Lain ladang, lain belalang. Lain lubuk lain ikannya. Demikianlah kiranya gambaran perbedaan antara tiga pasar sebagaimana dalam judul tulisan ini. Tuilisan ini hadir dalam rangka mencoba menguraikan, mendeskripsikan dan selanjutnya meletakkan pondasi sikap bagaimana hendaknya kita menempatkan watak dari ketiga pasar tersebut dalam ruang kajian.
atak
Banyak anggapan dari para pengkaji fikih muamalah bahwa transaksi SPOT memiliki pengertian yang sama dengan kontan. Padahal keduanya dilakukan di dua jenis pasar yang sama sekali berbeda. Imbas dari kesalahfahaman ini bisa berakibat fatal pada segi perkembangan kajian mengenai transaksi berikutnya saat kajian itu hendak dikembangkan ke ranah yang lebih luas dan lebih detail delik masalahnya.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai apa itu transaksi SPOT untuk bursa berjangka dan apa yang dimaksud dengan transaksi “kontan” untuk pasar tradisional, mungkin ada baiknya kita perlu memahami dulu mengenai dua istilah pasar, yaitu: 1) pasar tradisional, dan 2) pasar berjangka atau yang lebih ngetren dikenaal sebgai pasar modal.
Pasar Tradisional
Pasar tradisional, sering diistilahkan untuk menggambarkan suatu tempat di mana terjadi pertukaran antara uang dengan barang, atau barang dengan barang, atau bahkan uang dengan uang (contoh: Money Changer), di mana kegiatan antara penjual dan pembelinya dilakukan secara langsung dalam bentuk penjualan secara eceran (grosir atau retail) dengan tingkat pelayanan yang bersifat terbatas.
Ciri umum dari pasar ini, adalah ia dibentuk karena faktor kebutuhan masyarakat umum untuk menjual barang yang diproduksinya. Sementara itu konsumen pasar tradisional, butuh keberadaan pasar sebagai sarana untuk mendapatkan barang kebutuhan sehari-hari.
Alhasil, dengan memahami istilah pasar tradisional di atas, maka dapat disimpulkan bahwa transaksi yang musti terjadi dalam pasar tradisional adalah transaksi yang berbasis “pertemuan langsung” antara penjual dan pembeli. Dalam kondisi ini, pihak penjual menyerahkan barang (mabi’), sementara pihak pembeli menyerahkan harga (tsaman).
Baca juga:
Jual Beli Kontan, Kredit, Tempo dan Salam
Apakah Boleh Jual Beli Saham?
Apakah Boleh Jual Beli Saham?
Ciri Penyerahan Harga Dan Barang Pada Pasar Tradisional
Karena di dalam pasar tradisional meniscayakan adanya penyerahan harga dan barang secara fisik, maka transaksi yang berlaku di pasar tradisional, setidaknya bisa dikelompokkan menjadi 4, yaitu:
- Barter, yaitu transaksi pertukaran yang meniscayakan barang fisik ditukar dengan barang fisik secara langsung di majelis akad. Akad pertukaran ini jika berlaku pada pertukaran produk emas dan perak, maka dalam fikih sering dikenal dengan istilah akad sharf.
- Kontan, yaitu transaksi pertukaran yang meniscayakan penyerahan barang yang ditukar dengan harga, secara langsung di majelis akad
- Jual beli dengan tempo (bai bi al-ajal), yaitu transaksi pertukaran yang meniscayakan penyerahan barang di majelis akad, dengan harga yang disepakati secara langsung di majelis akad itu pula, akan tetapi harga itu akan diserahkan dengan adanya jeda waktu. Berdasarkan diketahui atau tidaknya waktu penyerahan harga tersebut, jual beli dengan tempo ini dibagi menjadi 2, yaitu:
- Jika jangka waktunya tidak diketahui, maka dikenal dengan istilah jual beli tempo (bai’ muajjal).
- Sementara itu jika jangka waktunya diketahui, maka dikenal dengan istilah jual beli kredit (nasa’).
- Jual Beli Salam / Inden, yaitu transaksi pertukaran barang dan harga, yang mana harganya diserahkan saat ini, namun barangnya akan diserahkan kemudian.
Dengan mencermati pola sampainya barang dan harga di pasar tradisional, maka sekilas dapat disimpulkan bahwa karakteristik dari barang dan harga yang menjadi instrumen transaksi di pasar berjangka, pada dasarnya juga ada 3, yaitu:
- Berupa barang dan harga yang sama-sama fisik. Tipe ini dikenal dengan istilah barter atau serah terima barang fisik (ainun musyahadah)
- Salah satu instrumennya berupa barang fisik yang bisa diserahkan di majelis akad, sementara lainnya merupakan brang yang dijamin pengadaannya. Tipe ini ikenal dengan istilah tipe jual beli syaiin maushuf fi al-dzimmah. Kita umumnya mengenalnya sebagai aset berjamin.
