Karena tas’ir merupakan yang dilarang oleh syara’, maka pemberlakuan kebijakan tas’ir, adalah sama dengan sengaja berlaku idlrar terhadap pihak lain. Alhasil, ada pihak yang dirugikan (dlarar).
Setiap kerugian (dlarar), meniscayakan kompensasi (arsyun) atau ganti rugi (dlaman).
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara: “arsyun dan dlaman” dibahasakan sebagai istilah SUBSIDI.
Nalar Fikih Pemberlakuan Subsidi
Tidak dipungkiri bahwa lonjakan harga yang terjadi pada barang-barang pokok atau bahan bakar minyak (BBM) seringkali dipengaruhi oleh adanya hambatan distribusi. Sudah barang tentu yang dimaksud sebagai barier distribusi dalam konteks ini, ada banyak macamnya.
Jarak bisa menjadi bagian dari hambatan distribusi. Sarana transportasi menuju ke pasar, ketersediaan infrastruktur, bencana alam, atau bahkan kondisi keamanan jalan, dan perang.
Seluruhnya bisa menjadi barier distribusi dan dapat berpengaruh terhadap lonjakan harga barang sehingga berpengaruh pula terhadap hukum asli pengaturan harga (tas’ir).
Sebagaimana diketahui, bahwa para fuqaha’ 4 madzhab sepakat bahwasannya hukum ashal pengaturan harga adalah yang diharamkan.
اتَّفَقَ فُقَهاءُ المَذاهِبِ الأْرْبَعَةِ عَلى أنَّ الأْصْل فِي التَّسْعِيرِ هُوَ الحُرْمَةُ
Artinya: “Para fuqaha 4 madzhab sepakat bahwasanya hukum asal pengaturan harga adalah haram.” (Majmu’at al-Muallifin, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, Kuwait: Dar al-Salasil, 1427 H, Juz 11, halaman 302)
Namun, ada saatnya ketika situasi menjadi sulit dikendalikan, masyarakat menjerit karena parahnya krisis, maka dibolehkan bagi pemerintah untuk melakukan tas’ir (pengaturan harga).
Berikut ini kami sajikan mengenai pernyataan al-Thufi (w 716 H) tentang kebijakan tas’ir akibat timbulnya barier distribusi yang sulit diihindari oleh pemerintah dalam rangka menjaga kemaslahatan umum:
وساءت الأحوال الاقتصادية بين العامة والزهاد، وانتشرت الفاقة وعم البؤس وكثر قطاع الطرق واللصوص، واشتد الغلاء، وعمد الناس إلى الغش والخداع والحيل والاحتكار، والتطفيف في الكيل والميزان، فألف العلماء بسبب ذلك المؤلفات ليشاركوا في حل هذه المشكلة حلا إسلاميّا، ودعوا إلى النظر في مصالح العامة وفرض التسعيرات الجبرية عند اشتداد الغلاء، والضرب على أيدي المطففين والمحتكرين
“Telah terjadi ketimpangan ekonomi antara masyarakat umum dengan para al-zuhad. Kondisi memprihatinkan dan menyedihkan terjadi di mana-mana. Banyak terjadi kasus perampokan dan pencurian. Krisis berlangsung sangat dalam. Saat itu, banyak masyarakat yang menghendaki berlaku curang, menipu, rekayasa transaksi dan penimbunan. Banyak terjadi praktik kecurangan dalam takaran dan timbangan. Di tengah kondisi itu, banyak ulama yang kemudian tergugah untuk menyusun berbagai karya dalam rangka berpartisipasi untuk mengubah kondisi yang menyulitkan itu secara Islami. Pada akhirnya, mereka menyuarakan pemandangan agar diberlakukan kebijakan demi menjaga kemaslahatan umum dan memutuskan agar dilakukan kebijakan pengaturan harga secara paksa dalam kondisi krisis mendalam tersebut. Selanjutnya, para ulama menyerukan agar ditegakkan hukum terhadap para pelaku yang mencurangi takaran dan timbangan, serta para penimbun barang pokok.” (Al-Thufi, al-Intisharat al-iIslamiyyah fi Kasyfi Syibh al-Nashraniyyah, Beirut: DKI, tt., Juz 1, halaman 29)
Berdasarkan ungkapan dari al-Thufi (w. 716 H) di atas, nampak bahwa tas’ir akibat hambatan distribusi boleh dilakukan ketika ditemui adanyya sejumlah indikasi (madhinnah), yaitu:
- Timbulnya banyak perilaku negatif di masyarakat, seperti kecurangan, penipuan, perampokan, pencurian dan sebagainya
- Adanya perilaku koruptif, sebagaimana mafhum dari pihak yang menjalan praktik kecurangan dalam timbangan dan takaran
- Adanya kartel harga, sebagaimana mafhum dari praktik ihtikar (menimbun barang untuk maksud menaikkan). Ciri utama dari ihtikar, adalah langkanya barang di pasar.
