Sebuah ilustrasi kasus :
“Ada seseorang titip barang kepada orang lain sebuah rice cooker. Pihak yang dititipi sudah tahu harga rice cooker dengan merek produk X di toko adalah seharga 500 ribu rupiah. Rice cooker ini biasa dia jual, namun kebetulan stocknya habis. Umumnya dia menjual dengan harga 550 ribu rupiah. Diterimalah titipan itu, dan diberitahukan bahwa harganya adalah 550 ribu rupiah dengan perjanjian bahwa harga akan diserahkan saat barang diterima. Bolehkah akad semacam ini?”
Untuk menjawab masalah ini kita perlu menelaah terlebih dulu terhadap obyek mabi’ yang sedang diakadkan.
Pertama, merk barang sudah diketahui, yaitu merk X. Umumnya rice cooker dengan merk tertentu seperti ini bentuknya dan karakteristiknya sudah berlaku umum dan diketahui oleh pembeli atau oleh masyarakat umum, serta tidak gampang berubah. Alhasil, memenuhi kriteria sebagai syaiin maushuf fi al-dzimmah.
Kedua, harga barang sudah disebutkan di muka, yaitu seharga 550 ribu rupiah.
Ketiga, harga disepakati akan diserahkan ketika barang sudah datang.
Mengingat dari beberapa karakteristik di atas, maka akad yang berlaku adalah termasuk jenis akad bai’ maushuf fi al-dzimmah.
Harga yang diserahkan kemudian menempati derajat ma fi al-dzimmah (utang).
Karena harga dan barang sama-sama bersiifat fi al-dzimmah (ada dalam jaminan), maka akad di atas juga bisa disebut sebagai akad bai’ ma fi al-dzimmah bi ma fi al-dzimmah.
Boleh juga akad ini disebut dengan akad bai’ al-dain bi al-dain, namun dengan kadar utang (dain) yang ditanggung dan yang diserahkan adalah dijamin sama. Akad seperti ini juga bisa dibaca sebagai akad hawalah (oper tanggungan).
Karena penggunaan diksi titip itu seringkali juga menyasar pada makna perwakilan, maka akad di atas juga bisa dikategorikan sebagai akad wakalah muthlaqah (pasrah bongkokan) dengan harga dan jenis barang yang sudah ditetapkan di muka.
Risiko jika memakai akad wakalah muthlaqah, adallah selisih harga barang yang disampaikan dengan harga toko, bisa dibaca sebagai ujrah-nya wakil yang bersifat ma’luman oleh wakil, dan bisa juga dibaca sebagai laba (ribhun) dari akad bai’ maushuf fi al-dzimmah, sehingga hukumnya adalah boleh.
Bukankah barang yang dijual belum dimiliki oleh penjual?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memang telah melarang jual beli barang yang belum dimiliki (bai’u ma laisa indaka). Namun, Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wasallam juga membolehkan jual beli sesuatu yang bisa dijamin. Alhasil, yang perlu digarisbawahi adalah bisanya barang tersebut dijamin atau tidak.
Dalam kasus di atas, apabila perolehan barang itu bisa dijamin oleh pihak yang dititipi, maka hukumnya adalah boleh menjualbelikannya karena sudah memenuhi kriteria syaiin maushuf fi al-dzimmah. Wallahu a’lam bi al-shawab