el-samsi-logo
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

20220807 224735 0000

Sebagai aset pokok, tanah dalam Islam penting untuk ditegaskan statusnya, apakah sebagai hak milik (HM) ataukah sebagai hak guna usaha (HGU). Ketidaktegasan status tanah, dapat menyeret kerja dan usaha yang dilakukan di atasnya, sebagai tindakan bathil dan bertentangan dengan nushush al-syariah. 

Ditinjau dari ushulnya, tanah pada dasarnya tidak memiliki status apapun. Sebelum adanya negara bangsa, setiap individu berhak untuk mengelola dan membuka lahan. Namun, seiring adanya pemerintahan dan wilayah kedaulatan, maka pembukaan lahan baru menghendaki konsep adanya aturan dasar baku yang dipedomani. 
Konsep pembukaan lahan baru ini dalam Islam, dikenal dengan istilah ihyau al-mawat. Dalam sejarah negara kita, istilah ihyau al-mawat ini sering dikenal dengan istilah babad alas. Pihak yang membukanya, kemudian berlaku sebagai tuan tanah. Pihak ini di dalam Islam, dikenal sebagai al-muhyi

Berdasarkan teks-teks turats, dijelaskan bahwa aturan dasar melakukan babad alas atau pembukaan lahan baru (ihyau al-mawwat) ini adalah sebagai berikut:

  1. Belum ada kepemilikan atas tanah itu
  2. Dibabat dan dihidupkan oleh seorang muslim di wilayah jajahan
  3. Diberi tanda atau batas pengelolaan, misalnya dengan adanya saluran irigasi, pagar, atau tanda-tanda yang bisa memisahkan kepemilikan satu dengan lainnya.

Awalnya, aturan membuka lahan baru ini hanya meliputi tiga aturan di atas. Namun, semenjak adanya konsepsi kedaulatan dan ekspansii wilayah suatu negara, maka muncul syarat yang keempat, yaitu mendapatkan legitimasi dari Imam atau wakilnya

Syeikh Ibn Hajar al-Haitami telah menjelaskan konsepsi ihyau al-mawat sebagai berikut:

تحفة المحتاج في شرح المنهاج  ٦/‏٢٠١ — ابن حجر الهيتمي (ت ٩٧٤)

كِتابُ إحْياءِ المَواتِ هُوَ (الأرْضُ الَّتِي لَمْ تُعَمَّرْ قَطُّ) أيْ لَمْ تُتَيَقَّنْ عِمارَتُها فِي الإسْلامِ مِن مُسْلِمٍ أوْ ذِمِّيٍّ

“Kitab menjelaskan konsep ihyau al-mawwat, yaitu tanah yang belum pernah dikelola sama sekali atau secara yakin belum ada yang mengelola dalam Islam, baik oleh seorang muslim atau seorang dzimmi.” (Tuhfatu al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj li Ibn Hajar al-Asyqalany, Juz 6, halaman 201).

Seiring adanya ekspansi yang dilalui lewat perang ke negeri jajahan dan perluasan wilayah koloni akibat perang tersebut, maka pengetahuan terhadap ada atau tidaknya kepemilikan sebelumnya atas suatu tanah yang dibuka menjadi dipertanyakan statusnya oleh para fuqaha’. Mengapa? Jawabnya sederhana, yaitu karena wilayah yang diduduki bukanlah wilayah yang dihuni oleh ahlu al-dzimmah. 

Persoalan yang dihadapi fuqaha saat itu adalah apakah taraf mengetahui status kepemilikan ini sebagai yang harus nyata, ataukah hanya berdasarkan indikasi (madhinnah) saja? 

Sampai di sini, kemudian dijawab bahwa pengetahuan itu tidak harus nyata (tahaqquq), namun boleh dengan berbekal ketiadaan tanda atau alamat yang menunjukkan kepemilikan sebelumnya. Di dalam Kitab Hasyiyah al-Syarwani disampaikan penjelasan sebagai berikut:

حاشية الشرواني على شرح المنهاج ٦/‏٢٠١

ولا يُشْتَرَطُ فِي نَفْيِ العِمارَةِ التَّحَقُّقُ بَلْ يَكْفِي عَدَمُ تَحَقُّقِها بِأنْ لا يَرى أثَرَها ولا دَلِيلَ عَلَيْها مِن أُصُولِ شَجَرٍ ونَهْرٍ وجُدُرٍ وأوْتادٍ ونَحْوِها اهـ.