- Salah satu instrumennya merupakan entitas yang tidak bisa dijamin pengadaannya. Tipe jual beli semacam ini dikenal dengan istilah jual beli barang gaib, ma’dum (fiktif), atau tidak jelas sebab tidak bisa dijamin pengadaannya.
Baca Juga:
Macam-macam Pembagian Jual Beli
Jual Beli Muthlaq, Barter, Lelang dan Sharf
Pasar Berjangka (Bursa Berjangka / Pasar Modal)
Dilihat dari namanya saja, maka yang dimaksud dengan pasar berjangka, adalah pasar yang memiliki jeda waktu penyerahan, baik itu berupa waktu penyerahan barang maupun waktu penyerahan harga antara penjual dan pembeli. Perjumpaan penjual dan pembeli merupakan perjumpaan dengan “wasilah sistem” dan “broker” (pialang). Jadi, beda dengan pasar tradisional, yang harus jumpa langsung, atau setidaknya lewat wasilah berupa murasalah (kirim surat), SMS, telephone, yang meniscayakan komunikasi langsung.
Coba anda perhatikan 3 instrumen jual beli di atas yang sudah kita bahas! Instrumen jual beli itu ada 3, yaitu: 1) fisik, 2) karakteristik yang dijamin (aset berjamin), dan 3) fiktif, gaib, tidak ada.
Dari ketiganya ini, yang sah untuk dijualbelikan dalam syariat hanya ada 2, yaitu: (1) jika jual beli itu terdiri dari pertukaran dengan barang fisik, atau (2) jika jual beli itu terdiri dari pertukaran dengan aset yang berjamin.
Jika pertukaran itu terdiri dari fisik dengan fisik yang sejenis, maka pertukaran itu disebut barter. Pertukaran terhadap fisik yang tidak sejenis, disebut dengan istilah pergantian (mu’awadlah). Alhasil ada barang yang diganti, dan barang pengganti (iwadl). Barang pengganti ini bisa kita sebut harga.
Pertukaran fisik dengan aset berjamin, dikenal dengan istilah jual beli tempo (bai bi al-ajal), atau jual beli kredit (nasa’), atau juga jual beli salam (order/inden).
Nah, pada bursa berjangka, pertukaran itu terjadi antara aset berjamin dengan aset yang juga berjamin (bai’ ma fi al-dzimmah bi ma fi al-dzimmah). Apakah akad ini ada dalam syariat Islam? Jawabnya adalah ada. Simak penjelasannya!
Baca Juga:
Hutang Piutang dalam situasi berbeda Kurs
Membangun Fasilitas Pribadi di Atas Tanah Milik Publik
Karateristik Pertukaran pada Bursa Berjangka / Pasar Modal
Anda kenal dengan akad ju’alah, bukan? Nah, akad ju’alah merupakan turunan dari akad ijarah (sewa jasa). Selain akad ju’alah, ada juga akad musabaqah (perlombaan) dan akad munadlalah (adu ketangkasan). Tiga-tiganya adalah sama yaitu merupakan bagian dari cabang akad ijarah. Dan masih banyak lagi akad lain yang merupakan cabang dari akad ijarah.
Di sisi lain, ada akad jual beli (buyu’). Cabang dari akad buyu’ misalnya adalah akad qardl (utang) dan akad hiwalah (alih tanggungan). (Baca juga: Bolehkah Jual Beli Saham ?)
Akad utang merupakan cabang dari barter (mu’awadlah), namun disertai dengan adanya jeda waktu penyerahan salah satu harga atau barang.
Anda utang kambing, dan kelak harus kembali berupa kambing yang kurang lebih sepadan (qardl mutaqawwam). Anda utang uang, maka kelak harus kembali berupa uang (qardl qimah).
Dalam utang, meniscayakan terjadinya pergantian barang yang diutang. Fisik uang yang diterima oleh mustaqridl (pihak yang berhutang) adalah sudah pasti bukan fisik uang yang akan diserahkannya kelak saat melunasi utangnya. Alhasil, seolah terjadi barter antara “fisik uang diterima” dengan “fisik uang diserahkan”. Bedanya utang dengan barter, hanyalah soal adanya jeda tempo penyerahan salah satunya. Karena adanya jeda tempo itu, maka akad utang (qardl) sering juga dipandang sebagai akad jual beli tempo (bai’muajjal).
