Setiap manusia memiliki hak dan kewajiban asasi yang melekat di dalam dirinya. Tidak peduli di mana individu manusia itu lahir, keasasian dari hak dan kewajiban ini tidak bisa hilang, bahkan lintas teritorial dan negara.
Hak tersebut bersifat universal dan telah ada sebelum negara dan bangsa itu ada. Hak inilah yang selanjutnya dikenal dengan istilah hak asasi manusia (HAM) dan merupakan soko guru bagi dimulyakannya anak Adam. ِ
Allah SWT telah berfirman:
ولقد كرمنا بني آدم وحملناهم في البر والبحر ورزقناهم من الطيبات وفضلناهم على كثير ممن خلقنا تفضيلا
Imam al-Mawardi (w. 450 H) menyampaikan penafsiran dari ayat tersebut dan menyatakan bahwa kemulyaan anak adam adalah dilandasi oleh 7 potensi universal yang dimilikinya, antara lain:
قوله تعالى: ﴿ولقد كَرّمنا بني آدم..﴾ فيه سبعة أوجه: أحدها: يعني كرمناهم بإنعامنا عليهم. الثاني: كرمناهم بأن جعلنا لهم عقولًا وتمييزًا. الثالث: بأن جعلنا منهم خير أمة أخرجت للناس. الرابع: بأن يأكلوا ما يتناولونه من الطعام والشراب بأيديهم، وغيرهم يتناوله بفمه، قاله الكلبي ومقاتل. الخامس: كرمناهم بالأمر والنهي. السادس: كرمناهم بالكلام والخط. السابع: كرمناهم بأن سخّرنا جميع الخلق لهم
Artinya, “Firman Allah Ta’ala: “Sungguh kami telah mulyakan anak Adam.” Dalam hal ini terdapat 7 potensi yang melatarbelakangi. Pertama, Allah SWT menghendaki: “kemulyaaan anak adam itu adalah sebab nikmat yang telah Kami curahkan kepada mereka.” Kedua, Kami telah memulyakan mereka dengan anugerah akal dan bisanya membedakan yang baik dan buruk. Ketiga, Kami jadikan sebagian dari mereka bertindak selaku sebaik-baik umat yang diutus kepada manusia. Keempat, mereka memakan makanan dan meminum minuman dengan kedua tangan, sementara makhluk lainnya melakukannya langsung dengan mulut. Ini adalah penjelasan Al-Kalby dan Muqatil. Kelima, Kami mulyakan mereka melalui perintah dan larangan. Keenam, Kami mulyakan mereka dengan potensi berbicara dan menulis. Ketujuh, Kami mulyakan mereka dengan menjadikan makhluk lainnya tunduk kepada mereka.”
Namun, seiring munculnya negara bangsa yang dibatasi oleh teritorial, hukum administrasi dan wilayah kedaulatan, maka upaya pengejawantahan dan tuntutan atas pemenuhan hak asasi manusia dalam praktik kehidupan sehari-hari menghendaki pengaturannya.
Ketujuh potensi ini menjadi dasar manusia untuk berinteraksi dengan pihak lainnya. Dan akibat interaksi ini, muncullah yang dinamakan hak dan kewajiban individu. Penjagaan hak dan kewajiban ini seluruhnya adalah dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan (maslahah) bagi individu dan menolak segala bentuk perkara yang merugikan (al-mudlirrah).
Kelima hak dan kewajiban individu yang perlu dijaga dan bersifat universal tersebut selanjutnya disebut dengan istilah kulliyat al-khams atau al-dlaruriyyatu al-khamsi atau ushul al-khamsah. Rincian dari hal tersebut adalah sebagai berikut:
المستصفى ١/١٧٤ — أبو حامد الغزالي (ت ٥٠٥)
أمّا المَصْلَحَةُ فَهِيَ عِبارَةٌ فِي الأصْلِ عَنْ جَلْبِ مَنفَعَةٍ أوْ دَفْعِ مَضَرَّةٍ، ولَسْنا نَعْنِي بِهِ ذَلِكَ، فَإنَّ جَلْبَ المَنفَعَةِ ودَفْعَ المَضَرَّةِ مَقاصِدُ الخَلْقِ وصَلاحُ الخَلْقِ فِي تَحْصِيلِ مَقاصِدِهِمْ، لَكِنّا نَعْنِي بِالمَصْلَحَةِ المُحافَظَةَ عَلى مَقْصُودِ الشَّرْعِ ومَقْصُودُ الشَّرْعِ مِن الخَلْقِ خَمْسَةٌ: وهُوَ أنْ يَحْفَظَ عَلَيْهِمْ دِينَهُمْ ونَفْسَهُمْ وعَقْلَهُمْ ونَسْلَهُمْ ومالَهُمْ
Artinya: “Adapun kemaslahatan adalah suatu istilah yang dalam pengertian asalnya merupakan usaha menarik kemanfaatan dan menolak hal yang merugikan. Namun, bukan itu yang kita maksud di sini karena sesungguhnya upaya menarik kemanfaatan dan menolak perkara yang merugikan tersebut sudah barang tentu merupakan tujuan bersama dari makhluk dan menjadi orientasi utama dari makhluk dalam mencapai tujuan kemakmuran mereka. Akan tetapi, yang kita maksud dengan kemaslahatan yang menghendaki dijaga di sini adalah kemaslahatan yang sejalan dengan syara. Tujuan dari syariat terhadap makhluk pada dasarnya ada 5, yaitu mereka mahu menjaga agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan hartanya.”