“Tidak disyaratkan bahwa ketiadaan pengelolaan itu diketahui secara pasti melainkan cukup dengan dugaan akan ketiadaannya berbekal indikasi ketiadaan terlihat bekas-bekas pengelolaan serta ketiadaan petunjuk berupa pokok pohon, irigasi, tembok, pasak / tiang pancang dan sejenisnya.” (Hasyiyah Syarwani ‘ala Syarhi al-Minhaj, Juz 6, halaman 201).

Selanjutnya, muncul lagi persoalan, yaitu adakalanya penduduk di wilayah jajahan itu melarikan diri dari wilayah pendudukan, dan adakalanya yang tetap tinggal. Di sini, kemudian muncul persoalan baru yaitu, batasan mengenai tanah apa saja yang bisa dilakukan pembukaan? 

Para fuqaha’ kemudian menjawab, bahwa tanah yang bisa dikelola secara ihyau al-mawat mencakup 2 hal, yaitu: 

  1. Tanah yang sama sekali belum ada kepemilikan 
  2. Tanah yang pernah dikelola oleh kafir harby di wilayah jajahan

حاشية الشرواني على شرح المنهاج ٦/‏٢٠١ — قاسم العبادي (ت ٩٧٤)

قَوْلُ المَتْنِ (الأرْضُ الَّتِي إلَخْ) قالَ ابْنُ الرِّفْعَةِ وهُوَ قِسْمانِ أصْلِيٌّ وهُوَ ما لَمْ يُعَمَّرْ قَطُّ وطارِئٌ وهُوَ ما خَرِبَ بَعْدَ عِمارَةِ الجاهِلِيَّةِ اهـ

“Ibarat matan kitab (tanah yang…dan seterusnya). Ibnu Rif’ah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tanah di situ ada 2, yaitu (1) tanah asli, yaitu tanah yang belum tersentuh sama sekali oleh suatu pengelolaan, dan (2) tanah tundukan karena peristiwa baru (thari’) yaitu tanah taklukan pasca dikelola oleh masyarakat jahiliyyah (kafir harby).” (Hasyiyah al-Ubady ‘ala Syarhi al-Minhaj, Juz 6, halaman 201).

Secara tidak langsung, ibarat di atas juga menegaskan bahwa konsepsi ihyau al-mawat awalnya hanya bisa dilakukan di wilayah jajahan. 

Pernyataan ini kemudian dipertegas oleh penjelasan Syeikh Zakaria al-Anshari dalam Kittab Asna al-Mathalib, sebagai berikut:

(وإنْ كانَتْ) أيْ الأرْضُ المَواتُ (بِبَلَدِ الكُفّارِ فَلِلْكافِرِ إحْياؤُها) لِأنَّها مِن حُقُوقِ دارِهِمْ ولا ضَرَرَ عَلَيْنا فِي إحْيائِها فَمَلَكُوها بِهِ كالِاصْطِيادِ

أسنى المطالب في شرح روض الطالب ٢/‏٤٤٥ — الأنصاري، زكريا (ت ٩٢٦)

“Jika tanah mati tersebut ada di wilayah yang diikuasai orang kafir, maka hak bagi penduduk kafir tersebut menghidupkannya sebab tanah menjadi bagian dari tempat tinggalnya. Namun, tidak mengapa bagi kita untuk menghidupkannya dan menguasainya, qiyas dengan konsep berburu.” (Asna al-Mathalib fi Syarh Raudlu al-Thalib li al-Syeikh Zakaria al-Anshary, Juz 2, halaman 445)

Mengqiyaskan tanah yang pernah dikelola oleh kafir harby di atas dengan konsepsi berburu, menandakan bahwa konsepsi awal dari ihyau al-mawat adalah dibangun di atas landasan kondisi perang. 

