Beberapa hari ini, media dihebohkan oleh pemberitaan tentang aksi seorang warga Kecamatan Medan Maimun (7/6) berinisial IWL yang telah menutup akses jalan.
Padahal jalan tersebut adalah akses satu-satunya warga untuk keluar-masuk pemukiman dari empat kelurahan di Kecamatan tersebut.
Akibatnya, terjadi keributan sehingga mengundang turut campur tangannya aparat kepolisian dan diputuskan sementara menunggu pengecekan di Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Sebenarnya, ini hanya salah satu kasus saja yang hari ini tengah viral. Di beberapa lokasi lain, juga ditemukan adanya kasus serupa, bahwa seorang warga yang secara tega menutup akses jalan tetangganya untuk menuju ke rumahnya sendiri. Padahal, kejadian itu dilakukan di wilayah perkampungan yang padat penduduk.



Ditilik dari kasusnya, perkaranya ternyata sepele yaitu dipicu oleh cekcok antar warga. Di latar belakangi perseteruan itu, lalu jalan gang yang sebelumnya sering dipakai keluar masuk, mendadak ditutup tanpa menyediakan ruang akses sedikitpun untuk dilewati. Alasan logisnya, adalah tanah gang itu masih menjadi bagian tak terpisahkan dari sertifikat hak milik. Dan kalau hal ini diputuskan dari sisi hukum positif, klaim pemilik lahan yang menutup akses sudah pasti akan dibenarkan.
Di Surabaya, juga ada kejadian seorang warga menutup penuh akses jalan umum yang diklaim sebagai hak miliknya. Permasalahannya, dipicu karena pemerintah kota Surabaya diklaim sebagai yang lambat menangani hal itu, sehingga pemilik lahan perlu tindakan lebih keras agar mendapatkan perhatian. Namun, karena negosiasi aparat pemerintah setempat, akhirnya jalan itu di buka, akan tetapi hanya selebar 1 meter dan diperuntukkan unttuk kendaraan roda 2. Adapun pemilik mobil, maka tetap tidak bisa mengaksesnya. Yaaahh…. Lalu mobil warga mahu dikemanakan?
Berbagai kasus di atas, adalah bagian dari contoh-contoh kasus yang memang kerap terjadi dan sejatinya biisa diselesaikan meski tanpa melibatkan aparat hukum. Sudah barang tentu, apabila hak dan kewajiban syara’ itu dipatuhi.
Bagaimana Syara’ mengatur soal Jalan itu? Mari simak kajiannya!
Di dalam teks-teks fikih, secara umum ada 2 jalan yang mendapatkan perhatian lebih, yaitu: (1) thariqu al-nafidz, dan (2) al-darb al-musytarak. Yang paling penting mendapat penekanan, adalah bahwa kedua jenis jalan ini, justru dibahas di dalam bab shuluh (rekonsiliasi syariah).
Membayangkan makna rekonsiliasi itu sendiri, memang seolah ada 2 pihak atau lebih yang saling berseteru satu sama lain dan sewaktu-waktu bisa terjadi aksi pencabutan hak (munaza’ah) yang dulu pernah disepakati. Tergantung siapa yang kuat posisinya. Begitulah kiranya.
Kalau yang kuat posisinya adalah pemilik lahan yang tanahnya diambil untuk membuat akses jalan itu, maka dia bisa saja mencabut. Dan itu sah-sah saja bila fokusnya adalah pada harta.
(كفاية الأخيار في حل غاية الاختصار ١/٢٦٠ — تَقِيّ الدِّين الحِصْني (ت ٨٢٩) – كتاب البيوع وغيرها من المعاملات←باب الصلح)
الصُّلْح فِي اللُّغَة قطع المُنازعَة وفِي الِاصْطِلاح هُوَ العقد الَّذِي يَنْقَطِع بِهِ خُصُومَة المتخاصمين
Permasalahannya, adalah lalu bagaimana dengan warga yang sudah terlanjur merelakan tanahnya dan menyambungkan tanahnya untuk dipakai sebagai bagian dari jalan tembus (thariq al-nafidz) itu?
Tentu, gang atau jalan itu akan berubah menjadi gang buntu sehingga warga lain di belakang pemilik lahan itu menjadii tidak bisa mengakses ke jalur utama sebab terhalang aksi kesewenang-wenangan warga yang mencabut hak yang sebelumnya pernah direlakan, baik oleh pemilik sebelumnya, atau oleh dirinya sendiri.
Perseteruan semacam ini akan selalu terjadi manakala tidak patuh dengan syariat dan semata-mata hanya urusan untung rugi materiil semata. Atau bahkan akan berujung pada tindakan kesewenang-wenangan sehingga merugikan pihak pengguna jalan lain (al-maarru bihi).
