el-samsi-logo
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

Kita sekarang akan berbicara mengenai konsep akad titip dan ganti rugi dengan konteks berupa marketplace (pasar online). Artinya, apa yang akan kita bicarakan ini adalah berada dalam lingkup akad jual beli salam (order). 

Akad jual beli salam/order ini, pada dasarnya adalah merupakan akad yang menyimpan adanya praktik gharar disebabkan pembeli tidak bisa melihat barang secara langsung, dan transaksinya dilakukan dengan berserah diri pada penjelasan pelapak / penjuual. 

Meski demikian, lewat akad salam, sifat gharar karena adanya unsur jahalah (ketidaktahuan pembeli) terhadap barang ini sifatnya sudah direduksi lewat jalan khiyar. Khiyar adalah opsi memilih antara melanjutkan atau membatalkan akad. Dalam akad salam, khiyar yang berlaku antara penjual dan pembeli adalah khiyar syarath, yaitu jika barang sudah diterima, lalu pembeli melihat adakah pada barang itu cacat atau tidak. Jika ada, dan pembeli tidak bisa menerima, maka ia harus dibolehkan untuk mengembalikannya. Khiyar semacam inilah yang berlaku sebagai pereduksi gharar akibat akad salam tersebut. Alhasil, akad salam menjadi dibolehkan karena hal tersebut. 

Namun, konsepsi syara’ menggariskan bahwa al-kharaj bi al-dlaman (setiap kerugian harus ada upaya ganti rugi). Sementara akad salam tidak bisa lepas dari gharar. Oleh karena itu, tetap harus ada mekanis ganti rugi yang disediakan oleh marketplace. 

elsamsi.my.id

Nah, pada kesempatan ini, kita akan fokuskan masalah kerugian itu secara khusus pada relasi akad wadi’ah yang niscaya terjadi pada marketplace (pasar online). Namun sebelumnya, penting untuk kita ketahui, obyek apa saja yang memakai akad wadi’ah (titip) ini? 

Dari hasil identifikasii masalah, di antara kesekian obyek yang secara menyolok memakai relasi akad titip dan acap dibahasakan sebagai istilah titip dalam duniia marketplace adalah titip lapak, titip dagangan, titip uang untuk diserahkan kepada pelapak, atau titip harta manfaat semacam Koin Shopee, dan sejenisnya yang disimpan dalam saldo deposit. Semua obyek ini, sering diungkapkan dengan menggunakan lafadh titip. Bahkan, jika anda membuat sebuah akun e-commerce atau e-mail, anda secara tidak langsung juga telah melakukan akan titip. Titip apa? Ya titik data diri anda. 

Penyalahgunaan Data Pribadi di Marketplace

Terlepas dari apakah hal-hal di atas sebagai benar merupakan yang tepat disebut sebagai berelasi dengan akad wadi’ah, itu tidak akan banyak kita bahas. Hanya saja, penulis perlu menyampaikan mengenai sedikit analisis ciri-ciri suatu obyek direlasikan dengan wadi’ah dan sekaligus tanggung jawab ganti rugi akibat tindakan wanprestasi itu.

Konsepsi Akad Titip di Marketplace

Akad wadiah sering dimaknai sebagai akad titip barang. Dalam akad ini, maka batasan utama dalam syara’ (dlabith al-syar’i) yang harus dipatuhi dalam akad titip, adalah pihak yang dititipi (wadi’) sudah pasti tidak boleh menggunakan barang titipan tanpa seijin pihak penitip. 

Jika nekad menggunakan / memanfaatkan barang  titipan, maka perhitungannya adalah merujuk ke akad ijarah, sebab “seolah” pihak yang dititipi telah melakukan akad “sewa pakai” terhadap barang yang dititipkan (muda’). 

Oleh karena pemakaian tanpa ijin itu sama dengan istilah ghashab, maka besaran upahnya (ujrah) yang secara tidak langsung merupakan bagian dari skema ganti rugi (dlaman) dalam syara’ – adalah harus ditetapkan berdasarkan konsepsi pengupahan sewa yang umum berlaku di “wilayah” tempat menitipkan. 

Bolehkah pihak marketplace menetapkan besaran ganti rugi (dlaman)  secara sepihak? Jawabnya, secara umum adalah tidak boleh, sebab urfnya pihak marketplace bisa jadi berbeda dengan ‘urfnya pelapak. Misalnya, urf pendiri Bukalapak, atau Shopee, bisa jadi berbeda dengan ‘urfnya pelapak yang tinggal di Sidoarjo, atau Surabaya, atau Medan. 