Lebih lanjut, Syeikh Zakaria al-Anshary menyampaikan penjelasan:

أسنى المطالب في شرح روض الطالب ٢/‏٤٤٥ — الأنصاري، زكريا (ت ٩٢٦)

وإذا (اسْتَوْلَيْنا عَلَيْها) وهُمْ يَذِبُّونَ عَنْها (فالغانِمُونَ أحَقُّ بِأرْبَعَةِ أخْماسِها) أيْ بِإحْيائِها

“Ketika kita menguasai tanah jajahan yang pernah dikelola penduduk kafir (harby) tersebut, sementara penduduk jajahan itu berusaha mempertahankannya, maka bagi pihak yang mendapatkannya sebagai ghanimah adalah yang lebih berhak atas ⅘ kekuasaan atas tanah tersebut sebab pekerjaannya dalam menghidupkannya.” (Asna al-Mathalib fi Syarh Raudlu al-Thalib li al-Syeikh Zakaria al-Anshary, Juz 2, halaman 445)

Tanah yang diperoleh dari wilayah jajahan dan diperoleh dengan jalan perang dengan orang kafir harby, ditempatkan sebagai tanah ghanimah (rampasan perang). 

Dengan demikian, jelas sudah bahwa konsepsi ihyau al-mawat adalah terjadi pada wilayah perang dan bukan pada wilayah damai. Hal ini dibuktikan dengan adanya penjelasan mengenai adanya perlawanan dari penduduk asli setempat yang terdiri atas kafir harby.

Rujukan

تحفة المحتاج في شرح المنهاج  ٦/‏٢٠١ — ابن حجر الهيتمي (ت ٩٧٤)

كِتابُ إحْياءِ المَواتِ هُوَ (الأرْضُ الَّتِي لَمْ تُعَمَّرْ قَطُّ) أيْ لَمْ تُتَيَقَّنْ عِمارَتُها فِي الإسْلامِ مِن مُسْلِمٍ أوْ ذِمِّيٍّ ولَيْسَتْ مِن حُقُوقِ عامِرٍ ولا مِن حُقُوقِ المُسْلِمِينَ

وأصْلُهُ الخَبَرُ الصَّحِيحُ «مَن عَمَرَ أرْضًا لَيْسَتْ لِأحَدٍ فَهُوَ أحَقُّ بِها» وصَحَّ أيْضًا «مَن أحْيا أرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ» ولِهَذا لَمْ يَحْتَجْ فِي المِلْكِ هُنا إلى لَفْظٍ؛ لِأنَّهُ إعْطاءٌ عامٌّ مِنهُ – ﷺ -؛ لِأنَّ اللَّهَ تَعالى أقْطَعَهُ أرْضَ الدُّنْيا كَأرْضِ الجَنَّةِ لِيُقْطِعَ مِنهُما مَن شاءَ ما شاءَ ومِن ثَمَّ أفْتى السُّبْكِيُّ بِكُفْرِ مُعارِضِ أوْلادِ تَمِيمٍ – رَضِيَ اللَّهُ تَعالى عَنْهُمْ – فِيما أقْطَعَهُ – ﷺ – لَهُ بِأرْضِ الشّامِ لَكِنْ فِي إطْلاقِهِ نَظَرٌ ظاهِرٌ وأجْمَعُوا عَلَيْهِ فِي الجُمْلَةِ ويُسَنُّ التَّمَلُّكُ بِهِ لِلْخَبَرِ الصَّحِيحِ «مَن أحْيا أرْضًا مَيْتَةً فَلَهُ فِيها أجْرٌ وما أكَلَتْ العَوافِي أيْ طُلّابُ الرِّزْقِ مِنها فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ» ثُمَّ تِلْكَ الأرْضُ (إنْ كانَتْ بِبِلادِ الإسْلامِ فَلِلْمُسْلِمِ) ولَوْ غَيْرَ مُكَلَّفٍ كَمَجْنُونٍ فِيما لا يُشْتَرَطُ فِيهِ القَصْدُ مِمّا يَأْتِي (تَمَلُّكُها بِالإحْياءِ) ويُسَنُّ اسْتِئْذانُ الإمامِ وعَبَّرَ بِذَلِكَ المُشْعِرِ بِالقَصْدِ؛ لِأنَّهُ الغالِبُ (ولَيْسَ هُوَ) أيْ تَمَلُّكُ ذَلِكَ (لِذِمِّيٍّ) وإنْ أذِنَ الإمامُ لِخَبَرِ الشّافِعِيِّ وغَيْرِهِ مُرْسَلًا «عادِيُّ الأرْضِ» أيْ قَدِيمُها ونُسِبَ لِعادٍ لِقِدَمِهِمْ وقُوَّتِهِمْ «لِلَّهِ ورَسُولِهِ ثُمَّ هِيَ لَكُمْ مِنِّي» وإنَّما جازَ لِكافِرٍ مَعْصُومٍ نَحْوُ احْتِطابٍ واصْطِيادٍ بِدارِنا لِغَلَبَةِ المُسامَحَةِ بِذَلِكَ.

