Jika kita menyimak Hasil Keputusan Munas dan Konbes NU Tahun 2012 yang setuju pemberlakuan hukuman mati bagi para koruptor, maka secara tidak langsung NU menyepakati bahwa kasus korupsi merupakan bagian dari tindak pidana yang dalam batas tertentu harus mengikuti ketentuan hukum hudud.
الحد عقوبة مقدرة من قبل الشارع، فلا يجوز الزيادة عليها باسم الحد ولا النقصان منها
“Had merupakan suatu bentuk sanksi yang ditetapkan kadarnya oleh Syari’ (Allah dan Rasul-Nya), oleh karenanya tidak boleh menambah atau menguranginya atas nama batasan.” (Al-Fiqh al-Manhajy ‘ala Madzhab al-Imam al-Syafii, Juz 8, halaman 55).
Pemberlakuan batas ketentuan ini adalah karena kasus korupsi dipandang sebagai masalah krusial yang harus ditetapkan puncak toleransinya. Ketentuan pemberian sanksi yang berada di bawah hudud dan mendekati ideal dikenal dengan istilah ta’zir,
التعزير عقوبة غير محددة من قبل الشارع، بل هي متروكة لرأي الحاكم
“Ta’zir merupakan suatu bentuk sanksi yang tidak ditetapkan batasannya oleh Syari’, melainkan keputusannya diserahkan pada penilaian hakim.” (Al-Fiqh al-Manhajy ‘ala Madzhab al-Imam al-Syafii, Juz 8, halaman 55).
Dalam kasus semacam ini, para tersangka yang diduga kuat masuk dalam Tipikor tidak boleh untuk diwakili dalam menghadapi persidangan khususnya dalam penyampaian statemen di hadapan majelis sidang. Sebab ada sebuah penjelasan dari para fuqaha’:
إقرار الوكيل على موكله في الحدود غير مقبول
“Pengakuan wakil atas pihak yang diwakili dalam persoalan hudud, adalah tidak bisa diterima.” (Al-Mausu’at al-Ijma’ fi al-Fiqh al-Islamy, Juz 4, halaman 334).
Permasalahannya, di negara kita, justru para terduga korupsi, seringkali mangkir dari panggilan majelis hakim dan cukup mewakilkan kepada para penasehat hukumnya saja. Sebagai konsekuensi logisnya, banyak kasus besar tidak bisa terselesaikan dengan cepat sebab menjadi tersamarkan oleh statemen penasehat hukum.
Bukti kongkritnya, beberapa kasus besar yang melibatkan kerugiaan negara hingga triliunan rupiah, namun mendapat sanksi hukuman sekelas pencuri ayam, yang harganya tidak lebih dari 100 ribu rupiah per ekor. Tentu ini merupakan bagian dari kamuflase hukum (al-ghisyy). Jika untuk kasus pencurian 1 ekor ayam bisa dikenai pidana kurungan selama 3 bulan penjara, tentu sangsi yang logis bagi pelaku Tipikor Rp 1 Milyar misalnya, adalah menerima kelipatan 10 juta kali 3 bulan. Berapa lama? Sudah pasti sangat lama.
Namun, lagi-lagi yang terjadi dan berlaku selama ini di lembaga peradilan kita, adalah tidak mengikuti asas perimbangan. Parahnya, mereka justru menikmati adanya potongan tahanan (remisi). Mereka justru hanya dikenai pidana penjara selama 5 tahun, atau bahkan kurang. Adilkah? Tentu saja hal ini sangat tidak adil dan bahkan mencederai perasaan masyarakat. Untuk itulah, maka sudah tepat bila Ormas NU kemudian sepakat untuk pemberlakuan hukuman mati bagi para pelaku tersebut, sebagaimana pernah dituangkan dalam Keputusan Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar NU, Tahun 2012.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.