elsamsi log
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

Marketing Afiliasi

Pengantar Kajian

Marketing seringkali kita terjemahkan sebagai aktifitas pemasaran / promosi produk barang atau jasa. Mengapa perlu pemasaran? Maka para produsen barang atau jasa akan sepakat dalam jawaban, yaitu untuk menjemput dan menggaet calon konsumen produk barang dan jasa. Banyak konsumen, berarti banyak income dan banyak pula laba yang didapatkan. Sedikit konsumen, sedikit pula income dan laba yang didapatkan. 

Terkait dengan cara melakukan pemasaran, maka pemasaran bisa dilakukan baik secara mandiri atau menggunakan jasa pihak ketiga, yaitu wakil yang dibayar, orang suruhan atau bisa juga menggunakan jasa makelar, bahkan agen promosi. Termasuk di antara sistem pemasaran itu, adalah sistem afiliasi. 

Pengertian Marketing Afiliasi

Tidak banyak diketahui mengenai siapa pencetus pertama dari sistem ini. Namun, pengguna dari pemasaran model ini cukup banyak, di antaranya adalah TikTok, Shopee, Lazada dan berbagai marketplace yang lain. Pelaku dari pola pemasaran ini menjalankannya dengan cara menawarkan produk barang atau jasa yang dimiliki dan dijual oleh pelapak lain kepada calon konsumen tertentu. Pihak yang menawarkan ini, selanjutnya disebut sebagai pihak afiliator produk. 

Untuk menjadi afiliator produk, beberapa marketplace mencatumkan syarat dan ketentuan yang berlaku, yaitu harus memiliki follower, minimal sebanyak 1500 orang. Jika follower masih sedikit, fitur afiliator ini belum bisa dibuka dan terkunci secara otomatis serta tidak bisa dibuka kecuali bila dibuka oleh admin marketplace itu sendiri. Dengan demikian, tidak semua orang bisa menjadi afiliator. Contohnya, adalah TikTokShop.

Akan tetapi, beberapa marketplace yang lain, ada juga yang tidak menerapkan syarat dan ketentuan yang ketat sebagaimana TikTokShop. Semua orang yang memiliki akun di marketplace bisa berlaku sebagai afiliator. Alhasil, meski pemilik akun tidak punya produk barang atau jasa sendiri, ia bisa tetap menawarkan produk barang dan jasa milik pihak lain. Mereka sering disebut juga sebagai dropshiper. Pihak marketplace yang menerapkan sistem pemasaran ini biasanya menyediakan fitur tambahan di akhir eksekusi produk, yaitu pilihan dikirim sebagai pembeli ke alamat pembeli itu sendiri, atau dikirim selaku dropshipper. 

Penghasilan Afiliator 

Karena seorang afiliator bekerja dalam menawarkan produk orang lain ke calon konsumen, maka pihak afiliator ini mendapatkan penghasilan dari produsen atau pelapak yang diafiliasi. Biasanya, gaji ini dalam bentuk komisi. 

Cara penyampaian komisi ini ada bermacam-macam modelnya. Ada komisi yang diberikan dalam rupa prosentase keterjualan produk. Misalnya, harga 1 produk tas adalah 100 ribu rupiah. Komisi untuk afiliator dijanjikan sebesar 10%. Ketika 1 tas itu terjual, maka pihak afiliator mendapatkan penghasilan 10% dari 100 ribu, sama dengan 10 ribu rupiah. 

Ada juga pola yang memberikan keluasaan kepada afiliator untuk membuat harga sendiri. Pihak pelapak asli hanya menyediakan harga asli. Misalnya, harga asli barang dari pelapak adalah 100 ribu. Pihak afiliator menaikkan harga itu menjadi 110 ribu rupiah. Alhasil, ketika afiliator ini berhasil menjual barang, maka ia mendapatkan keuntungan sebesar 10 ribu rupiah. Bila pelapak asli menjanjikan prosentase komisi atas barang sebesar 10%, maka penghasilan afiliator bertambah menjadi 10% dari 100 ribu, yaitu 10 ribu, plus keuntungan selisih harga jual barang yang ditawarkannya dengan harga asli barang. Total income baginya adalah sebesar 20 ribu rupiah. 

