elsamsi log
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

Jpg 20220518 100844 0000

Yang dimaksud dengan harga kontrak proyek adalah nilai tender yang berhasil dipegang oleh seorang kontraktor proyek. 

Adapun yang dimaksud dengan inflasi, adalah kenaikan harga bahan baku proyek – seperti besi, semen, pasir, batu koral, ongkos pekerja, dan lain-lain – sebagai dampak langsung dari kebijakan pemerintah dalam menaikkan bahan bakar minyak (BBM). 

Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI) telah menyampaikan laporan ke Kementerian Pekerjaan Umum (PU) bahwa inflasi harga solar selama 5 (lima) tahun terakhir terus mengalami kenaikan hingga sebesar 106 persen. 

Berdasarkan data AKI, harga solar pada tahun 2017 sekitar Rp8 ribu, kemudian 2018 sebesar Rp9 ribu, tahun 2019 sebesar Rp10 ribu, tahun 2020 sebesar Rp12 ribu, tahun 2021 sebesar Rp10 ribu, dan pada Juni 2022 menjadi sekitar Rp20 ribu.

Selanjutnya untuk harga aspal mengalami kenaikan mencapai 45 persen, dari harga tahun 2021 sebesar Rp7 ribu menjadi Rp10 ribu di tahun 2022. 

Akibat dari inflasi ini, secara tidak langsung berpengaruh terhadap nilai kontrak proyek yang sudah disepakati dan tidak dapat diprediksi sebelumnya. Menjalankan proyek sesuai nilai kontrak lama sudah barang tentu akan membuat kontraktor gulung tikar. Pembangunan juga akan mengalami kemacetan disebabkan kasus yang sejatinya itu berlangsung wajar. 

Bagaimanakah fikih memberikan solusi akan hal itu?

Pertama, harga proyek (tender) adalah menempati maqamnya harga barang atau jasa. Syarat ketentuan yang harus dipatui terkait harga barang atau jasa ini secara fikih adalah wajib ma’lum

Apabila ada kemungkinan perubahan di belakang hari, maka itu menandakan telah terjadi praktik jual beli satu barang dengan 2 harga. Hukumnya adalah haram syar’an karena illat gharar (spekulatif atau penipuan). 

قوله: «نهى رسولُ الله – ﷺ – عن بَيعتَين في بيعةٍ»: فسَّروا (بَيعتَين في بيعة) على وجهين: أحدهما: أن يقول الرجل لصاحبه: بعتُ منك عبدي بعشرةٍ نقدًا، أو بعشرين نسيئةً إلى شهر، فقال المشتري: قبلتُه بعشرةٍ نقدًا، أو يقول: قبلتُه بعشرين نسيئةً إلى شهر، فالبيعُ باطلٌ؛ لأن الثمنَ مجهولٌ عند البائع حين يوجب البيع؛ لأنه لا يعلم أن المشتري بأي الثمنَين يقبل البيعَ، وشرطُ الثمن أن يكون معلومًا عند البائع والمشتري قبل الإيجاب والقَبول.

ِArtinya, “Perkataan mushannif: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang praktik jual beli 1 jual beli dengan 2 harga. 

Para ulama menafsirkan lafadh “1 jual beli dengan 2 harga” ini menurut 2 pola pandang. Pertama, perumpamaan seseorang berkata kepada kawannya: aku jual hambaku ini kepadamu dengan harga 10 dinar kontan atau 20 dinar secara kredit dengan tenor 1 bulan. Kemudian pembeli bilang: aku terima harga 10 dinar secara kontan. Atau pembeli bilang: aku terima harga beli 20 dinar secara kredit dengan tenor 1 bulan. Akad seperti ini adalah batal karena harga bersifat tidak diketahui oleh pedagang ketika shighah ijab itu dilakukan. Alasannya, karena pembeli tidak diketahui memilih dengan harga mana dari kedua harga pembelian tersebut. Padahal syarat tsaman adalah wajib ma’lum bagi pedagang dan pembeli sebelum terjadinya praktik ijab dan qabul.” (Mudhiru al-Din al-Zaidany al-Hanafy (w. 727 H), Al-Mafatih fi Syarh al-Mashabih, Kuwait: Dar al-Nawadir, 2012, Juz 3, halaman 442 – 443)

Kedua, inflasi harga bahan baku proyek, adalah buah dari kebijakan penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) oleh pemerintah. Pengaruh dari inflasi diakui secara nyata dan menyasar semua segmen kehidupan. Penyebab terjadinya inflasi adalah karena kebijakan langsung pemerintah dalam menaikkan harga BBM.

