Sertifikasi halal merupakan bagian dari usaha untuk meneliti dan menelaah bahwa suatu produk telah benar-benar sesuai dengan produk syariah dan terhindar dari larangan yang berlaku secara syara’.
Belakangan, sertifikasi halal ini seolah diperebutkan antara Kemenag dengan Majelis Ulama Islam (MUI). Sebenarnya, tugas siapakah sertifikasi ini? Bagaimana pertimbangan fikihnya? Simak ulasan berikut!
Jaminan Produk Halal
Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 berbunyi bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal ini seolah memberikan amanat bahwa kebijakan yang dilakukan oleh negara tidak boleh bertentangan dengan prinsip dasar negara yang berketuhanan Yang Maha Esa.
Karena Indonesia dihuni oleh 6 agama resmi dan mayoritas pemeluknya adalah beragama Islam, maka ada hubungan erat antara Pasal 29 di atas dengan beberapa prinsip dasar ajaran Islam. Eratnya hubungan ini meniscayakan dijembatani oleh pemerintah dan secara tidak langsung menjaadi amanat dalam segala kebijakan.
Di antara beberapa prinsip pokok agama Islam itu antara lain:
- keterjaminan bisa melaksanakan rukun Islam yang kelima
- tersedianyaa sistem munakahah yang sesuai dengan Islam
- dilarangnya perjudian
- dilarangnya penjualan minuman keras secara bebas
- dilarangnya perzinaan dan pasangan kumpul kebo
- dilarangnya tampilan yang mengumbar aurat
- ketersediaan sistem ekonomi yang sesuai dengan prinsip Islam
- keterjaminan produk halal
Di sisi lain, pasal 29 UUD 1945, secara tidak langsung juga memberikan amanah, bahwa:
- Negara tidak boleh membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan dasar keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa
- Negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan bagi pelaksanaan wujud rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dari segolongan pemeluk agama yang memerlukannya
- Negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan yang melarang siapa pun melakukan pelecehan terhadap ajaran agama.
Kata kunci dari semua uraian di atas, adalah bahwa negara wajib hadir selaku pelaksana amanat UU. Presiden adalah representasi dari naib al-rasul dengan tugas pokoknya adalah hirasatu al-din (penjaga agama) dan siyasatu al-dunya (politik duniawi).
Menilik dari sini, maka peran melakukan kontrol penjagaan dan melakukan pengelolaan terhadap kedelapan item amanat sebagaimana telah disebutkan di atas, adalah harus dijalankan oleh presiden dan kaki tangannya atas nama eksekutif (tanfidzy) yang mendapat mandat.
Salah satu kaki tangan presiden adalah Kementerian Agama. Dengan demikian, Kementerian inilah eksekutor utama, pelaksana , pengawas dan pengontrol terlaksananya kedelapan item. Salah satunya adalah ketersediaan produk halal.
Bagaimana dengan sertifikasi produk?
Tugas hirasatu al-din bagi pemerintah adalah melakukan penjagaan agama dan jaminan keterlaksanaan. Di sisi lain, peran siyasatu al-dunya dilakukan dengan jalan mengelola potensi yang ada dan tidak harus menjadi pelaksana.
Garis besarnya, tugas utama dari Kemenag adalah menjamin (kafil / dlamin). Jika hal itu berkaitan dengan produk halal, maka Kemenag hanya bertugas mengaawasi apakah stock halal yang tersedia sudah terpenuhi kuantitasnya.
Kuantitas merupakan indikator yang mudah untuk dijadikan acuan ketersediaan produk halal.
Lantas, siapa yang bertugas menguji apakah produk itu benar-benar halal atau tidak?
Halal adalah aspek kualitatif. Sudah semestinya, bahwa aspek kualitatif ini adalah bukan ranah pemerintah untuk menjangkaunya.
Kualitatif adalah ranah akademis. Para akademisi yang terdiri dari berbagai Perguruan Tinggi Islam dalam negeri, pondok pesantren, atau lembaga yang menjadi pusat kajian akademis teks-teks fikih, merupakan sosok-sosok yang tepat guna melakukan pengujian kehalalan suatu produk.
Jadi, jika aspek kualitatif ini kemudian diambil alih oleh Kemenag, maka itu seolah Kementerian Agama tidak percaya dengan para akademisi di bawahnya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai institusi penyampai Fatwa Keagamaan selama ini, dan bekal staandarisasi kehalalan produk yang sudah dibangunnya, adalah masih layak untuk dijadikan instrumen penetapan sertifikasi.
Alhasil, melalui peran ini, maka peran penjaminan produk halal oleh pemerintah tidak lagi dimaknai sebagai peran yang mendekonstruksi terhadap kajian akademik yang sudah ada. Pemerintah tinggal melanjutkan alur yang sudah terbentuk dan lebih fokus pada ketersediaan produk secara kuantitatif. Pekerjaan
Muhammad Syamsudin
Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.