Seumpama menggashab mobil titipan, maka besaran ujrah yang harus dikeluarkan oleh pihak penerima titipan, adalah sebesar ongkos sewa mobil yang berlaku di wilayah mobil itu dititipkan. Jika satu harinya adalah 350 ribu rupiah, maka pengghashab harus mengeluarkan biaya sebesar 350 ribu itu untuk membayar ganti rugi (dlaman) penggunaan tanpa ijin. 

Jika yang dititipkan itu berupa uang, maka uang yang wajib dikembalikan kepada penitip adalah uang itu sendiri, tidak boleh berganti. Jika fisik uangnya berganti, maka uang titipan itu berubah statusnya menjadi utang secara hukum (qardlu hukmy). 

Bagaimana bila uang itu dijamin kembalinya? 

Jika uang titipan itu diijinkan penggunaannya oleh pihak yang dititipi, maka uang yang baru yang dipergunakan untuk mengganti uang lama yang sudah digunakan, adalah seolah berlaku sebagai “fisik baru” yang bisa disifati dan dibeli dengan “fisik uang yang lama”. 

Alhasil, status uang yang baru, berlaku sebagai harta yang bisa disifati dan dijamin penuaiannya (syaiin maushuf fi al-dzimmah). Akadnya bisa masuk rumpun akad jual bei salam karena adanya ijin. 

Meski demikian, karena obyek titipan (muda’ bih) adalah uang, maka tetap dinamakan sebagai qardl (utang). Secara jual beli, obyek barangnya bisa disebut juga sebagai qardl syaiin maushuf fi al-dzimmah (utang sesuatu yang bisa disifati dan dijamin). Batasan (dlabith) yang perlu dicatat, adalah uang yang dititiipkan (muda’ bih) sebagai yang diijinkan penggunaannya oleh penitip (mudi’) untuk pihak yang dititipi (wadi’).

Jika penggunaan uang tersebut dilakukan tanpa seijin pemilik, maka menurut kaidah ashal yang berlaku atas barang amanah, adalah pemakaian semacam itu adalah masuk dalam rumpun perilaku ghashab.  Akibat dari perilaku ini, adalah wajibnya pihak yang menggashab (ghashib) membayar ganti rugi (dlaman) sebesar uang yang telah dighashab. 

Bagaimana bila maksud dari penggunaan tanpa ijin itu dimaknai sebagai penggelapan / pencucian uang? Secara khusus penggelapan / pencucian uang adalah ditujukan untuk “maksud” mengambil hak kepemilikan harta orang lain secara tidak sah yang ditandai dengan adanya rekayasa pengelabuan. Alhasil, sangat berlainan dengan ghashab, yang mana ada niatan pelaku ghashab untuk mengembalikan barang. 

Pengelabuan, penggelapan, pencucian uang, adalah masuk dalam wilayah ‘uqubah (pidana) disebabkan kesengajaannya untuk menguasai. Billa hal itu terjadi pada suatu platform, maka kewajiban yang berlaku bagi pelakunya, adalah mengembalikan harta yang terambil secara tidak sah tersebut kepada pemilik asalnya. Bila tidak, maka tuntutan hukumnya (pidana), tidak bisa hilang sampai akhirnya terjadi pengembalian.

Bagaimana bila penggunaannya diketahui secara pasti bahwa penitip pasti mengijinkan?

Akad titip (wadiah) yang disertai dengan kemafhuman penggunaan harta uang tanpa perlu lafadh ijin kepada pemiliknya, sering  disebut juga sebagai wadi’ah ma’a al-dlamman, atau wadi’ah yad al-dlammanah. 

Akad ini dinyatakan sebagai sah, sebab keberadaan unsur pasti diridlainya tersebut (‘ulima ridlahu). Batasannya (dlabith) dari akad ini, adalah wajib adanya kesanggupan ganti rugi (dlamman) bagi penggunanya. 

Alhasil, kesimpulan kecil yang bisa kita tarik dari akad wadiah berupa uang adalah:  akad titip uang yang  disertai kebolehan penggunaan oleh pihak yang dititipi, bisa dibaca sebagai akad: qardlu hukmy, bai’ salam, bai’ muajjal, bai’ al-taqshith, wadi’ah yad al-dlamman. 

Jadi, ada 5 pembacaan, dan masing-masing memiliki risiko yang sama, yaitu kembali berupa uang yang jumlahnya adalah sama (tamatsul), dengan satuan mata uang yang sama. 