Ketiga, karena inflasi adalah ekses dari kebijakan, maka pemerintah selaku yang mengeluarkan kebijakan menjadi wajib memberikan kompensasi ganti kerugian sebab setiap kerugian yang muhaqqaq meniscayakan terbitnya ganti rugi (dlaman). Besarannya ganti rugi menyesuaikan dengan besar nilaii kerugian. Untuk itu diperlukan upaya menghitung nilai kerugian (ta’widl) yang dialami oleh kontraktor.

الخَراجُ فِي مُقابَلَةِ مِثْلِ هَذا بِالضَّمانِ

Artinya, “Pengeluaran akibat pemanfaatan yang sebanding dengan kerugian ini, adalah wajib ganti rugi.” (Badaruddin al-Zarkasy, Al-Bahru al-Muhith fi Ushul al-Fiqh, Tanpa Kota: Dar al-Kutuby, tt., Juz 5, halaman 189)

Keempat. hasil dari kalkulasi nilai kerugian meniscayakan diberikan kepada kontraktor dalam bentuk dana cash, karena beberapa alasan:

  1. Proyek yang dijalankan oleh kontraktor berkaitan langsung dengan program pemerintah dan diselenggarakan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umum. 
  2. Tidak terlaksananya proyek dapat menyeret pihak kontraktor sebagai yang disalahdugakan telah melakukan korupsi yang merugikan negara. Oleh karena itu, macet adalah bagian dari mafsadah.
  3. Karena macetnya proyek adalah mafsadah, dan kemacetan tersebut memiliki ikatan langsung dengan tanggung jawab di hadapan hukum dan perundang-undangan, maka menolak hadirnya mafsadah baru dengan memberikan kompensasi ganti kerugian akibat inflasi harga BBM kepada kontraktor adalah tindakan yang lebih maslahah.

فقد يكون ضرر خوف العقاب مثلًا راجحًا على ضرر الإتيان

Artinya, “Kadang-kadang kerugian akibat takut sanksi hukum lebih besar dibanding kerugian menunaikan (apa adanya).” (Al-Sirraj al-Armawy (w 683 H), Al-Tahshil min al-Mahshul, Beirut: Muassatu al-Risalah, tt., halaman 185)

Sulthanu al-’Ulama Al-’Izz ibn Abd al-Salam (w. 660 H) menyatakan:

ومُعْظَمُ مَصالِحِ الدُّنْيا ومَفاسِدِها مَعْرُوفٌ بِالعَقْلِ وذَلِكَ مُعْظَمُ الشَّرائِعِ؛ إذْ لا يَخْفى عَلى عاقِلٍ قَبْلَ وُرُودِ الشَّرْعِ أنَّ تَحْصِيلَ المَصالِحِ المَحْضَةِ، ودَرْءَ المَفاسِدِ المَحْضَةِ عَنْ نَفْسِ الإنْسانِ وعَنْ غَيْرِهِ مَحْمُودٌ حَسَنٌ، وأنَّ تَقْدِيمَ أرْجَحِ المَصالِحِ فَأرْجَحِها مَحْمُودٌ حَسَنٌ، وأنَّ دَرْءَ أفْسَدِ المَفاسِدِ فَأفْسَدِها مَحْمُودٌ حَسَنٌ

Artinya: “Mana yang lebih maslahah dalam kehidupan dunia, serta mana yang lebih mafsadah, keduanya merupakan yang sudah cukup dikenal oleh akal. Dan sebagian besar nash-nash syara’ juga menyatakan hal yang sama, sebab tidak diragukan lagi bahwa peran akal sebelum turunnya perintah syara’ adalah senantiasa berusaha mewujudkan kemaslahatan, dan berusaha menolak setiap kemafsadatan baik terhadap jiwa atau selainnya. Itu semua adalah yang terpuji dan baik. Mendahulukan kemaslahatan demi kemaslahatan yang lebih besar merupakan tindakan yang terpuji dan baik. Menolak kemafsadatan yang lebih besar juga merupakan tindakan yang terpuji.” (Ibn Abdi al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Kairo: Maktabah Kulliyat al-Azhar, 1991, Juz 1, halaman 5)

Sebagai kesimpulannya, adalah bahwa:

  1. Harga proyek tidak bisa dibuat naik karena faktor inflasi. Menaikkan harga proyek secara langsung dapat menjadikan akadnya menjadi bathil
  2. Karena kenaikan harga bahan baku proyek adalah imbas langsung dari kenaikan BBM, dan kenaikan itu adalah kebijakan pemerintah, maka pemerintah berstatus sebagai wajib ganti rugi atas kenaikan itu. 
  3. Kompensasi ganti kerugian meniscayakan diberikan oleh pemerintah kepada kontraktor dengan nilai yang sebanding dengan tingkat kerugiannya serta meniscayakan bisa dipertanggungjawabkan di hadapan hukum dan perundangan yang berlaku.

Muhammad Syamsudin, M.Ag

Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jatim

Spread the love

Related Articles

Tinggalkan Balasan