Sebuah video beredar yang mempersoalkan mengenai suguhan makanan dari pihak yang mendapat arisan. Ia menyebutkan bahwa suguhan itu adalah manfaat dari akad utang sehingga riba. Bagaimana fikih memandangnya? Simak ulasannya!
Arisan sebagaimana disampaikan oleh penulis pada tulisan terdahulu, merupakan sebuah aktifitas perkumpulan yang ditujukan untuk membina kerukunan dan merupakan akad saling menghutangi antara pihak satu dengan pihak lainnya, yang mana harta yang dikumpulkan akan diserahkan kepada pihak yang mendapat undian (qar’ah), demikian seterusnya hingga akhir giliran undian.
Penting untuk kita telaah, secara poin demi poin dalam hal ini, agar kita mudah untuk memetakan masalah sehingga diperoleh jernihnya hukum.
Baca Juga:
Arisan Qurban
Muqaradlah Arisan dan Muqaradlah Bagi Hasil
Pertama, arisan itu adalah sebuah perkumpulan untuk membina kerukunan. Ini adalah faktor murajjih (penguat dasar) yang utama. Sifat dasar dari perkumpulan adalah ada pihak yang datang sebagai tamu (dlaif), dan ada tuan rumah (shahib al-bait). Alhasil, relasi yang terjadi antara keduanya adalah relasi selaku tamu dan tuan rumah, sehingga bukan yang tumbuh dari relasi antara pihak yang menghutangi dan yang dihutangi.
Tentu dalam hal ini kita butuh indikator (qarinah) yang bisa menyatakan bahwa peserta perkumpulan tersebut adalah tamu. Di antara qarinah yang bisa kita tarik adalah sebagai berikut:
- Adat masyarakat kita (urf), adalah bila ada seseorang yang datang ke rumah selalu di-sugoto dengan makanan ringan, atau bahkan sekedar air putih.
- Baik ada arisan atau tidak ada arisan, setiap ada perkumpulan dalam bentuk apapun di masyarakat kita, sudah berlaku tradisi nyugoto (nyawisi) para tamu yang rawuh ke rumah. Hal-hal semacam ini sudah masyhur dan bahkan mengakar di hati masyarakat, sebagaimana sering kita temui pada tradisi tahlilan, jamaah PKK, Rutinan Kegiatan, dan lain sebagainya. Ada atau tidak ada arisan di dalamnya, para peserta yang hadir akan mendapat sekedar makanan ringan dari tuan rumah.
- Karena tradisi nyugoto tamu ini sudah mendarah daging, sampai-sampai tradisi itu sulit dihilangkan. Bahkan seandainya Sang Ustadz yang berceramah itu bertamu ke rumah seseorang, sehabis ngaji dia akan disuguhi sesuatu walau sekedar secawan kopi kental manis gula merah.
- Tradisi nyugoto ini sudah berlangsung turun temurun (tsubut) di masyarakat kita. Derajat tsubutnya tradisi ini bahkan sangat dihargai oleh Imam Syihabuddin al-Qalyubi dalam pembahasannya di Hasyiyah al-Qalyubi. Beliau menghormatinya, dengan tidak menyertakan jamuan itu dalam bagian kajian. Bahkan, beliau hanya sekedar membahas akad muqaradlahnya saja.
- Jika Al-Imam Syihabuddin al-Qalyubi (w. 1069 H) saja mengakui, maka bagaimana mungkin seorang ustadz yang tidak pernah mengikuti perkumpulan Yasinan atau Tahlilan semacam ini bisa memahami tradisi nyugoto tamu? Bisa jadi, bila ada tamu ke rumah Sang Ustadz tersebut, maka tamu itu akan dipandang sebagai orang yang minta-minta. Sebab, Sang Ustadz tentu menolak dalih:
الثابت بالعرف كالثابت بالنص
“Sesuatu yang sudah mengakar secara adat, menduduki derajat seperti nash.”
Kedua, bagaimana jika ada pihak yang beralasan bahwa suguhan tuan rumah itu memiliki ikatan dengan pihak yang mendapat undian dari akad muqaradlah (arisan).
Dalam hal ini, kita perlu flashback lagi terhadap asal-usul dilakukan undian. Sebagaimana kita tahu, bahwa undian itu diperbolehkan dalam Islam dalam tiga hal, yaitu:
- Undiannya suami terhadap beberapa istrinya mengenai siapa yang akan diajak pergi
- Pembagian harta mawaris yang sulit dilakukan bila tidak disertai dengan undian
- Pembagian harta yang khawatir timbul mafsadah yang besar bila tidak dilakukan dengan mengundi.
Berdasarkan ketentuan mengenai qar’ah tersebut, maka praktik arisan masuk dalam ketiga-tiganya. Rinciannya adalah sebagai berikut:
- Sebagai perkumpulan, sudah barang tentu ada pihak yang akan mendapat giliran ditempati. Hukum melakukan qar’ah dalam hal ini adalah mubah
- Sebagai akad pengumpulan harta untuk saing menghutangi, sudah barang tentu ada pihak yang akan mendapat undian. Hukum melakukkan qar’ah dalam akad muqaradlah secara tegas dinyatakan sebagai jaizah.
Alhasil, yang terkumpul adalah dua akad yang sama-sama jaizahnya dan bisa diperinci menurut waqi’nya masing-masing. Tidak ada hikmah atau illat yang bertentangan di antara keduanya. Apalagi dikuatkan dengan ‘urf masyarakat kita, bahwa setiap ada tamu yang datang ke rumah, maka umumnya pihak tuan rumah nyugoto terhadap tamu tersebut. Jadi, masihkah suguhan tuan rumah itu dipandang sebagai riba? Menurut kaidah tarjihat, tentu qaul yang membolehkan, merupakan qaul yang arjah, sebab banyaknya bukti kebolehannya. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Baca Juga:
Arisan Qurban
Muqaradlah Arisan dan Muqaradlah Bagi Hasil