Thariq al-Nafidz (Jalan Pintas / Gang)
Thariq al-nafidz merupakan jalan tembus yang diambil dari bagian tanah salah satu warga. Dilihat dari riwayat timbulnya thariq al-nafidz secara fikih, adalah karena ada warga yang merelakan tanahnya untuk dijadikan jalan. Pembebasannya dilakukan melalui mekanisme shuluh ibra’, yaitu rekonsiliasi perelaan penuh tanpa syarat.
فالإبراء اقْتِصاره من حَقه على بعضه ولا يجوز على شَرط
“Shuluh ibra’ adalah suatu iqrar yang memberikan penegasan pemangkasan hak pihak yang beriqrar atas sebagian hak lainnya. Shuluh ibra’ tidak boleh disertai adanya iqrar syarath (janji)”
Pada dasarnya, menyediakan akses jalan adalah kewajiban uli al-amri (pemerintah). Apabila pemerintah hendak melakukan pengembangan wilayah pemukiman, maka pemerintah bertanggung jawab menyediakan akses itu. Pihak pemilik tanah, berhak mendapatkan ganti rugi (dlaman) berupa harga tanah yang dibebaskan dan harga ini menjadi utang pemerintah. Ganti rugi pembebasan lahan ini bisa juga dilakukan lewat mekanisme tukar guling (istibdal).
Namun, bila tanah jalan itu ada di wilayah pemukiman umum warga, maka akses jalan itu bukan bagian dari kewajiban pemerintah melainkan telah menjadi ‘urf setempat. Urf yang berlaku di Indonesia – khususnya – adalah di setiap pembukaan lahan baru dan pemecahan lahan, senantiasa diiringi adanya akses jalan. Alhasil, akses ini menempati derajatnya harta yang direlakan.
Perelaan sebagian tanah untuk dijadikan akses jalan ini dikenal dengan istilah shuluh ibra’. Di dalam akad shuluh ini, tidak berlaku adanya syarat atau janji. Alhasil, berjalan tanpa syarat.
(كفاية الأخيار في حل غاية الاختصار ١/٢٦١ — تَقِيّ الدِّين الحِصْني (ت ٨٢٩) – كتاب البيوع وغيرها من المعاملات←باب الصلح)
والأصْل فِيهِ الكتاب والسّنة قالَ الله تَعالى ﴿والصُّلْحُ خَيْرٌ﴾ وفِي السّنة المطهرة قَوْله (الصُّلْح جائِز بَين المُسلمين) وفِي رِوايَة (إلّا صلحا أحل حَرامًا أو حرم حَلالا)
إذا عرفت هَذا فالصُّلْح تارَة يَقع مَعَ الإنْكار وتارَة مَعَ الإقْرار فالصُّلْح مَعَ الإنْكار باطِل ومَعَ الإقْرار صَحِيح وهُوَ كَما ذكره الشَّيْخ نَوْعانِ إبْراء ومعاوضة وصُورَة الإبْراء بِلَفْظ الصُّلْح ويُسمى صلح الحطيطة بِأن يَقُول صالحتك على الألف الَّذِي لي عَلَيْك على خَمْسمِائَة فَهُوَ إبْراء عَن بعض الدّين بِلَفْظ الصُّلْح وفِيه وجْهان الأصَح الصِّحَّة وفِي اشْتِراط القبُول وجْهان كالوجهين فِيما لَو قالَ من عَلَيْهِ دين وهبته لَك والأصَح الِاشْتِراط لِأن اللَّفْظ بِوَضْعِهِ يَقْتَضِيهِ ولَو صالح من ألف على خَمْسمِائَة مُعينَة جرى الوَجْهانِ ورَأى إمام الحَرَمَيْنِ الفساد هُنا أظهر ويشْتَرط قبض الخَمْسمِائَةِ فِي المجْلس هَذا وهم فَإن الأصَح أنه لا يشْتَرط القَبْض فِي المجْلس كَما فِي المِنهاج وغَيره ولا يشْتَرط تَعْيِينها فِي نفس الصُّلْح على الأصَح ولَو صالح من ألف حال على ألف مُؤَجل أو عسكه فَباطِل لِأن لأجل لا يلْحق ولا يسْقط ولا يَصح تَعْلِيق هَذا الصُّلْح على شَرط لِأنَّهُ إبْراء وتعليف الإبْراء لا يَصح والله أعلم
Itu sebabnya, secara syara’, tidak ada kewenangan ahli waris atau pemilik baru setelahnya untuk menutup akses jalan tersebut.
Mengapa?
Penting diketahui, bahwa shuluh ibra’ adalah bagian dari akad hibbah. Hibah adalah bagian dari akad pindah milik (tamalluk) tanpa adanya ganti berupa ‘iwadl (harga). Pihak yang menerima hibah, secara tidak langsung adalah uli al-amri.