Ada penekanan yang disampaikan oleh Imamuna al-Ghazali terhadap makna kemaslahatan dan mafsadah. Bahwa yang dimaksud dengan maslahah adalah segala sesuatu yang memuat ushul al-khamsah di atas dan sejalan dengan syara’. Sebaliknya, yang dimaksud dengan mafsadah adalah hal yang tidak memuat ushul al-khamsah namun bertentangan dengan syara’.
فَكُلُّ ما يَتَضَمَّنُ حِفْظَ هَذِهِ الأُصُولِ الخَمْسَةِ فَهُوَ مَصْلَحَةٌ، وكُلُّ ما يُفَوِّتُ هَذِهِ الأُصُولَ فَهُوَ مَفْسَدَةٌ ودَفْعُها مَصْلَحَةٌ
Artinyan “Segala sesuatu yang di dalamnya memuat kelima ushulu al-khamsah, maka itulah yang diinamakan maslahah. Sebaliknya, segala sesuatu yang tidak memuat ushul al-khamsah, maka itulah mafsadah. Menghindarinya, adalah kemaslahatan itu sendiri.”
Pada akhirnya, Imamuna al-Ghazali menyampaikan sebuah kesimpulan, bahwa:
وهَذِهِ الأُصُولُ الخَمْسَةُ حِفْظُها واقِعٌ فِي رُتْبَةِ الضَّرُوراتِ، فَهِيَ أقْوى المَراتِبِ فِي المَصالِحِ
Artinya, “Penjagaan terhadap kelima ushul al-khamsah ini menempati derajatnya dlaruriyyat (pokok), oleh karenanya, kelimanya menempati derajat yang paling urgen dalam mewujudkan kemaslahatan.”
Dalam wilayah praktiknya, upaya menjaga hak dan kewajiban asasi tersebut mengharuskan adanya interaksi antar individu, antara individu dengan golongan, dan antara individu dengan negara.
Akibat dari interaksi ini pula, muncul tarik ulur kepentingan antara masing-masing anggota masyarakat yang mengejawantah dalam skala makro sebagai siyasah (politik). Pada akhirnya muncul beberapa sikap yang menghendaki diperagakan oleh individu dalam siyasah tersebut, antara lain: sikap tasamuh, tawazun, tawassuth dan i’tidal serta keberanian amar ma’ruf nahi munkar.
Guna menghindari terjadinya gesekan kepentingan, maka selanjutnya diterbitkan sejumlah peraturan (tasyri’) dan qanun yang mengatur tiap-tiap pelaksanaan hak. Inti utama dari tasyri’ dan qanun ini adalah melakukan penjagaan bahwa pelaksanaan suatu hak, tidak boleh melanggar hak dan kepentingan orang lain. Alhasil, inilah yang kemudian dinamakan sebagai konsekuensii pengaturan hak, yaitu timbulnya kewajiban individu.
Pelaksanaan hak individu yang melanggar hak orang lain, selanjutnya disebut tindakan yang melampaui batas (ta’addy) dan permusuhan (‘udwanan). Allah SWT tidak menyukai kedua sikap tersebut sebagaimana yang tercermin di dalam firman-Nya:
وَقَـٰتِلُوا۟ فِی سَبِیلِ ٱللَّهِ ٱلَّذِینَ یُقَـٰتِلُونَكُمۡ وَلَا تَعۡتَدُوۤا۟ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا یُحِبُّ ٱلۡمُعۡتَدِینَ
“Berperanglah kalian di jalan Allah terhadap orang-orang yang memerangi kalian, namun jangan melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai tindakan yang melampaui batas.”
