el-samsi-logo
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

Sebut misalnya, ada sebidang tanah dengan luas 2 hektar. Tanah tersebut ditawarkan kepada kelompok badan hukum syirkah dengan kisaran harga 1 Milyar. 

Jumlah anggota syirkah sebanyak 50 orang. Setiap anggota menyerahkan modal sebesar 5 juta, sehingga terkumpul uang sebesar 250 juta rupiah. Uang yang kurang adalah sebesar 750 juta rupiah. 

Sisa uang tersebut dijanjikan akan diserahkan setelah 2 tahun kemudian. Apabila dalam waktu 2 tahun ternyata pihak syirkah belum bisa menyerahkan sisanya, maka pihak syirkah berjanji akan memberikan tambahan sebagai kompensasi terhadap keterlambatan. 

Pertanyaannya:

  1. Apa akad yang berlaku dalam akuisisi tanah tersebut?
  2. Siapakah yang bertanggung jawab atas kekurangan harga tanah tersebut?
  3. Bolehkah memberikan janji kompensasi apabila terjadi keterlambatan?

Akad Akuisisi Tanah

Setiap penyerahan barang yang diikuti dengan penyerahan uang sebagai harga, adalah termasuk akad jual beli (bai’). Sebab, dalam bai’ meniscayakan terjadinya mu’awadlah (praktik pertukaran). 

Dalam kasus di atas, akad akuisisi tanah tersebut bisa masuk kategori:

  1. akad bai’ taqsith (jual beli secara kredit), dan 
  2. bisa juga masuk akad bai’ bi al-tsaman al-ajil (jual beli dengan pembayaran tempo). 

Kedua akad ini adalah diperbolehkan dalam Islam, dengan catatan:

  1. Harga jadinya bersifat ma’lum (diketahui). Misalnya, 2 M.
  2. Jatuh temponya diketahui, misalnya 2 tahun. 

Penanggung Jawab Kekurangan Harga

Sesuai dengan deskripsi di atas, tanah tersebut dibeli oleh sekumpulan orang yang tergabung dalam syirkah. Syirkah merupakan kumpulan dari para investor. 

Karena tanah tersebut dibeli atas nama syirkah, maka penanggung jawab terhadap kekurangan harga tanah adalah seluruh anggota syirkah yang ada. 

Berapa persentase tanggungan yang harus ditanggung oleh pihak syarik? Jawabnya adalah sesuai nisbah modal yang disertakan di awal. 

Apabila nisbah modal itu sama-sama 5 juta, sementara kekurangannya adalah 750 juta, maka setiap syarik memiliki tanggungan sebesar 15 juta rupiah. 

Solusi ini adalah berangkat dari ketentuan dasar akad syirkah inan yaitu untung rugi ditanggung bersama sesuai dengan nisbah modal. Alhasil, apabila ada utang, maka utang tersebut juga dipungut berdasarkan nisbah yang sudah disepakati. 

Kompensasi Keterlambatan Pelunasan

Selanjutnya, bagaimana dengan kompensasi yang dijanjikkan oleh pembeli apabila terjadi keterlambatan dalam pelunasan harga beli sesuai dengan yang disepakati? 

Untuk menjawab pertanyaan ini, maka kita perlu merujuk kembali pada ketentuan jual beli. Kewajiban penjual adalah menyerahkan barang. Kewajiban pembeli adalah menyerahkan harga. 

Apabila ada bagian dari harga yang belum sempurna diserahkan, maka status kekurangannya adalah berlaku sebagai utang. Pihak muqridlnya adalah penjual. Pihak mustaqridlnya adalah pembeli. 

Dalam ketentuan utang, tidak boleh ditetapkan adanya syarat pengembalian lebih oleh muqridl kepada mustaqridl. Apabila ada syarat, maka syarat tersebut berlaku sebagai riba qardli. 

Permasalahannya adalah syarat di atas berupa kompensasi diajukan oleh pihak yang berlaku sebagai mustaqridl (debitur). Apakah juga berlaku sebagai riba? 

Dalam kondisi ini, ada 2 pendapat yang dikemukakan oleh para ulama’. 

  • Pertama, syarat kompensasi tersebut adalah dipandang sebagai riba nasiah. Asal muasal dari pendapat ini, adalah berawal dari syarat sah jual beli adalah wajibnya kemakluman harga. Ketika ada syarat kompensasi, maka kompensasi tersebut berlaku praktik bai’ dain bi al-dain yang dilarang, atau disebut juga sebagai riba nasiah. 
  • Kedua, syarat kompensasi tersebut tidak dipandang sebagai riba nasiah. Landasan dari pendapat ini adalah apabila besaran kompensasi tersebut tidak ditetapkan oleh muqridl (kreditur / penjual). Kompensasi ini menempati derajatnya athaya (pemberian), atau hibbatu al-tsawab. Landasan lain dari akad ini adalah adanya hadits yang menjelaskan bahwa sebaik-baik pihak yang berhutang adalah yang paling baik dalam penunaian / pelunasan utangnya (khiyarukum ahsanukum qadla-an). 

Di era seperti sekarang ini, umumnya kompensasi itu berlaku sebagai dlarurah li al-hajah. Alasannya, karena praktik jual beli tanah dengan pola sebagaimana di atas, tidak bisa berjalan tanpa adanya kompensasi apabila terjadi keterlambatan. 

Namun, karena di dalam Islam tidak berlaku adanya ta’zir bi al-mal (denda dengan jalan memungut harta), maka uang yang menjadi kompensasi tersebut tetap diputusi sebagai bukan pendapatan halal.

Alhasil, bagi pihak penjual yang menerima kompensasi itu, sebaiknya menyalurkan uang yang diperoleh di luar harga pastinya tanah pada ruang-ruang yang bukan untuk dikonsumsi, sehingga mutlak menghendaki pemisahan dari harga yang diterimakan padanya. Wallauh a’lam bi al-shawab.

Muhammad Syamsudin (Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur)
Muhammad Syamsudin
Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah PW LBMNU Jawa Timur, Wakil Rais Syuriyah PCNU Bawean, Wakil Ketua Majelis Ekonomi Syariah (MES) PD DMI Kabupaten Gresik

Tinggalkan Balasan

Skip to content