Suftajah menurut para fuqaha’ kontemporer didefinisikan sebagai:
السفتجة: هي أن يعطي أحد الناس مالا لآخر مع اشتراط القضاء في بلد آخر؛ وذلك لضمان الطريق على سبيل القرض لا على سبيل الأمانة.
Artinya: “Suftajah adalah akad penyerahan uang oleh seseorang kepada pihak lain disertai niat akan ditagih kembali di negara lain. Tujuan dari akad ini adalah demi keamanan di jalan, dan penyerahannya dilakukan dengan jalan menghutangi sehingga bukan atas dasar memberi amanah.” (Majmu’at al-Muallifin, Majallat al-Buhuts al-Islamiyyah, Juz 50, halaman 135).
Contoh dari akad ini digambarkan oleh para ulama sebagai berikut:
من النشاطات المصرفية المعتادة والمتكررة لدى المؤسسات المالية الحوالات. والحوالات قد تكون بعملة البلد المحال فيه، كأن يطلب أحد الناس من أحد المصارف تحويل مبلغ من المال بعملة معينة كالريال السعودي أو الدولار الأمريكي، فيدفع للمصرف هذا المال ويطلب منه تحويله إلى بلد معين، فيقوم المصرف بذلك ويعطيه إشعارا بالتحويل إلى ذلك البلد على أحد المصارف أو على فرع من فروعه
“Termasuk sebagian dari aktifitas lembaga keuangan dewasa ini dan sering terjadi berulang-ulang adalah persoalan transfer antar bank (al-hiwalat). Mekanisme transfer dilakukan dengan menggunakan mata uang di negeri tempat dilangsungkannya transfer. Misalnya,, seseorang meminta sebuah lembaga keuangan untuk mentransfer sejumlah uang dengan currency tertentu, seperti Riyal atau USD. Untuk itu ia menyerahkan ke sebuah bank dan meminta bank itu mentransfernya ke negara tujuan tertentu yang dikehendaki pentransfer. Atas hal itu, pihak Bank yang diserahi selanjutnya menunaikan keinginan pentransfer dan menyerahkan sejumlah uang dengan jalan transfer ke negara tujuan lewat salah satu bank resmi di negara tersebut, atau ke cabang dari bank tujuan di negara tersebut.” (Majmu’at al-Muallifin, Majallat al-Buhuts al-Islamiyyah, Juz 50, halaman 135).
Persoalan yang dihadapi dalam kasus suftajah, ini adalah:
- Mata uang yang diserahkan oleh pentransfer, berbeda jenisnya dengan mata uang yang diterima oleh penerima transfer. Alhasil, seperti telah terjadi akad sharf antara currency satu dengan currency yang lain yang meniscayakan wajib ma’lum dan tunai (yakni sesuai dengan nilai mata uang pengganti saat uang yang ditransfer itu diserahkan ke bank).
- Perpindahan satuan mata uang ke mata uang yang lain, tidak sepengetahuan pentransfer. Demikian halnya dengan jumlah uang yang ditransfer, pihak penerima tidak mengetahui berapa besarannya. Ia hanya menerima notifikasi bahwa ada transfer masuk sejumlah sekian-sekian dari seseorang yang ada di negara lain.
Jadi, dalam kasus suftajah ini, ada illat jahalah-nya terhadap mata uang penggantinya, khususnya bila praktik itu dipandang dari kacamata akad sharf – yaitu: akad tukar menukar (kurs) barang ribawi berbeda jenis. Itu sebabnya, para fuqaha yang berlandaskan illat ini, memandang hukum suftajah sebagai riiba.
Persoalannya, akad ini sangat dibutuhkan (dlarurah li al-hajah) oleh masyarakat. Misalnya, ada seseorang yang bekerja di negara lain. Agar mudah dalam mengirimkan uang ke keluarganya di Indonesia, maka ia memakai jasa transfer antar bank antar negara tersebut.
Nah, karena illat dlarurah li al-hajah ini, maka akad suftajah ini dibolehkan. Mereka berhujjah terhadap amal para sahabat, di antaranya:
عن عطاء أن عبد الله بن الزبير ﵁ كان يأخذ من قوم بمكة دراهم ثم يكتب بها إلى أخيه مصعب بن الزبير في العراق ويأخذونها منه فسئل ابن عباس عن ذلك فلم ير به بأسا فقيل له: إن أخذوا أفضل من دراهمهم؟ قال: لا بأس إذا أخذوا بوزن دراهمهم.
“Dari ‘Atha, sesungguhnya sahabat Abdullah ibn Zubair suuatu ketika menitipkan sejumlah dirham kepada suatu rombongan di kota Mekkah. Ia berpesan agar menyampaikan uang itu ke saudaranya yang bernama Mush’ab ibn Zubair di Iraq. Selanjutnya mereka menyanggupinya. Lalu hal itu ditanyakan kepada sahabat Ibn Abbas, dan ia berpandangan bahwa tidak apa-apa. Kemudian ditanyakan juga: bagaimana kalau mereka menyerahkan uang itu dengan dirham yang lebih banyak dibanding dirhamnya Iraq? Sahabat Ibn Abbas menjawab: Tidak apa-apa jika uang itu diserahkan dengan standar dirham Iraq.” (Majmu’at al-Muallifin, Majallat al-Buhuts al-Islamiyyah, Juz 50, halaman 135).
Riwayat yang hampir serupa juga diisampaikan dengan jalur sanad dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib radliyallahu ‘anh.
Ibnu Qudamah, salah satu ulama otoritatif dari Madzhab Hanbali illat kebolehan akad suftajah ini dengan berhujjah, bahwa: ada keserupaan antara manfaat utang (qardl jara naf’an) dan kebutuhan untuk tolong menolong (mu’awanah) serta musyarakah (kerjasama) dalam hal ini.
Karena adanya 2 indiikasi (musyarakah dan mu’awanah) ini, maka madzhab ini menempatkan suftajah sebagai yang diperbolehkan. Illat mu’tabar yang dipergunakan, adalah dlarurah li al-hajah. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Muhammad Syamsudin
Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jatim