- Ketika ditemui prasyarat kondisi di atas, maka pihak pemerintah boleh menerapkan tas’ir jabary, yaitu pengaturan harga secara paksa oleh negara dalam rangka menjaga kemaslahatan umum.
Ahmad ibn Mukhtar Umar, dalam sebuah Mu’jam al-Lughah al-Arabiyyah al-Muashirah, mendefinisikan tas’ir jabary itu sebagai berikut:
التَّسْعير الجَبْريّ: (قص، جر) سِعْر رسميّ تحدِّده الدَّولة للسِّلع لا يجوز للبائع أن يتعدّاه.
“Tas’ir jabary, adalah harga resmi yang dipatok oleh negara untuk komoditas-komoditas tertentu yang tidak boleh diterjang oleh para pedagang.” (Ahmad ibn Mukhtar Umar, Mu’jam al-Lughah al-Arabiyyah al-Muashirah, Juz 2, halaman 1068)
Definisi yang senada juga pernah disampaikan oleh Abu Abdillah Muhammad bin Qasim Al-Anshari al-Rasha’((w. 894 H), yaitu:
هو تحديد حاكم السوق لبائع المأكول فيه قدراً للمبيع بدرهم معلوم
Artinya: “Tas’ir adalah pembatasan harga yang dilakukan hakim pasar terhadap pedagang barang-barang yang dikonsumsi dipatok dengan kadar harga tertentu yang ma’lum.” (Abu Abdillah Muhammad bin Qasim Al-Anshari al-Rasha’((w. 894 H), Syarh Hudud Ibnu Irfah, Beirut: Dâr al-Gharb al-Islamy, 1993, Juz 2, halaman: 356.)
Syeikh Zakaria al-Anshary, dalam kitabnya Asna al-Mathalib, juga menyampaikan, bahwa:
أن يأمر الوالى السوقة أن لايبيعوا أمتعتهم إلا بسعر كذا
Artinya: “Tas’ir adalah perintah wali (penguasa) kepada pelaku pasar agar mereka tidak menjual barang dagangan mereka kecuali dengan harga tertentu.” [Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib Syarah Raudhah Ath-Thalib, Beirut: Dâr al-Kutub Al-Ilmiyyah, tt., Juz 2, halaman 38]
Berbekal keterangan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:
“Pengaturan harga oleh negara terhadap komoditas tertentu adalah diperbolehkan manakala dijumpai adanya kebutuhan darurat di masyarakat serta situasi sosial yang memprihatinkan. Alasan hukum yang dibenarkan syara’ dalam melakukan pengaturan harga tersebut, adalah karena dlarurat li hajat al-nas (terdesak kebutuhan masyarakat) dalam rangka menjaga kemaslahatan umum (mashalih al-’ammah).”
Muhammad Syamsudin, M.Ag
Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jatim