Tahukah anda, bahwa Indonesia baru menyatakan money laundering sebagai bagian dari tindak pidana kejahatan di bidang keuangan adalah pada kisaran tahun 2002. Itupun diakibatkan karena adanya desakan internasional dan sekaligus serentetan ancaman di bidang ekonomi.
Desakan ini bermula ketika terjadinya krisis ekonomi tahun 1997, yang kemudian melahirkan inisiatif negara-negara yang tergabung dalam G-7 untuk membentuk sebuah Komite yang bertugas melakukan riset mendalam terhadap pondasi dasar perekonomian anggota-anggota G-7. Termasuk di antaranya adalah Indonesia yang tak luput dari bagian sasaran riset. Komite ini diberi nama Financial Action Task Force (FATF).
Baca Juga: Jejak Buram Money Laundering
Setelah berjalan kurang lebih 1 tahun sejak dibentuknya, Tahun 1998 kemudian FATF mengeluarkan sebuah keputusan rekomendasi yang terdiri atas 40 butir keputusan yang hendaknya dilaksanakan oleh para anggota G-7, termasuk Indonesia. .
Tahun 2001, FATF melakukan evaluasi terhadap keterlaksanaan 40 butir rekomendasii tersebut. Dan berdasarkan hasil evaluasi ini, Indonesia masuk ke dalam daftar NCTTs (Non-Cooperative Countries and Territories). Hasil evaluasi menyatakan bahwa Indonesia memiliki serentetan kelemahan dalam kesepakatan melakukan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Indikator kelemahan tersebut adalah dibuktikan dengan Indonesia tidak memiliki instrumen pemberantasan dalam bentuk Undang-Undang / peraturan yang secara tegas menyebutkan bahwa money laundering adalah kejahatan.
Bukti kelemahan lain dari indonesia adalah lembaga keuangan non-bank di Indonesia, tidak memiliki perangkat yang memuat prinsip-prinsip mengenal konsumen/nasabah. Di samping itu rendahnya Sumber Daya Manusia yang mengelola dan menangani tindak kejahatan pencuciian uang, kurangnya kerjasama dengan para ahli dan akademisi serta kurangnya kerjasama dalam bidang internasional yang berkaitan dengan penanganan aksi tindak pidana pencucian uang.
Baca Juga: Antara Tuyul dan Money Laundering
Bagaimanapun juga isi dari notice hasil evaluasi FATF tahun 2001 tersebut adalah merupakan bagian dari peringatan pertama, setelah disepakatinya 40 butir rekomendasi tahun 1998.
Peringatan kedua, terjadi pada tahun 2002, di mana FATF lewat negara-negara yang tergabung dalam G-7 mengeluarkan ancaman yang tidak main-main terhadap Indonesia. Ancaman tersebut adalah:
- pemberhentian kerjasama bank-bank internasional dengan perbankan Indonesia.
- Di antara risiko pemutusan kerjasama tersebut adalah para negara anggota G-7 akan menolak Letter of Credit (L/C) yang dikeluarkan oleh perbankan Indonesia. Padahal kita tahu bahwa L/C merupakan satu elemen penting perdagangan internasional, khususnya dikaitkan dengan sistem pembayarannya.
- Jika terpaksa tetap harus melakukan perdagangan dengan Indonesia, maka negara-negara anggota G-7 akan menetapkan tarif dengan biaya tinggi (premium risks) terhadap produk-produk niaga yang berasal dari Indonesia disebabkan karena Indonesia dicap sebagai negara berisiko tinggi terhadap aksi pencucian uang.
Karena ancaman di atas sudah sangat serius, dan bisa mengganggu stabilitas perekonomian nasional, maka akhirnya pada Tahun 2002 itu juga, terbit Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002, yang merupakan instrumen pertama penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang / Money laundering di Indonesia.
Baca Juga: Mapping Money Laundering dalam Bingkai Fikih
Namun, agaknya karena terbitnya undang-undang ini bersifat tergesa-gesa dan disebabkan adanya tekanan dunia internasional kala itu, maka secara definisi saja, Undang-Undang tersebut hingga lupa dicantumkan mengenai pengertian apa itu money laundering. Pengertian mengenai money laundering baru disampaikan ketika kita membaca bagian penjelasannya. Nah, unik, bukan? Akan tetapi, bagaimanapun juga, Undang-Undang ini menginisiasi dari terbitnya peraturan-peraturan berikutnya. Bahkan kemudian menjadi cikal bakal bagi dibentuknya OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan penyempurnaan bagi gerak Bapepam-LK.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.