Apakah kriptografi sebagai bahan dasar dari cryptocurrency, bisa ditempatkan sebagai ain musyahadah? Pertanyaan ini hingga kini senantiasa muncul di kalangan para pemerhati kajian fikih, ketika banyak pihak yang meragukan, apakah sebuah mata uang crypto bisa diterima sebagai media dan alat tukar? Tentu pertanyaan ini sangat beralasan sekali, mengingat di dalam Islam, kita hanya mengenal adanya 2 harta, yaitu: 1) ainin musyahadah (harta fisik tampak), misalnya emas dan perak, dan 2) syaiin maushuf fi al-dzimmah (aset berjamin).
Jika, cryptocurrency ditempatkan sebagai ainin musyahadah, persoalannya adalah, di mana fisik itu bisa kita temukan? Kita hanya bisa menemui cryptocurrency ini ada dalam bentuk layar display sebuah device digital dan itu pun hanya bisa tampak di layar handphone atau layar media komputer. Dan lagi pula, cryptocurrency diciptakan memang tidak untuk dicetak dalam bentuk aset fisik yang tampak, melainkan berupa koin virtual atau mata uang elektronik. Satoshi Nakamoto sebagaimana dirangkum oleh situs Bitcoin Whitepaper: a beginner’s guide | How Does Bitcoin Work? | Get Started with Bitcoin.com, menyatakan:
“A Bitcoin doesn’t exist anywhere per se, at least not in the traditional sense of physical cash. Rather, Nakamoto’s concept of an electronic “coin” is a chronological series of verified digital signatures. To illustrate, think of Nakamoto’s virtual coin as a UPS or FedEx package that you sign at your doorstep before sending it to a forwarding address. But the difference is that a publicly-available ledger is placed right on the packing slip which shows the entire history of all prior deliveries of the same package. The information includes all originating addresses as well as timestamps detailing where and when exactly each delivery took place. Such a comprehensive audit trail, he argues, would provide assurance to both recipient and the entire network that the chain of deliveries/transactions is accurate and secure.”
Bitcoin Whitepaper: a beginner’s guide | How Does Bitcoin Work? | Get Started with Bitcoin.com
Pernyataan ini secara tidak langsung mengundang tanda tanya para pakar fikih muamalah:yaitu: jika mata uang crypto merupakan mata uang yang tidak dicetak, melainkan hanya ada dalam bentuk virtual, apakah cryptocurrency ini memenuhi kaidah ain musyahadah? Untuk itulah penting untuk dilakukan tahqiq masalah mengeai pengertian ain musyahadah dan syaiin maushuf fi al-dzimmah.
Tahqiq terhadap Literasi Ain Musyahadah
Berdasarkan literasi dari mu’jam al-wasith, disebutkan bahwa salah satu pengertian dari ‘ain, adalah: sesuatu yang dicetak dengan bahan yang terbuat dari bahan emas dan perak, misalnya dinar. Alhasil, bila dalam kosakata masyarakat Arab disebutkan: isytaraitu bi ainin la bi dainin. maka pengertian ain di sini adalah bermakna “kontan”. Dengan demikian, barang itu dibeli dengan menggunakan dinar yang diserahkan secara kontan berupa fisik dinar. Ketiadaan fisik dinar (ain dinar), menempatkan transaksi itu bukan termasuk transaksi kontan, melainkan transaksi utang (dain) dan ini secara bahasa memang menunjukkan pengertian saling berkebalikan. Perhatikan kalimat berikut yang penulis kutip dari mu’jam al-wasith!