Risiko Akad Wadiah berdasar Obyek Titipan

Dari kedua contoh obyek titipan di atas, ada dua risiko yang  berbeda terkait dengan barang titipan, antara lain: 

Pertama, untuk obyek titipan berupa barang fisik selain uang, maka penggunaan oleh pihak yang dititipi (wadi’) mensyaratkan adanya upah (ujrah) yang umum berlaku di wilayah setempat (ujrah ‘urfy). Ujrah semacam ini masyhur disebut sebagai ujrah mitsil. 
Kedua, titipan berupa uang tidak boleh memungut ujrah, melainkan harus mengembalikan fisik uang sejumlah uang yang digunakan. 

Imbas Risiko Wadi’ah pada Marketplace

Secara syara’, risiko dari adanya akad titip (wadi’ah), adalah adanya pihak yang dititipi (wadi’) menjadi terikat oleh 4 kewajiban dasar, yaitu: 

  • Pertama, Ia wajib menjaga barang yang dititipkan kepadanya dalam tempat penyimpanan yang semestinya, sesuai jenis barang yang dititipkan (khirzin mitslin). Bila tidak, maka bila terjadi kerusakan pada barang, maka pihak yang dititipi wajib menanggung ganti rugi (dlaman). 
  • Kedua, Ia wajib menjaga barang yang dititipkan sesuai dengan jenis barang tersebut membutuhkannya. Jika berupa sepeda motor atau mobil, maka harus dipanasi setiap hari. Jika berupa hewan ternak, maka harus diberi nafaqah. Karena alasan inilah maka boleh dalam akad wadiah barang untuk memungut ujrah (upah). Bagaimana dengan titip uang? Maka dalam hal ini dikembalikan pada batasan akad titip sebagai ghayah (puncak batasan), yaitu wajibnya kembali fisik barang yang dititipkan kepada pemilik itu lagi. Jika bisa kembali berupa “fisik” uang itu lagi, maka – dalam timbangan peneliti – hukumnya adalah boleh memungut ujrah (upah) sebab adanya box penyimpan. Alhasil,  akadnya adalah menjadi wadi’ah amanah. Namun, jika tidak bisa kembali berupa “fisik” uang itu lagi, maka tidak boleh memungut ujrah (upah), sebab upah itu nanti bisa menjadi bias dengan manfaat utang. Alhasil, upah itu menjadi riba qardli karena relasi akad utangnya. 
  • Ketiga, Kerusakan pada barang yang dititipkan yang tidak diakibatkan oleh adanya unsur melampaui batas oleh pihak yang dititipi, maka tidak berlaku adanya ganti rugi. Ganti rugi hanya berlaku bila terjadi tindakan melampaui batas oleh pihak yang dtitipi.  
  • Keempat, Pihak yang dititipi wajib mengembalikan barang yang dititipkan sebagaimana asallnya ke pemilik, bila pihak pemilik memintanya. 

Konklusi 

Alhasil, setidaknya dengan penjelasan ini, kita bisa menganalisa, bahwa seandainya akun anda rusak yang diakibatkan oleh perilaku marketplace / atau suatu platform e-commerce, atau akibat bocor ke publik, atau dibobol, maka anda sebenarnya bisa menuntut ganti rugi akibat rusak atau bobolnya akun itu.

Mengapa? Sebab, akun merupakan bagian dari harta manfaat. Anda buat di marketplace tertentu, adalah bagian dari akad titip anda terhadap data pribadi anda, harta anda, saluran resmi untuk menghubungi anda, dan lain sebagainya Tidak berfungsinya akun, secara tidak langsung telah merugikan anda, sehingga berhak atas ganti rugi (dlaman).

Bagaimana bila anda menitipkan harta manfaat berupa mata uang digital, yang lalu mata uang tersebut menjadi tidak bisa digunakan sebagai bukan akibat kadaluwarsa (habis masa kontrak) dengan marketplace? Sudah barang tentu, anda bisa melakukan klaim kerugian.

Pihak marketplace sendiri juga harus menyediakan saluran resmi untuk pengajuan klaim dan ini sifatnya adalah wajib. Sebab itu adalah bagian dari relasi akad dlaman (tanggung jawab terhadap klaim kerugian). Bila tidak, maka keuntungan yang diperolehnya menjadi indikasi menabrak larangan Rasulullah shallallau ‘alaihi wasallam yakni sebagai telah melakukan niaga tanpa berpenjamin. Wallahu a’lam bi al-shawab

Ditulis Oleh: Muhammad Syamsudin [Direktur eL-Samsi]

Muhammad Syamsudin
Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah PW LBMNU Jawa Timur, Wakil Rais Syuriyah PCNU Bawean, Wakil Ketua Majelis Ekonomi Syariah (MES) PD DMI Kabupaten Gresik

Tinggalkan Balasan

Skip to content