Mengingat potensi besar afiliator ini dalam memberikan income bagi pelakunya, banyak masyarakat yang berbondong-bondong mendaftarkan diri sebagai afiliator. Apalagi sistem kerjanya yang bebas dan tidak terikat oleh waktu (freelance) sehingga bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja. Asal ada sinyal internet dan bisa online, maka ia bisa melakukannya. 

Problemnya, adalah apakah penghasilan afiliator ini halal? Bolehkah menjual barang milik pihak lain semacam di atas? 

Gaji Afiliator

Untuk mengetahui apakah penghasilan seorang afiliator ini halal atau haram, serta boleh tidaknya menerapkan pemasaran berbasis marketting affiliate ini, maka kita perlu menelaah terhadap 2 hal, yaitu: 1) status produk yang dijual bagi afiliator, dan 2) asal komisi afiliator. 

Pertama, status produk yang dijual

Menurut konsepsi Madzhab Syafii, di dalam jual beli, terdapat syarat yang harus dipenuhi oleh seorang penjual produk (ba-i’), yaitu 1) barang yang dijual harus merupakan milik sendiri, atau 2) barang itu merupakan yang diwakilkan kepadanya oleh pemilik agar dipasarkan. 

مملوكًا للعاقدِ، أو لمن ناب العاقد عنه

“barang itu dimiliki oleh penjual (‘aqid) atau orang yang diangkat selaku wakilnya.” (‘Umdat al-Salik wa ‘Umdat alNasik, Juz 1, halaman 151)

Menjual barang yang tidak memenuhi kedua syarat ini, adalah masuk dalam rumpun jual beli barang yang tidak dimiliki (bai’ ma laa yumlak). 

لا يصح بيع ما لا يملكه بغير إذن مالكه

“Tidak sah menjualbelikan barang yang tidak dimiliki tanpa seidzin pemiliknya.” (Hilyat al-’Ulama fi Ma’rifat Madzahib al-Fuqaha, Juz 4, halaman 74)

Adanya janji komisi yang disampaikan oleh pelapak kepada afiliator atau dropshippernya, serta terdapat syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh afiliator sebanyak 1500 follower, merupakan indikasi (madhinnah) bahwa pihak afiliator dari kelompok ini telah mendapatkan idzin dari pelapak untuk menjualkan barangnya. Alhasil, syarat kedua hampir terpenuhi, yaitu menjadi wakil dari penjual aslinya. 

Namun, karena ketidaksempurnaan peran afiliator selaku wakil, sementara dia diidzinkan mempromosikan barang atau jasa milik pihak lain, maka peran afiliator semacam [dalam hemat penulis] adalah menyerupai kedudukan seorang dilal (penunjuk). Hukum penghasilan dari seorang dilal ini adalah sah secara syara dengan syarat bahwa penghasilan itu diberikan oleh penyuruh atau pemberi idzin, yaitu penjual aslinya. 

وأجره الدَّلال على البَائِع الَّذِي أمره بِالْبيعِ

“Upahnya dilal merupakan kewajiban dari penjual yaitu orang yang menyuruh melakukan jual beli.” (Khabaya al-Zawaya li Badaru al-din al-Zarkasy, Juz 1, halaman 251)

Bagaimana bila pihak afiliator membuat “harga sendiri” berbekal idzin dari pelapak asli? Dalam hal ini terdapat khilaf di kalangan para ulama’. Pertama, menurut perspektif Madzhab Syafii, hal itu dilarang sebab sama dengan menjual barang yang belum dimiliki atau tidak diwakilkan kepadanya. Kedua, menurut kalangan Hanafiyah dan Malikiyah, hal itu diperbolehkan dan pelakunya disebut sebagai makelar (simsar) dan sebagian kalangan juga memasukkannya sebagai profesi dilal. Karena legitimasi ini, maka penghasilannya juga dihukumi halal berdasarkan kedua perspektif ulama madzhab tersebut. Sementara asal komisi atau upah juga bisa diambil dari salah satu dari kedua kalangan, yaitu penjual asli dan pembeli, atau salah satunya saja, atau berdasarkan urf yang berlaku.