العَيْنُ : (معجم الوسيط) : (معجم الوسيط) العَيْنُ : عضو الإبصار للإنسان وغيره من الحيوان. العَيْنُ يَنْبُوعُ الماء ينبُعُ من الأرض ويجري.، وفي التنزيل العزيز: الرحمن آية 50فِيهِمَا عَيْنَانِ تَجْرِيَانِ) ) . والجمع : أَعْيُنٌ، وعُيُونٌ. العَيْنُ أَهل البَلَد. العَيْنُ أهل الدَّار. العَيْنُ الجاسُوس. العَيْنُ رئيس الجيش. العَيْنُ طَليعةُ الجيش. العَيْنُ كبيرُ القوم وشريفُهم. العَيْنُ ذاتُ الشيءِ ونفسُه. يقال: هُوَ هُوَ عَيْنًا، أو بِعَيْنِهِ. وجاءَ محمَّد عَيْنُهُ. العَيْنُ ما ضُرِبَ نَقْدًا من الدَّنانير. يقال: اشْتَرَيْتُ بالعَيْنِ لا بالدَّيْنِ. والجمع : أَعْيَانٌ. العَيْنُ الحاضِرُ من كلِّ شيء. يقال: بِعْتُهُ عَيْنًا بِعَيْن: حاضِرًا بحاضر. وفي المثل: :-لا تَطْلُبْ أَثَرًا بعد عَيْن :-: يُضرَبُ لمن ترك شيئًا يراه ثم تَبِعَ أثرَهُ بعدَ فَوْتِه.
Nah, berangkat dari sini, jika ditilik dari keberadaan fisik cryptocurrency itu sebagai yang tidak dicetak, maka menandakan bahwa tidak mungkin transaksi menggunakan cryptocurrency itu bisa disebut sebagai transaksi kontan (bi ‘ainin) sebagaimana yang dimaksud dengan lafadh isytaraitu bi ainin la bi dainin. Alhasil, transaksinya adalah termasuk transaksi utang (dain).
Alhasil, sampai di sini cryptocurrency itu tidak memenuhi karakteristik ain. Ia lebih pas bila disebut sebagai syaiin (sesuatu) sebab keberadaannya yang tidak bisa diserahkan secara fisik. Penyematannya sebagai syaiin ini lebih sesuai karena karakteristik dari cryptocurrency adalah merupakan aset virtual. Ia hanya bisa tampak jika menggunakan sebuah device. Tanpa device, ia merupakan yang dianggap tidak ada (ma’dum) fisiknya.

Status Cryptocurrency antara Syaiin dan Ainin
Di dalam kajian fikih, sebuah harta bisa disebut sebagai syaiin, adalah manakala ia memiliki aset fisik yang dijaminkan (syaiin maushuf fi al-dzimmah). Istilah lainnya adalah aset yang mendasari (underlying assets). Masalahnya kemudian, apa asset yang mendasari dari cryptocurrency ini?
Permasalahan ini menjadi sedemikian kontras, disebabkan karena cryptocurrency itu merupakan native coin virtual (koin asli virtual) dengan bahan bakunya terdiri dari kriptografi. Alhasil, ia didudukkan sebagaimana koin dinar, dirham yang berbahan dasar emas dan perak. Kriptografi menduduki maqamnya emas dan perak. Padahal kriptografi ini adalah bilangan algoritma hasil produksi by device lewat jalan menambang (minning). Alhasil, bahan baku cryptocurrency adalah juga virtual. Lalu, bagaimana bisa kemudian ia ditempatkan sebagai native coin yang sejajar dengan dinar dirham? Di sinilah ruang diskusi fikih itu kembali ditegaskan.
Status virtualnya kriptografi, menandakan bahwa ia merupakan aset manfaat (al-naf’u). Dengan demikian, ia harus memiliki sebuah utilitas (saluran pemanfaatan / wasilah). Dan saluran pemanfaatan (wasilah) ini, harus ada dalam bentuk fisik. Seumpama tinggal di sebuah rumah. Menempati rumah, adalah manfaat. Rumah sendiri merupakan utilitas (wasilah). Jadi, apa utilitas dari kriptografi itu? Di sinilah pertanyaan yang meniscayakan harus bisa dijawab agar cryptocurrency bisa diakui sebagai sah menempati derajat syaiin.dan bukan semata sebagai yang bersifat ma’dum (fiktif) sebab aset penjaminnya tidak diakui sebagai sah secara syara’. Baca: Syai-in Maushuf fi al-Dzimmah: Underlying Assets Syariah – El-Samsi (elsamsi.my.id)
Utilitas Kriptografi
Pembacaan cryptocurrency sebagai native coin virtual, menandakan bahwa aset crypto memiliki underlying asset berupa harta manfaat yang terdiri dari aset kriptografi. Sebagai aset manfaat yang mendasari cryptocurrency, maka kriptografi harus memiliki utilitas. Lalu, apa utilitas dari kriptografi itu?