Ayat di atas dita’wilkan oleh Imam Abu Ja’far Al-Thabary (w. 310 H) dengan menukil riwayat tafsir dari salah seorang sahabat yang bergelar Turjumanu al-Qur’an, Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma. Di dalam riwayat tersebut disampaikan:
وقاتلوا في سبيل الله الذين يُقاتلونكم ولا تعتدوا إنّ الله لا يحب المعتدين” يقول: لا تقتلوا النساء ولا الصِّبيان ولا الشيخ الكبير وَلا منْ ألقى إليكم السَّلَمَ وكفَّ يَده، فإن فَعلتم هذا فقد اعتديتم
“Dan berperanglah kalian di jalan Allah terhadap orang-orang yang memerangi kaliian, namun jangan melampaui batas. Sesungguhnya Allah tiada menyukai orang yang melampaui batas.” Sahabat Ibn Abbas mengatakan: Jangan membunuh perempuan, anak-anak, orang tua yang sudah sepuh, orang-orang yang menebar perdamaian kepada kalian serta menahan tangannya dari kalian. Jika kalian melakukannya, maka kaliian telah melampauii batas.”
Di akhir penakwilan, Imam al-Thabary menggarisbawahi bahwasannya:
إنّ الله لا يُحب المعتدين الذين يجاوزون حدوده، فيستحلُّون ما حرَّمه الله عليهم من قتل هؤلاء الذين حَرَّم قتلهم من نساء المشركين وذراريهم
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas, yaitu orang-orang yang melampaui batas-batas ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Allah, berusaha menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah kepada mereka, yakni dengan jalan membunuh orang-orang yang diharamkan membunuhnya, termasuk istri-istri orang musyrik dan keturunan-keturunan mereka.”
Adapun larangan dalam menebar permusuhan, maka Allah SWT telah berfirman:
ولا تعاونوا على الإثم والعدوان
Artinya: “Dan janganlah kalian saling tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.”
Imam Abu Ja’far al-Thabary (w. 310 H), menakwili ayat ini sebagai berikut:
يعني ولا يعن بعضكم بعضًا “على الإثم”، يعني: على ترك ما أمركم الله بفعله “والعدوان”، يقول: ولا على أن تتجاوزوا ما حدَّ الله لكم في دينكم، وفرض لكم في أنفسكم وفي غيركم
Artinya: “Allah SWT tidak menghendaki kalian saling tolong menolong dalam perbuatan dosa, yaitu perbuatan meninggalkan melaksanakan perintah Allah. Demikian halnya, Allah tidak menghendaki perbuatan permusuhan, yaitu perbuatan yang melampaui batas ketetapan Allah dalam agama kalian, serta ketentuan yang sudah ditetapkan batasannya oleh Allah atas diri kalian dan untuk pihak selain kalian.”-
Alhasil, berdasarkan beberapa hal di atas, maka ruang lingkup hak asasi manusia dalam pandangan Islam, adalah:
- merupakan hak-hak yang bernilai universal mencakup penjagaan terhadap lima pokok persoalan, yaitu hifdz al-din, al-nafs, al-’aql, al-nasl dan al-maal dan selanjutnya disebut ushul al-khamsah
- Orientasi pelaksanaan usul al-khamsah adalah tercapainya maslahah dan menolak mafsadah
- Upaya melakukan penjagaan terhadap ushul al-khamsah dilakukan dalam bentuk taqnin dan tasyri’
- Konsekuensi logis dari penjagaan hak individu dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, adalah lahirnya kewajiban di antara masing-masing pihak
Akibat terbitnya aturan tersebut, maka di samping hak, timbul pula adanya kewajiban yang melekat pada setiap individu. Bagaimana hak dan kewajiban itu dilaksanakan, maka selanjutnya disusun sebuah nota peraturan (tasyri’). Dengan demikian, secara garis besar, maka nota peraturan ini pasti memuat beberapa hal sebagai berikut:
- Obyek Hukum: Pengakuan negara atas eksistensi HAM dari setiap warga negaranya
- Intisari hukum yang terdiri dari hak dan kewajiban individu yang melekat terhadap negara
- Akibat hukum yang terdiri hak dan kewajiban negara terhadap individu
- Akibat hukum yang terdiri dari hak dan kewajiban individu dengan individu lainnya