(وإنْ كانَتْ بِبِلادِ كُفّارٍ) أهْلِ ذِمَّةٍ (فَلَهُمْ) ولَوْ غَيْرَ مُكَلَّفِينَ (إحْياؤُها) لِأنَّهُ مِن حُقُوقِ دارِهِمْ (وكَذا المُسْلِمُ) لَهُ ذَلِكَ (إنْ كانَتْ مِمّا لا يَذُبُّونَ) بِكَسْرِ المُعْجَمَةِ وضَمِّها أيْ يَدْفَعُونَ (المُسْلِمِينَ عَنْهُ) كَمَواتِ دارِنا بِخِلافِ ما يَذُبُّونَ عَنْهُ، وقَدْ صُولِحُوا عَلى أنَّ الأرْضَ لَهُمْ فَلَيْسَ لَهُ إحْياؤُهُ أمّا ما بِدارِ الحَرْبِ فَيُمْلَكُ بِالإحْياءِ مُطْلَقًا؛ لِأنَّهُ يَجُوزُ تَمَلُّكُ عامِرِها فَمَواتُها أوْلى ولَوْ لِغَيْرِ قادِرٍ عَلى الإقامَةِ بِها وكانَ ذِكْرُهُمْ لِلْإحْياءِ؛ لِأنَّ الكَلامَ فِيهِ وإلّا فالقِياسُ مِلْكُهُ بِمُجَرَّدِ الِاسْتِيلاءِ عَلَيْهِ بِقَصْدِ تَمَلُّكِهِ كَما يُعْلَمُ مِن صَرِيحِ كَلامِهِمْ الآتِي فِي السِّيَرِ فَما اقْتَضاهُ كَلامُ شارِحٍ أنَّهُ بِالِاسْتِيلاءِ يَصِيرُ كالمُتَحَجَّرِ غَيْرُ صَحِيحٍ؛ لِأنَّ العامِرَ إذا مُلِكَ بِذَلِكَ فالمَواتُ أوْلى

(وما) عُرِفَ أنَّهُ (كانَ مَعْمُورًا) فِي الماضِي وإنْ كانَ الآنَ خَرابًا (فَلِمالِكِهِ) إنْ عُرِفَ ولَوْ ذِمِّيًّا إلّا إنْ أعْرَضَ عَنْهُ الكُفّارُ قَبْلَ القُدْرَةِ فَإنَّهُ يُمْلَكُ بِالإحْياءِ (فَإنْ لَمْ يُعْرَفْ) مالِكُهُ دارًا كانَ أوْ قَرْيَةً بِدارِنا (والعِمارَةُ إسْلامِيَّةٌ) يَقِينًا (فَمالٌ ضائِعٌ) أمْرُهُ لِلْإمامِ فِي حِفْظِهِ أوْ بَيْعِهِ وحِفْظُ ثَمَنِهِ أوْ اسْتِقْراضُهُ عَلى بَيْتِ المالِ إلى ظُهُورِ مالِكِهِ إنْ رُجِيَ وإلّا كانَ مِلْكًا لِبَيْتِ المالِ فَلَهُ إقْطاعُهُ كَما فِي البَحْرِ وجَرى عَلَيْهِ فِي شَرْحِ المُهَذَّبِ فِي الزَّكاةِ

حاشية الشرواني على شرح المنهاج ٦/‏٢٠١

ولا يُشْتَرَطُ فِي نَفْيِ العِمارَةِ التَّحَقُّقُ بَلْ يَكْفِي عَدَمُ تَحَقُّقِها بِأنْ لا يَرى أثَرَها ولا دَلِيلَ عَلَيْها مِن أُصُولِ شَجَرٍ ونَهْرٍ وجُدُرٍ وأوْتادٍ ونَحْوِها اهـ.

