Minyak Curah kembali digelontorkan oleh pemerintah lewat Kementerian Perdagangan ke pasar tradisional. Padahal, belum berselang lama kebijakan wajib kemas itu diumumkan. Namun seiring kenaikan harga minyak sawit dunia, yang berpengaruh terhadap ketersediaan produk minyak goreng kemasan di lapangan, maka pemerintah kembali merevisi kebijakannya itu sehingga membolehkan Minyak Curah itu dilepaskan lagi ke pasar. Guna memperhalus kebijakan, maka ada istilah yang disampaikan oleh Kemendag sebagai mengedepankan edukasi ke masyarakat.
Sebenarnya, dalam kondisi semacam sekarang ini, istilah mengedepankan edukasi ini sudah barang tentu dipertanyakan. Apakah sebelum ada kenaikan harga minyak ini, tidak ada edukasi? Atau bahasa edukasi itu sebenarnya hanyalah siasat yang dimaksudkan oleh pemerintah untuk memberi jalan bagi produsen minyak goreng kemasan tuk melepas produknya di pasar internasional?
Pertanyaan ini bukan tanpa alasan. Pertama, negara kita memang lagi butuh sumber pemasukan APBN yang besar. Banyak proyek infrastruktur yang butuh pendanaan. Kedua, jika di awal pemerintahan Presiden Joko Wiidodo saja terdapat banyak subsidi yang dicabut guna menormalkan neraca pengeluaran APBN, maka tidak ada salahnya juga, apabila muncul asumsi bahwa subsidi minyak goreng yang dialamatkan ke produsen guna menutup kerugian akibat pemenuhan komitmen bersama pengamanan stock nasional minyak goreng hanyalah sebuah lip service semata.
Faktanya, subsidi itu tidak berpengaruh secara langsung terhadap keamanan stock Minyak Goreng kemasan di ritel atau distributor lokal. Minyak goreng kemasan tetap langka dan itu fakta yang tidak bisa ditolak oleh pemerintah. Lalu ke mana larinya minyak goreng kemasan itu?
Satu asumsi yang mungkin saja terjadi. Minyak goreng curah itu sebenarnya hanya pengalihan saja. Pemegang policy di bidang perminyakan ada kemungkinan sedang bermain dengan mengalihkan stock nasional ke stock ekspor. Namun, kiranya asumsi ini tertolak sebab berdasar data ekspor CPO yang dirilis oleh Badan Pengelolaa Dana Perkebunan Sawit (BPDP KS), selama 2 bulan terakhir telah terjadi penurunan neraca perdagangan ekspor.
Menurut Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), selama Januari 2022, ekspor kelapa sawit Indonesia mencapai 2,337 juta ton. Per 24 Februari 2022, terjadi pelemahan sebesar 1,701 juta ton. Alhasil, total volume ekspor sawit selama dua bulan tahun 2022, hanya mencapai 4,03 juta ton.
Dari hasil ekspor ini, penerimaan negara dari sektor ekspor tersebut tercatat sebesar Rp 6,21 Triliun yang terdiri atas Rp 3,45 triliun pada Januari dan Rp 2,76 triliun pada Februari 2022. Dibandingkan dengan ekspor sawit di Bulan Januari 2021, dibukukan hasil ekspor sebesar Rp 6,51 triliun dan Februari 2021 berjumlah Rp 4,83 triliun. Jadi, per bulannya turun signifikan hingga mencapai 52% persen. Rata-rata harga CPO pada CIF Rotterdam per Januari 2022 tercatat sebesar US$ 1.355/ton. Kenaikan harga CPO terus terjadi di bulan Februari menjadi US$ 1.454/ton.
Apakah penurunan ini ada hubungannya denggan kebijakan Permendag tentang penguciian ekspor CPO?
Jika mencerrmati data ini, nampaknya kebijakan penguncian ekspor CPO oleh Kementerian Perdagangan berlangsung efektif. Meski indikasi itu masih ada unsur biasnya yang nampak mencolok sekali, yaitu sebab berlakunya Permendag adalah baru efektif mulai 24 Januari 2022. Alhasil, penurunan itu, bukan disebabkan regulasi. Namun, ada faktor lain yang tidak terdeteksi atau tidak diinformasikan.
Kita ambil bukti pada penurunan yang sudah terjadi sejak Nopember 2021. Data dari BPDP-KS menunjukkan tren penurunan. Pada Oktober 2021, ekspor CPO mencapai 3,330 juta metrik ton, kemudian turun menjadi 1,672 juta metrik ton pada November, dan naik tipis menjadi 1,850 juta metrik ton pada Desember.
Padahal, penurunan ini terjadi saat kebijakan wajib kemas terhadap produk Minyak Curah itu belum dicabut per 10 Desember 2021. Berdasarkan hal inii pula, maka dalih dari penurunan akibat regulasi penguncian ekspor CPO juga dirasa kurang tepat.
Kekurangtepatan ini secara tidak langsung juga menggambarkan adanya motif lain penginformasian yang bisa jadi merupakan buah dari kompleksitas permasalahan.
Masalah pertama, yaitu langkanyya produk kemasan minyak di lapangan. Kedua, adalah bahan baku minyak secara nyata tidak lari keluar karena faktor diekspor dalam bentuk CPO atau produuk hiilir. Lalu apa yang sebenarnya tengah terjadi dalam dunia perminyakan ini?
Untuk mendapat jawaban dari pertanyaan ini semua, maka dibutuhkan keterusterangan dari pemangku policy guna mengungkapkan problem permasalahan yang ada. Apalagi rakyat turut menjadi korban dalam rupa kelangkaan bahan pokok rumah tangganya.
Mungkinkah ada kartel di balik itu semua? Bisa jadi. Pelaku kartel ini rupanya sedang berupaya memanfaattkan kondisi gejolak minyak dan konflik global untuk mengais keuntungan sendiri. Namun, untuk mengungkap itu semua, kita masih memerlukan sejumlah data.
Muhammad Syamsudin
Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, dan Direktur eL-Samsi