فقه المعاملات ١/٩١٩ — مجموعة من المؤلفين – الأبحاث←موضوع الصلح←الصلح عن الديون مع الإقرار
الأصل في الصلح عن الإقرار الجواز باتفاق الفقهاء، وهو ضربان: صلح عن الأعيان، وصلح عن الديون
والصلح عن الديون هو مثل أن يدعي شخص على آخر دينا، فيقر المدعي عليه له به، ثم يصالحه على بعضه أو على مال غيره. وهو نوعان: صلح إسقاط وإبراء، وصلح معاوضة.
أما صلح الإسقاط والإبراء (الحطيطة) فهو الذي يجري على بعض الدين المدعي، مثل أن يقول المقر له: صالحتك على الألف الحال الذي لي عليك على خمسمائة. وقد اختلف الفقهاء في حكمه على قولين: أحدهما: أن هذا الصلح جائز سواء وقع بلفظ الصلح أو الإبراء أو الهبة أو نحوها من الألفاظ، وهو قول الحنفية والشافعية والمالكية. والثاني: أنه يصح بلفظ الإبراء، أما بلفظ الصلح فلا يصح. وهو قول قول الحنابلة.
وأما صلح المعاوضة، فهو الذي يجري على غير الدين المدعي، بأن يقر له بدين في ذمته، ثم يصالحه على تعويضه عنه. وهو جائز عند الفقهاء وإن وقع بلفظ الصلح، وحكمه حكم بيع الدين. فإن أقر له بأحد النقدين فصالحه على النقد الآخر، كان صرفا، وسرت عليه شروطه وأحكامه، وإن أقر له بعرض ثم صالحه عنه بنقد، كان بيعا، وثبتت فيه أحكامه.. إلخ.
Karena hibah merupakan bagian dari akad pindah milik, maka barang yang telah dihibahkan, tidak boleh dicabut kembali. Mencabut harta hibah, hanya boleh dilakukan oleh orang tua terhadap hibah yang sudah diberikan ke anak dan sebelum terjadinya pindah ke pemilik baru lainnya.
بحر المذهب للروياني ٦/١٥٧ — الروياني، عبد الواحد (ت ٥٠٢) – كتاب الإقرار
الهبة تملك بالعقد والقبض معًا
إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين ٣/١٧٤ — البكري الدمياطي (ت ١٣١٠) – باب في الهبة
(قوله: وتلزم الخ) ظاهره أن الهبة تملك بالعقد، ولا تلزم إلا بالقبض، وليس كذلك، بل لا تملك ولا تلزم إلا بالقبض، وفي البجيرمي عبارة سم، ولا تلزم الهبة الشاملة للهدية والصدقة، ولا يحصل الملك فيها إلا بالقبض من الواهب أو نائبه أو بإذنه فيه، فتلزم، ويحصل الملك الخ.
المجموع شرح المهذب ١٥/٣٨٢ — النووي (ت ٦٧٦) – تكملة محمد نجيب المطيعي←الجزء الخامس عشر←كتاب الهبات
وإن زاد الموهوب في ملك الولد أو زال الملك فيه ثم عاد إليه فالحكم فيه كالحكم في المبيع إذا زاد في يد المشترى أو زال الملك فيه ثم عاد إليه ثم أفلس في رجوع البائع، وقد بيناه في التفليس (الشرح) حديث ابن عمر وابن عباس رواه طاوس أن ابن عمر وابن عباس رفعاه إلى النَّبِيَّ ﷺ قالَ (لا يحل للرجل أن يعطى العطية فيرجع فيها إلا الوالد فيما يعطى ولده، ومثل الرجل يعطى العطية ثم ايرجع فيها الا الوالد فيما يعطى ولده.
ومثل الرجل يعطى العطية ثم يرجع فيها كمثل المكلب أكل حتى إذا شبع قاء ثم رجع في قيئه) أخرجه أحمد والبخاري ومسلم وأبو داود والترمذي وصححه، وكذلك ابن حبان والحاكم وصححاه وقد استدل بالحديث على تحريم الرجوع في الهبة، لان القئ حرام فالمشبه به مثله
Tindakan mencabut kembali, hanya boleh dilakukan apabila disertai dengan ganti rugi kepada pihak penerima hibah (uli al-amri). Itu sebabnya, shuluh ibra’ juga bisa disebut sebagai shuluh hathithah. Sifat ikatan dari shuluh hathithah adalah berlaku selamanya sesuai dengan kesepakatan awal yang telah dibangun, tanpa batas waktu.
Inilah yang berlaku pada riwayat dibangunnya jalan gang atau jalan tembus (thariq al-nafidz). Alhasil, pihak yang mendaku sebagai pemilik tanah, ahli warisnya, atau pemilik baru, tidak ada kewenangan untuk mencabut dan memblokir akses jalan sebab jalan tersebut sudah berpindah milik.