وَتُضَمُّ أُجْرَةُ السِّمْسَارِ فِي ظَاهِرِ الرِّوَايَةِ، وَفِي جَامِعِ الْبَرَامِكَةِ: لَا تُضَمُّ؛ لِأَنَّ الْإِجَارَةَ عَلَى الشِّرَاءِ لَا تَصِحُّ إلَّا بِبَيَانِ الْمُدَّةِ

“Upah makelar bisa diambil dari kedua pihak menurut dhahir riwayah. Sementara dalam Kitab Jami al-Baramikah, upah tidak boleh diambil dari keduanya. Sebab, akad jasa dalam pembelian adalah tidak sah kecuali disertai adanya penjelasan batas waktu.” (Fath al-Qadir li al-Kamal Ibn Himam, Juz 6, halaman 499).

Bagaimana pula bila penjualannya dilakukan tanpa seidzin pelapak aslinya namun marketplace menyediakan fiturnya? Disinilah keraguan penulis terjadi. Problem itu berangkat dari permasalahan bahwa pihak marketplace mengijinkan. Sementara itu, pelapak tidak pernah dimintai idzin dan tahu-tahu barang dan jasanya ditawarkan ke pihak lain. Problem ini semakin bertambah seiring afiliator dan dropshipper membuat harga baru tidak sebagaimana harga pelapak aslinya. 

Terkait dengan kondisi ini, maka sudah barang tentu jawaban yang paling kuat adalah ketidakbolehannya, khususnya bila kita memilih pendapat yang hati-hati. Alasannya, adalah karena penetapan harga baru tersebut seolah sama dengan penetapan harga barang yang belum ada di sisi penjual (bai ma laisa ‘indak). Di sisi lain, barang yang dijual tidak bisa dipastikan (la yatahaqqaq) menjadi milik penjual.

Kedua, Asal Komisi

Komisi (ju’lu) dan upah (ujrah), keduanya adalah buah dari ikatan langsung dengan pihak penyuruh. Apabila komisi itu datang dari pihak lain, maka ada syarat atau ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu pihak tersebut memiliki ikatan utang piutang dengan pihak penyuruh. Akadnya dinamakan sebagai akad hiwalah

Berdasarkan hal ini, maka – dalam hemat penulis – hukum penghasilan afiliator itu dapat dikelompokkan sebagai tiga, yaitu: 

  1. Penghasilan afiliator selaku dilal, adalah sah karena penghasilan tersebut murni dari pihak penyuruh. 
  2. Untuk afiliator yang bertindak selaku samsarah (makelar), maka berdasarkan dua khilaf sebagaimana disebutkan di atas, penghasilannya pun turut diperselisihkan / dibedakan menjadi 2. Menurut konsepsi madzhab Syafii, hal itu dilarang. Sementara menurut Madzhab Hanafi dan Maliki, hal itu diperbolehkan. 
  3. Adapun, afiliator/dropshipper sebagaimana kasus pemasaran model ketiga, adalah haram karena menyerupai jual beli barang yang belum ada di sisi. 

Namun, tiga kesimpulan jawaban ini masih belum paripurna. Ada ruang-ruang yang masih potensial untuk digali dan diteliti. Kiranya, kesimpulan ini, sekilas pandangan dari hasil penelaahan penulis. Wallahu a’lam bi al-shawab

Spread the love

Related Articles

Tinggalkan Balasan