حاشية الشرواني على شرح المنهاج ٦/‏٢٠١ — قاسم العبادي (ت ٩٧٤)

قَوْلُ المَتْنِ (الأرْضُ الَّتِي إلَخْ) قالَ ابْنُ الرِّفْعَةِ وهُوَ قِسْمانِ أصْلِيٌّ وهُوَ ما لَمْ يُعَمَّرْ قَطُّ وطارِئٌ وهُوَ ما خَرِبَ بَعْدَ عِمارَةِ الجاهِلِيَّةِ اهـ

أسنى المطالب في شرح روض الطالب ٢/‏٤٤٥ — الأنصاري، زكريا (ت ٩٢٦)

(وإنْ كانَتْ) أيْ الأرْضُ المَواتُ (بِبَلَدِ الكُفّارِ فَلِلْكافِرِ إحْياؤُها) لِأنَّها مِن حُقُوقِ دارِهِمْ ولا ضَرَرَ عَلَيْنا فِي إحْيائِها فَمَلَكُوها بِهِ كالِاصْطِيادِ

أسنى المطالب في شرح روض الطالب ٢/‏٤٤٥ — الأنصاري، زكريا (ت ٩٢٦)

وإذا (اسْتَوْلَيْنا عَلَيْها) وهُمْ يَذِبُّونَ عَنْها (فالغانِمُونَ أحَقُّ بِأرْبَعَةِ أخْماسِها) أيْ بِإحْيائِها

فقه النوازل للأقليات المسلمة ١/‏٢١٤ — محمد يسري إبراهيم (معاصر)

وفي إحياء الأرض الموات قال – ﷺ -: «من أحيا أرضًا ميتة فهي له» (٤)، وكان ذلك من النبي – ﷺ – تحفيزًا للمسلمين على إحياء الأراضي الموات واستغلالها واستثمارها، وذلك أيام كان المسلمون يعون مقاصد الأحكام ويلتزمونها، فلم يكن من غرضهم حوزُ الأراضي أو السطوُ عليها ثم إماتتها بعد ذلك كما آل إليه حال من جاء بعدهم.

فلما تغير الحال وظهر الجشع والطمع، فصار بعض المسلمين يحوزون من الأرض ما لا يطيقون استغلالَهُ وإحياءَهُ وإنما لضمان ملكيته وحوزته، تغيرت الفتيا زمنَ عمرَ ﵁- فقال عمر: «من أحيا أرضًا ميتة فهي له، وليس لمحتجرٍ حقٌ بعد ثلاث سنين» (١).

وورد عن ابن أبي زيد القيرواني (٢)، أنه سئل: لماذا اتخذت كلبًا، حين سقط حائط دارك، مع أن مالكًا -﵀- نهى عن اتخاذ الكلاب في غير المواضع الثلاثة وهي: حفظ الماشية، أو الزرع في الصحراء، أو للصيد الضروري، لا للهو. فقال: «لو أدرك مالك زمننا لاتخذ أسدًا ضاريًا!» (٣). أي: للحراسة.

المفصل فى تاريخ العرب قبل الإسلام ١٣/‏١٥٢ — جواد علي (ت ١٤٠٨)

والأرض الموات التي لا مالك لها ولا ينتفع بها ولا ماء بها، والموتان من الأرض ما لم يستخرج ولا اعتمر، وأرض ميتة وموات من ذلك١. وقد يستصلح الموات ويعمر، ويكون من خيرة الأرضين المثمرة، فتكون رقبته بيد مصلحه؛ لأنه أحياه بعد أن كان مواتًا، وصرف عليه مالًا وجهدًا، فيكون له.

ويكون إحياء الموات، بجمع التراب المحيط به حتى يصير حاجزًا بينه وبين غيره، أو سوق الماء إليه إن كان يبسًا وحبسه عنه إن كان بطائح أو مغمورًا بماء، أو بحرثه لزرعه أو لتعديله وتسويته لإعداده للزراعة أو للسكن أو لأي انتفاع آخر، أو بحفر آبار فيه لاسقائه أو لزرعه، أو للاستفادة من البئر، ببيع مائها، فتكون البئر ملكًا لصاحبها، ليس لأحد محاججته فيها، فقد صرف عليها وأنفق جهدًا في استنباط الماء منها. وفي التأريخ الجاهلي أمثلة عديدة لآبار حفرها أصحابها في أرض موات، فصارت ملكًا لهم، وصارت الأرض المحيطة بها ملكًا له قدر وصول الماء إليها.

