el-samsi-logo
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

Ada permasalahan soal waris pengganti (badil al-mirats) pada KHI Pasal 185. Misalnya, seseorang (A) memiliki 3 orang anak laki2. Satu di antaranya meninggal duluan dan memiliki keturunan.

Ketika Si A meninggal, apakah cucu dari anak yang meninggal ini masih berhak atas warisan Si A?

Jika kita bersikukuh dengan teks mauruts, maka Si Cucu tidak bisa menerima warisan sebab mahjub hirman (terhalang dari menerima waris) oleh 2 orang ibnun.

Permasalahannya:

  1. Apakah solusi menghijab itu etis?
  2. Apa kata dunia jika hal itu diterapkan? Sudah pasti Islam akan dipandang sebagai tidak adil.

Untuk mengatasi permasalahan itu, solusi yang disampaikan oleh para ulama ada 3, yaitu:

Pertama, menetapkan status hukum wasiat wajib.

Anda pasti berfikir, sejak kapan hukum wasiat menjadi wajib? Di Madzhab 4 secara mufakat menyatakan wasiat adalah sunnah. Jadi, apakah penetapan hukum wasiat wajib itu menyalahi konsensus hukum yang disepakati? Tentu saja tidak.

Wasilah yang dipergunakan adalah pemerintah lewat peraturan yang berlaku. Sebab, ketika pemerintah menyatakan perkara sunnah itu hukumnya wajib dilakukan, maka wajiblah perkara sunnah tersebut. Cantolan nashnya, ya sebab di dalam teks Al Qur’an itu ada perintah berwasiat. Secara ashal, landasan awal mula adanya perintah adalah bermakna wajib. Jadi, kembali ke hukum ashal.

Dialektika yg disampaikan oleh ulama al Azhar, diawali dari ayat

كُتِبَ عَلَیۡكُمۡ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ إِن تَرَكَ خَیۡرًا ٱلۡوَصِیَّةُ لِلۡوَ ٰ⁠لِدَیۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِینَ بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُتَّقِینَ

Kedua, menetapkan adanya nafaqah wajib oleh 2 orang anak yang masih hidup ke al-waladu al yatim.

Lagi-lagi, nalar kita harus didorong untuk berfikir, mana ada menyantuni yatim itu diwajibkan? Yang ada adalah sunnah. Bagaimana cara mewajibkan? Ya, lagi-lagi lewat tangan pemerintah / ulil amri.

Ketiga, lewat hibah wajib.

Lagi-lagi kita didorong lagi untuk berfikir, mana lagi pula ada hibah kog wajib? Ya, jawabnya lewat ulil amri. Tanpa lewat wasilahnya, tidak ada sesuatu yang mubah dan sunnah itu bisa berubah menjadi wajib.

إذا أمر بواجب تأكد وجوبه وإذا أمر بمندوب وجب وإن أمر بمباح فإن كان فيه مصلحة عامة كترك شرب الدخان وجب

“Ketika seorang pemimpin pemerintahan memerintah perkara wajib, maka kewajiban itu makin kuat, bila memerintahkan perkara sunnah maka menjadi wajib, dan bila memerintahkan perkara mubah, maka bila di dalamnya terdapat kemaslahatan publik, maka wajib dipatuhi seperti larangan untuk merokok. Berbeda bila ia memerintahkan perkara haram, makruh atau perkara mubah yang tidak mengandung kemaslahatan publik, -maka tidak wajib dipatuhi-. (Syaikh Nawawi Banten, Nihayah az-Zain, Bairut-Dar al-Fikr, tt, h. 112).

  1. Hukmu al hakim, yarfa’u al khilaf.
  2. Perintah nash taat ulil amri dan kaki tangannya.
  3. Hukum dengan pola demikian itu dinamakan dengan istihsan. Ada manath hukum dengan maslahah yang besar dibaliknya. Mengabaikan manath di situ, justru malah berdosa sebab ada hak yang terabaikan.

