salah satu syarat sah jual beli dalam Islam adalah wajib imkanu al-qabdli dan imkanu al-taslim (bisa serah terima harga dan barang). Untuk itu, maka dibutuhkan batasan waktu penyerahannya.
Berangkat dari sini, maka dengan penetapan usia 56 tahun sebagai waktu penyerahan JHT, berdasarkan tinjauan dari sisi jurisprudensi hukum Islam, adalah justru menghilangkan kesan adanya praktek gharar (spekulasi) dan maisir (untung-untungan) pada asuransi BPJS Ketenagakerjaan. Justru ini akan lebih menguntungkan pihak karyawan sebab terjamin penunaiannya. Lain halnya dengan ketiadaan batas penetapan usia 56 tahun.
Adanya banyak kasus yang membelit perusahaan jasa asuransi dan sekaligus nasabahnya akhir-akhir ini, adalah karena ketiadaan jaminan dan kepastian kapan permohonan klaim asuransi itu diserahkan. Ketiadaan kepastian pada akad penjaminan sosial (kafalah dan dlaman), menandakan adanya praktik maisir dan gharar. Secara fikih, praktik seperti ini adalah haram.
Muhammad Syamsudin
Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Direktur eL-Samsi (Lembaga Studi Akad Muamalah Syariah Indonesia)
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.