——-

١ تاج العروس «١/ ٥٨٧»، «موت»، اللسان «٢/ ٩٣».

موسوعة المفاهيم الإسلامية العامة ١/‏٤٣ — مجموعة من المؤلفين

الإقطاعات

لغة: الأرض المقطعة تسمى قطيعة، وجمعها قطائع وإقطاعات. واصطلاحا: هى الجزء فى الأرض المقطعة التى يملكها الحاكم لمن يريد من أتباعه منحة، وتطلق أيضا على الجنود الذين أقطعوا هذا الإقطاع.

وكان رسول الله ﷺ أول من أقطع، لا اختلاف فى ذلك بين علمائنا، وقد بينت كتب الفقه والتراث ذلك، فقد جاء عن طاووس، أن رسول الله ﷺ قال: (عادى الأرض لله ورسوله ثم هى لكم) يعنى أنها تقطع للناس، وروى عن رسول الله ﷺ أنه أقطع جماعة من المهاجرين والأنصار من أموال بنى النضير، وكانت صفيا لرسول الله ﷺ خالصة، فكان فيمن سمى ممن أعطى أبو بكر أعطاه (بئر مجر)، وعمر أعطاه (بئر جرم) وأقطع صهيبا الصراطة وأقطع فرات بن حبان أرضا باليمامة.

وقد سار الخلفاء الراشدون بعد وفاة الرسول ﷺ على نهجه فى إقطاع الموات من الأرض لمن يحييها ويعمل علي عمارتها، فأقطع أبو بكر عبد الرحمن بن زيد أرضا قرب المدينة، وقد أقطع عمر بن الخطاب ابن سندر أرضا ميتة بمصر، كما أقطع الصحابة كذلك.

وتطبيقا لأحكام الاقطاع، راجع عمر بن الخطاب بلال بن الحارث المزنى فيما أقطعه الرسول ﷺ من أرض عريضة طويلة لم يقوعلى عمارتها بالكامل، فأخذ منه ما عجزعن عمارته فقسمه بين المسلمين. كما عارض عمر بن الخطاب في الإقطاع من أرض الفتوح لاعتبارها ملكا للمسلميين عامة، وقد أقطع عثمان بن عفان المغيرة بن شعبة دارا بالبقيع، وقد أمر الخليفة الراشد عمر بن عبدال عزيز برد القطائع التى أقطعها أهل بيته من بنى أمية.

وقد توالت إقطاعات ولاة وملوك الدولة الاسلامية المتعاقبين، فكان للجند القائمين على حماية حدود ثغور الدولة الإسلامية مكانتهم المتميزة، فأقطعهم الولاة الأراضى الزراعية لتكون غلتها لهم رزقا مقابل حمايتهم للبلاد، من ذلك أن عثمان بن عفان أقطع المقاتلة فى السواحل من الصوافى، كما أقطع بنو العباس الجند الأتراك فى فارس.

وتزخر كتب التراث والتاريخ الإسلامى بإقطاعات الملوك والخلفاء الذين أقطعوا الأراضى الموات لمن يحبها، فضلا عن إقطاع المساحات الواسعة، للموالى والمقربين إلى ولاة الأمور، ومن يرجى نفعهم وتأييدهم، أو تقديرا لمكانتهم العلمية والأدبية، وكان آخر الإقطاعات. التى سجلتها كتب التراث. هى إقطاع السلطان سليم الفاتح للشيخ عبد الحكيم بن على.

أ. د/نعمت عبد الحميد مشهور

________

مراجع الاستزادة:

١ – لسان العرب، لابن منظور، دار صادر، بيروت.

٢ – فتوح البلدان، البلاذرى، مكتبة النهضة، القاهرة.

٣ – حسن المحاضرة فى تاريخ مصر والقاهرة، السيوطى، دار إحياء الكتب العربية، القاهرة.

٤ – المواعظ والاعتبار بذكر الخطط والآثار المعروفة بالخطط المقريزية، المقريزى دار صادر، بيروت.

٥ – معجم البلدان، ياقوت الحموى

Muhammad Syamsudin
Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah PW LBMNU Jawa Timur, Wakil Rais Syuriyah PCNU Bawean, Wakil Ketua Majelis Ekonomi Syariah (MES) PD DMI Kabupaten Gresik

Tinggalkan Balasan

Skip to content