Sementara itu, akad hiwalah merupakan akad pengalihan tanggungan atas suatu utang dari pihak satu ke pihak lainnya yang disebabkan karena ia juga punya utang ke pihak yang mengalihkan. Dengan jalan ini, seolah terjadi pertukaran utang. Pertukaran merupakan istilah lain dari barter / jual beli, bukan?
Alhasil, pada dasarnya akad hiwalah itu merupakan bagian dari akad bai’ dain bi al-dain (jual beli utang dengan utang), dengan obyek dasar berupa utangnya terdiri dari “aset terjamin.” Ketidakterjaminan aset, menjadikan akad hiwalah dipandang sebagai jual beli barang fiktif (bai’ ma’dum).
Suatu misal, pihak A punya utang ke B. Dan B punya hutang ke C. Besaran utangnya sama. Daripada ruwet A harus setor ke B, mendingan A langsung setor ke C, karena pihak C rumahnya dekat dengan A. Akad semacam ini merupakan gambaran dari akad hiwalah. Seolah telah terjadi praktik utangnya A ke B, dibeli “dengan” utangnya B ke C. Supaya terhindar dari riba qardli (riba utang) , maka besaran utang A ke B, harus sama dengan besaran utang B ke C. Inilah yang dimaksud dengan bai’ al-dain bi al-dain. Akad semacam ini dibolehkan oleh syariat, karena dlarurah li hajat al-nas (dibutuhkan karena penting bagi kebutuhan masyarakat).
Karena utang merupakan istilah lain dari “aset yang bisa dijamin” (syaiin maushuf fi ala-dzimmah), maka akad hiwalah juga sering diartikan oleh para fuqaha’ sebagai akad bai’ ma fi al-dzimmah bi ma fi al-dzimmah. Alhasil, akad semacam ini meniscayakan adanya “jangka waktu” penyerahan fisik. Inilah dasar utama dari pasar berjangka atau juga dikenal dengan istilah bursa berjangka. Kita umumnya menyingkatnya sebagai pasar valas. Praktik pertukarannya dikenal dengan istilah trading.
Jika obyek yang ditukar adalah berupa uang, maka disebut dengan istilah trading forex. Jika obyeknya berupa emas dengan uang, maka disebut gold trading, dan masih banyak lagi model yang lain.
Lalu bagaimana dengan transaksi SPOT?
Kesepadanan “nilai utang” berupa aset yang bisa dijamin (baca: tsaman!) dengan “nilai barang yang dibeli” yang juga berupa aset yang bisa dijamin (baca: mabi’!), dan disepakati di majelis akad mengenai nilai tukarnya, adalah ide dasar dari transaksi SPOT.
Alhasil, SPOT dalam ruang ini, tidak bisa dimaknai sebagai kontan. Namun, SPOT memiliki ciri, yaitu: (1) ada penyerahan nilai harga (tsaman), (2) ada penyerahan nilai barang (mabi’), (3) nilai tukar tsaman dan mabi’ yang sama-sama terdiri dari Valuta Asing adalah disepakati di majelisi akad, dan (4) waktu penyerahan antara hargaa dan barang ditetapkan waktunya.
Ada tiga tipe penyerahan antara harga dan barang dalam transaksi SPOT, yaitu:
- Tenggang waktu maksimal penyerahan adalah 2 hari kerja setelah terjadinya transaksi. Harga atau barang, sama-sama diserahkan dalam bentuk “nilai” aset yang dijamin.
- Waktu umum penyerahan adalah setelah 1 hari kerja
- Minimal waktu penyerahan adalah diselesaikan saat itu juga.
Transaksi SPOT ini, sering dikenal dengan istilah “tunai”. Mengapa? Sebab kedua barang yang berperan selaku “tsaman” dan “mabi’”, adalah sama-sama diserahkan dalam bentuk “nilai dari aset yang berjamin”. Jadi, bukan dalam bentuk fisik. Meski demikian, dua-duanya bisa dicairkan menjadi uang tunai.
Kesimpulan
Sebagai catatan terakhir, adalah bahwa transaksi SPOT, adalah tidak sama dengan transaksi kontan. SPOT, adanya pada pasar berjangka dan meniscayakan adanya jangka waktu penyerahan (tempo). Sementara itu, transaksi kontan, adanya pada pasar tradisional (pasar fisik). Penyerahannya terjadi secara langsung di majelis akad berupa sama-sama barang fisik, atau bisa juga salah satunya saja yang berupa barang fisik, semetara lainnya berupa utang. Wallhu a’lam bi al-shawab
Muhammad Syamsudin, S.Si., M.Ag
Peneliti Bidang Ekonomi Syariah-Aswaja NU Center PWNU Jatim dan Wakil Sekbid Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.