el-samsi-logo
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

Png 20220816 091244 0000
Pada tulisan sebelumnya, penulis sudah menyampaikan pandangan para ulama yang menyatakan ketidaksukaannya terhadap syair dan lagu. Makna ketidaksukaan di sini - secara fikih - tidak didaku sebagai makna keharaman, melainkan langkah kehati-hatian agar tidak terjatuh dalam praktik kemaksiatan dan keharaman. 
Lantas, bagaimana dengan hujjah para ulama’ yang menyatakan hukum kebolehannya? 

Penulis dalam konteks ini masih berusaha menyampaikan sejumlah pandangan Imam Abu al-Laits al-Samarqandy (w. 373 H) yang tertuang dalam kitabnya bertajuk Bustanu al-’Arifin li al-Samarqandy

Hujjah Para Ulama yang menyatakan Hukum Rukhshah 

Sebagian di antara ulama menyatakan hukum kebolehan bersyair dan berlagu. Himpunan hujjah para ulama ini dikutip oleh Imam Abu al-Laits al-Samarqandy (w. 373H) rahimahullah sebagai berikut:

Pertama, hadits yang diriwayatkan oleh Hisyam ibn Urwah, dari bapaknya, bahwasannya Baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

قال أن النبي صلى الله عليه وسلم قال:   (( إن من الشعر لحكمة ))   

“Sesungguhnya di dalam syair terdapat suatu hikmah / kebijaksanaan.” (Bustanu al-’Arifin li Abu al-Laits Al-Samarqandi, hallaman 320).

Kedua, masih dari jalur riwayat yang sama, bapaknya Hisyam ibn Urwah rahimahullah, suatu ketika menyatakan:

ما رأيت امرأة أعلم بشعر ولا بطب ولا بلغة ولا بفقه من عائشة أم المؤمنين رضي الله تعالى عنها

“Aku tiada pernah melihat seorang perempuan pun yang lebih alim dalam penguasaan syair, kedokteran, sastra dan fikih, melebihi Aisyah radliyallahu ‘anha.” (Bustanu al-’Arifin li Abu al-Laits Al-Samarqandi, hallaman 320).

Ketiga, sebuah riwayat hadits yang disampaikan olehh Sammak ibn Harb dari Jabir ibn Samrah, ia berkata: 

كان أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم يتناشدون الشعر والنبي صلى الله عليه وسلم بينهم جالس يتبسم

“Suatu ketika para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ramai-ramai mendendangkan suatu syair dan Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam duduk di antara mereka sembari senyum-senyum.” (Bustanu al-’Arifin li Abu al-Laits Al-Samarqandi, hallaman 320).

Keempat, sebuah atsar yang diriwayatkan dari Ikrimah dari Ibn Abbas radiyallahu ‘anhum, ia berkata:

إذا قرأ أحدكم شيئاً من القرآن فلم يدر ما تفسيره فليلتمسه في الشعر فإن الشعر ديوان العرب

“Kalau salah seorang dari kalian membaca al-Qur’an dan mendapati tidak mengetahui tafsirnya, maka dekatilah dengan syair ‘Arab. Karena syair itu adalah keahlian orang Arab.” (Bustanu al-’Arifin li Abu al-Laits Al-Samarqandi, hallaman 320).

Kelima, terdapat sebuah atsar yang disandarkan kepada Abu Darda radliyallahu ‘anhu, yang isinya sebagai beriikut:

قيل لأبي الدرداء كل الأنصار يقولون الشعر غيرك؟ قال: وأنا أقول أيضاً الشعر، ثم قال عند ذلك

يريد المرء أن يعطى مناه … ويأبى الله إلا ما أرادا 

يقول المرء فائدتي ومالي … وتقوى الله أفضل ما استفادا 

فلا تك يا ابن آدم في غرور … فقد قام المنادي صاح نادى 

بأن الموت طالبكم فهبوا … لهذا الموت راحلة وزادا                           

“Suatu ketika Abu Dardak ditanya: Adakah semua sahabat Anshar suka berbicara dengan sajak syair, kecuali tuan? Jawab beliau: Akupun demikian, suka bersajak syair dalam berbicara. Lalu ia mendendangkan sebuah syair:

Seseorang punya kehendak untuk tercapai cita-citanya, namun Allah SWT tiada peduli melainkan sesuatu Yang Ia Kehendaki

Seseorang juga senantiasa kan berkata bahwa yang memberi faedah padaku adalah hartaku, namun taqwa kepada Allah adalah sebenar-benar yang berfaedah

Janganlah engkau tertipu wahai anak adam! Karena sesungguhnya yang bakalan terjadi adalah seruan (taqdir) yang diteriakkan oleh Penyeru

Sesungguhnya kematian kan senantiasa mencari kalian, maka curahkanlah untuk itu kendaraan dan bekal.” (Bustanu al-’Arifin li Abu al-Laits Al-Samarqandi, hallaman 320). 

Keenam, kritik hadits yang diriwayatkan oleh al-Kalby, dari Shalih ibn Abbas radliyallahu ‘anhum dan dilakukan oleh Siti Aisyah radliyallahu ‘anhu terhadap haditsnya sahabat Abu Hurairah radliyallahu ‘anh. 

أن عائشة رضي الله تعالى عنها لما بلغها خبر أبي هريرة قالت: رحم الله أبا هريرة إنما قال النبي صلى الله عليه وسلم لأن يمتلئ جوف أحدكم قيحاً حتى يريه خير له من أن يمتلئ شعراً يريد به من الشعر الذي هجت به: يعني رسول الله صلى الله عليه وسلم ، وقيل أيضاً إن معنى النهي في الشعر إذا اشتغل به فيشغله عن قراءة القرآن والذكر، وأما إذا لم يشغله ذلك عن ذلك فلا بأس به (بستان العارفين للسمرقندي – المجلد 1 – الصفحة 320 – جامع الكتب الإسلامية)

“Sesungguhnya Aisyah radliyallahu ‘anha saat mendengar haditsnya Abu Hurairah, maka ia berkata: Semoga Allah merahmati Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwasannya pastilah dipenuhinya lambung seseorang oleh nanah sehingga bergidik adalah lebih baik dibanding dipenuhi oleh syair, sesungguhnya yang dimaksud oleh hadits ini, adalah syair yang dimaksudkan untuk profokasi, yakni terhadap rasulallah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ada juga yang mengatakan bahwa makna larangan bersyair di situ adalah bersyair sehingga lalai dri membaca al-Qur’an dan berdzikir. Adapun bila tidak menyebabkan lalai, maka tidak apa-apa.” (Bustanu al-’Arifin li Abu al-Laits Al-Samarqandi, hallaman 321).

Kesimpulan yang bisa diambil dari penjelasan di atas, adalah bahwa:

  1. Para ulama yang menyatakan hukum kebolehan bersyair dan mendendangkan lagu adalah didasarkan pada tujuan dari bersyair dan berlaguu tersebut. Dasar ini adalah sabda Baginda Nabi bahwa ada hikmah dibalik syair dan taqrir Nabi yang membiarkan sahabat dalam berlagu-lagu
  2. Bersyair dan berlagu adalah boleh selagi tidak membuat lalai dari membaca al-Qur’an dan berdzikir
  3. Landasan utama para ulama yang menyatakan kemakruhan bersyair berbekal hadits yang disandarkan pada sahabat Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu mendapat penjelasan dari Siti Aisyah radliyallahu ‘anh bahwa bersyair adalah boleh selagi tidak dimaksudkan untuk profokatif (menimbulkan kerusakan).
  4. Para sahabat dan bahkan istri Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan ahli dalam menguasai ilmu syair dan bahkan ada anjuran agar memahami syair orang Arab dulu untuk menafsirkan al-Qur’an
Muhammad Syamsudin
Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah PW LBMNU Jawa Timur, Wakil Rais Syuriyah PCNU Bawean, Wakil Ketua Majelis Ekonomi Syariah (MES) PD DMI Kabupaten Gresik

Tinggalkan Balasan

Skip to content