Dasar Pengambilan Hukum

Tafsir al Qurthuby:

الْخَامِسَةُ- اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي وُجُوبِ الْوَصِيَّةِ عَلَى مَنْ خَلَّفَ مَالًا، بَعْدَ إِجْمَاعِهِمْ عَلَى أَنَّهَا وَاجِبَةٌ عَلَى مَنْ قِبَلَهُ وَدَائِعُ وَعَلَيْهِ دُيُونٌ. وَأَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّ الْوَصِيَّةَ غَيْرُ واجبة على من ليس قبله شي مِنْ ذَلِكَ، وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ وَالثَّوْرِيِّ، مُوسِرًا كَانَ الْمُوصِي أَوْ فَقِيرًا. وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: الوصية واجبة على ظاهر القرآن، قال الزهدي وَأَبُو مِجْلَزٍ، قَلِيلًا كَانَ الْمَالُ أَوْ كَثِيرًا. وَقَالَ أَبُو ثَوْرٍ: لَيْسَتِ الْوَصِيَّةُ وَاجِبَةً إِلَّا عَلَى رَجُلٍ عَلَيْهِ دَيْنٌ أَوْ عِنْدَهُ مَالٌ لِقَوْمٍ، فَوَاجِبٌ عَلَيْهِ أَنْ يَكْتُبَ وَصِيَّتَهُ وَيُخْبِرَ بِمَا عَلَيْهِ. فَأَمَّا مَنْ لَا دَيْنَ عَلَيْهِ وَلَا وَدِيعَةَ عِنْدَهُ فَلَيْسَتْ بِوَاجِبَةٍ عَلَيْهِ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ. قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ: وَهَذَا حَسَنٌ، لِأَنَّ اللَّهَ فَرَضَ أَدَاءَ الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا، وَمَنْ لَا حَقَّ عَلَيْهِ وَلَا أَمَانَةَ قِبَلَهُ فَلَيْسَ وَاجِبٌ عَلَيْهِ أَنْ يُوصِيَ.

Tafsir Al Qurthuby

احْتَجَّ الْأَوَّلُونَ بِمَا رَوَاهُ الْأَئِمَّةُ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قال: (ما حق امرئ مسلم له شي يُرِيدُ أَنْ يُوصِيَ فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ) وَفِي رِوَايَةٍ (يَبِيتُ ثَلَاثَ لَيَالٍ) وَفِيهَا قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: مَا مَرَّتْ عَلَيَّ لَيْلَةٌ مُنْذُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ ذَلِكَ إِلَّا وَعِنْدِي وَصِيَّتِي. احْتَجَّ مَنْ لَمْ يُوجِبْهَا بِأَنْ قَالَ: لَوْ كَانَتْ وَاجِبَةً لَمْ يَجْعَلْهَا إِلَى إِرَادَةِ الْمُوصِي، وَلَكَانَ ذَلِكَ لَازِمًا عَلَى كُلِّ حَالٍ، ثُمَّ لَوْ سَلِمَ أَنَّ ظَاهِرَهُ الْوُجُوبُ فَالْقَوْلُ بِالْمُوجِبِ يَرُدُّهُ، وَذَلِكَ فِيمَنْ كَانَتْ عَلَيْهِ حُقُوقٌ لِلنَّاسِ يَخَافُ ضَيَاعَهَا عَلَيْهِمْ، كَمَا قَالَ أَبُو ثَوْرٍ. وَكَذَلِكَ إِنْ كَانَتْ لَهُ حُقُوقٌ عِنْدَ النَّاسِ يَخَافُ تَلَفَهَا عَلَى الْوَرَثَةِ، فَهَذَا يَجِبُ عَلَيْهِ الْوَصِيَّةُ وَلَا يُخْتَلَفُ فِيهِ. فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: “كُتِبَ عَلَيْكُمْ” وكتب بمعنى فُرِضَ، فَدَلَّ عَلَى وُجُوبِ الْوَصِيَّةِ.

Muhammad Syamsudin
Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah PW LBMNU Jawa Timur, Wakil Rais Syuriyah PCNU Bawean, Wakil Ketua Majelis Ekonomi Syariah (MES) PD DMI Kabupaten Gresik

Tinggalkan Balasan

Skip to content