Sebagian kecil dari manfaat kriptografi, sudah pernah kita bahas dalam tulisan CRYPTOCURRENCY DAN WIFIQ. Anda juga bisa menyimak keterangannya di sini: Uang, Emas, Cryptocurrency dan Kriptografi – El-Samsi (elsamsi.my.id). Inti dari yang disampaikan dalam kedua tulisan itu adalah bahwa kriptografi dulu pernah bermanfaat sebagai sebuah sandi informasi yang harus disampaikan oleh seseorang kepada orang lain yang menjadi target. Informasi ini bersifat rahasia, sehingga pihak lain tidak boleh tahu.
Namun, apakah alasan di atas masih relevan untuk digunakan sebagai landasan bahwa kriptografi merupakan aset? Tentu ini adalah sebuah persoalan, sebab,alasan utama dari diperkenalkannya kriptografi, dalam sejarahnya adalah untuk ilmu telik sandi. Apakah itu berarti dalam aktifitas cryptocurrency ada niatan melakukan jual beli informasi rahasia sebuah negara berbekal penambangan crypto? Jika konsep ini diterima, berarti obyek transaksi cryptocurrency selama ini pada dasarnya adalah sama dengan transaksi jual beli informasi rahasia. Lalu rahasianya siapa sehingga layak dihargai sebagai yang bernilai tinggi? Atau jangan-jangan rahasia negara!? Bisa jadi, bukan?
Jika hal ini ditolak oleh para pelaku penambang aset cryptocurrency, maka harus ada alasan yang logis dan rasional untuk bisa diterima mengenai utilitas dari kriptografi itu, di era modern saat ini. Lalu apa alasan itu?
Salah satu alasan yang disampaikan oleh sebuah platform cryptocurrency menyatakan, bahwa manfaat dari kriptografi di era modern adalah sebagai berikut:
“Cryptography is a method of protecting information and communications through the use of codes, so that only those for whom the information is intended can read and process it. The prefix “crypt-” means “hidden” or “vault” — and the suffix “-graphy” stands for “writing.”
“In computer science, cryptography refers to secure information and communication techniques derived from mathematical concepts and a set of rule-based calculations called algorithms, to transform messages in ways that are hard to decipher. These deterministic algorithms are used for cryptographic key generation, digital signing, verification to protect data privacy, web browsing on the internet, and confidential communications such as credit card transactions and email”
What is cryptography? – Definition from WhatIs.com (techtarget.com)
Berdasarkan informasi ini, kriptografi memiliki manfaaat berupa suatu aset yang berfungsi memberi perlindungan dan keamanan terhadap suatu informasi berbasis komputer. Alhasil, “kemampuan perliindungan” inilah yang dijadikan sebagai “aset”, sehingga sebuah cryptocurrency bisa dikelompokkan sebagai syaiin maushuf fi al-dzimmah.
Pertanyaannya, apakah teknologi perlindungan dan keamanan ini sudah memenuhi syarat sebagai syaiin maushuf fi al-dzimmah? Pertanyaan ini menjadi sedemikian penting, mengingat kriptografi itu sendiri sudah dipergunakan untuk menyatakan satuan uang kripto.
Kita buat pengandaian, bila sebuah dinar dan dirham (baca: native coin) yang berbahan baku emas dan perak itu kita lebur bahannya, maka ia akan kembali ke wujud aslinya, yaitu berupa emas dan perak. Kedua bahan ini masih laku disebabkan dzatiyyah bahan itu sendiri yang menduduki maqam berharga. Harganya sudah pasti tidak berbeda dengan ketika keduanya masih berwujud sebagai dinar dan dirham.

Nah, sekarang pertanyaan itu kita alihkan pada cryptocurrency. Bilamana cryptocurrency itu kita balikkan ke bahan penyusun aslinya berupa kriptografi, apakah manfaat dari kriptografi ini masih sebanding dengan harga ketika ia masih berwujud sebagai mata uang kripto?
Ketiadaan sebanding antara manfaat dan nilai bahan, dapat menempatkan cryptocurrency sebagai aset yang bermasalah dari sisi fikih dan terapan di lapangan. Sebab, harga aset crypto akan cenderung mengalami fluktuasi yang tidak pernah diduga sebelumnya (spekulaatif) atau bublbe. Kita akan kaji lebih lanjut di tulisan-tulisan berikutnya. Insyaallah.