Tindakan memblokir akses jalan merupakan tindakan yang bathil (batal) dan haram syar’an. Oleh karena itu, pihak aparat bisa menertibkannya dengan berbagai pertimbangan yang sudah disampaikan di atas.
Al-Darb al-Musytarak
Al-Darb al-Musytarak merupakan jalan milik bersama. Dilihat dari asal-usulnya, jalan ini dibangun atas partisipasi bersama warga yang bertempat tinggal di kanan kiri jalan al-darb al-musytarak. Karena partisipasi bersama inilah, maka disebut musytarak. Alhasil, ditinjau dari akadnya, maka jalan al-darb al-musytarak adalah buah dari akad wakaf musytarak. Sifat musytarak ini kurang lebihnya adalah timbul dari jalinan akad syirkah ‘inan.
الإقناع في حل ألفاظ أبي شجاع ٢/٣٠٨ — الخطيب الشربيني (ت ٩٧٧) – كتاب البيوع وغيرها من أنواع المعاملات←فصل في الصلح
القَوْل فِي الروشن وفتح الباب فِي الدَّرْب المُشْتَرك (ولا يجوز) إخْراج روشن (فِي الدَّرْب المُشْتَرك) وهُوَ غير النّافِذ الخالِي عَن نَحْو مَسْجِد كرباط وبئر موقوفين على جِهَة عامَّة لغير أهله ولبعضهم (إلّا بِإذن من الشُّرَكاء) كلهم فِي الأولى ومن باقيهم مِمَّن بابه أبعد عَن رَأسه من مَحل المخْرج أو مُقابِله فِي الثّانِيَة فَلَو أرادوا الرُّجُوع بعد الإخْراج بِالإذْنِ قالَ فِي المطلب فَيُشبه منع قلعه لِأنَّهُ وضع بِحَق ومنع إبقائه بِأُجْرَة لِأن الهَواء لا أُجْرَة لَهُ ويعْتَبر إذن المُكْتَرِي إن تضرر كَما فِي الكِفايَة
وأهل غير النّافِذ من نفذ بابه إلَيْهِ لا من لاصق جِداره من غير نُفُوذ باب إلَيْهِ وتختص شركَة كل مِنهُم بِما بَين بابه ورَأس غير النّافِذ لِأنَّهُ مَحل تردده
(ويجوز) لمن لَهُ باب (تَقْدِيم الباب) بِغَيْر إذن بَقِيَّة الشُّرَكاء (فِي الدَّرْب المُشْتَرك) إذا سد الباب القَدِيم لِأنَّهُ ترك بعض حَقه فَإن لم يسده فلشركائه مَنعه لِأن انضمام الثّانِي إلى الأول يُورث زحمة ووقوف الدَّوابّ فِي الدَّرْب فيتضررون بِهِ ولَو كانَ بابه آخر الدَّرْب فَأرادَ تَقْدِيمه وجعل الباقِي دهليزا لداره جازَ
Ingat bahwa – dalam syirkah ‘inan – masing-masing pihak musyarik (peserta syirkah), adalah mengeluarkan modal berupa mata uang (nuqud). Nuqud itu selanjutnya dibelikan urudl (komoditas) berupa tanah.
Namun, untuk mencegah terjadinya pemanjangan dalam penguraian akad, maka diserahkan berupa tanah dengan panjang dan lebar sesuai yang disepakati satu sama lain. Asumsi dari luasan tanah ini, adalah senilai harga tanah saat kesepakatan itu terbentuk (tsaman al-mitsly).
Berangkat dari akad syirkah ini, selanjutnya mungkin ada yang bertanya, bukankah akad syirkah bisa dibatalkan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita bisa fokus pada permasalahan bahwa ada “kesepakatan” yang telah dibangun antar masing-masing pihak yang berserikat.
Kesepakatan ini menempati derajatnya syarath (janji). Janji, adalah bagian dari ‘iwadl.
قول النبي – ﷺ -: «المسلمون عند شروطهم».رواه الحاكم (البيوع، باب: المسلمون على شروطهم والصلح جائز: ٢/ ٤٩.)
Oleh karenanya, mencabut janji sebagaimana di atas sehingga dapat berakibat pada terjadinya pembubaran syirkah, adalah bagian dari tindakan khiyanat sehingga merupakan dosa besar yang harus dihindari.
Nah, karena keberadaan janji untuk menghibahkan selamanya ini, maka shuluh yang berlaku atas al-darb al-musytarak (jalan milik bersama) ini, adalah shuluh mu’awadlah. Kita bisa menyebutnya sebagai akad rekonsiliasi yang disertai adanya ikatan transaksi jual beli. Meskipun iwadlnya terdiri atas syarthun (janji). Wallahu a’lam bi al-shawab.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.