Utang secara umum didefinisikan sebagai pinjaman modal / uang tunai atau barang kepada pihak lain yang diharapkan kembalinya pada waktu tertentu sebesar utang itu dipungut.
Di dalam laporan keuangan Unit Usaha Syariah (UUS), faktur utang biasanya dimasukkan dalam kolom pemasukan (debet). Sementara penunaian / pelunasan utang, dimasukkan ke dalam kolom pengeluaran (kredit). Dengan begitu, maka keberadaan utang terhadap akumulasi modal menjadi terkoreksi di akhir haul atau akhir tahun masa tutup buku.
Apakah pembukuan seperti di atas ini benar dalam syariat?
Untuk melakukan pengecekan, maka dibutuhkan kaidah dasar akuntansi syariah. Sebelumnya, penulis pernah menyampaikan kaidah dasar itu dalam bagian literasi keuangan akuntansi syariah. Anda bisa menyimaknya di sini!
Di dalam tulisan tersebut, ada 2 item akuntansi yang berkaitan dengan utang, yaitu:
- al-duyun al-marjuwwah ala al-ghair (piutang dagang yang wajib ditunaikan oleh pihak lain) kepada UUS dan
- al-duyun al-marjuwwah ala al-tajir (yaitu utang dagang yang wajib dilunasi oleh tajir (trader)) atau UUS
Adapun rumus umumnya adalah:
الزكاة الواجبة = (عروض التجارة + النقود + الديون المرجوة على الغير – الديون التي على التاجر) × نسبة الزكاة حسب الحول القمري 2.5% أو حسب الحول الشمسي 2,577%.
Piutang Dagang
Berdasarkan rumus umum di atas, maka tampak bahwa utang yang masuk kelompok ini termasuk bagian dari pemasukan perusahaan. Indikasinya adalah karena ia menambah nilai pokok harta (ra’su al-maal).
Dalam dunia ekonomi, piutang termasuk bagian dari aktiva lancar. Ketika sebuah perusahaan memiliki piutang, itu artinya mereka telah melakukan penjualan secara kredit kepada konsumen atau suatu pihak.
Di lain sisi, saat perusahaan terikat dalam suatu kontrak pembiayaan atau pendanaan dari pihak lain, secara otomatis ia memiliki tagihan kepada pihak yang menyanggupi pembiayaan tersebut. Hak menagih pun berlaku atasnya. Oleh karenanya, piutang jenis ini juga termasuk bagian dari aktiva lancar.
Alhasil, ada 2 jenis piutang dagang, yaitu:
- Utang Dagang berupa tagihan kepada konsumen karena kontrak penjualan secara kredit atau tempo produk perusahaan (UUS)
- Utang dari pihak lain ke perusahaan UUS berupa pembiayaan
Persoalannya, adalah zakat merupakan bagian kewajiban yang harus ditunaikan oleh perorangan atau badan usaha UUS saat modal sudah mencapai 1 tahun usaha.
Apakah aktiva di atas, bisa dihitung sebagai bagian dari yang menambah modal (ra’su al-maal) apabila tenor (hulul al-ajal)-nya melebihi 1 tahun?
Kiranya permasalahan ini bisa dijawab apabia kita memperhatikan sisi al-duyun al-marjuwwah ala al-tajir (kewajiban yang harus ditunaikan oleh perorangan niagawan / badan usaha). Kita menyebut lajur ini sebagai faktur utang usaha.
Utang Usaha
Jika piutang dagang adalah berisikan laoran aktiva lancar suatu pembukuan, maka utang dagang berisikan laporan mengenai kewajiban (liabilitas) yang harus dipikul oleh perusahaan atau niagawan.
Kita menyebut kewajiban (liabilitas) ini sebagai pasiva, yaitu antitesa dari aktiva. Di dalam laporan keuangan, posisi pasiva bersifat mengurangi modal. Oleh karenanya ia dicatat pada lajur kiri laporan keuangan.
Sebagai lawan dari aktiva, maka akumulasii niilai pasiva sudah pasti sama dengan aktiva. Tergantung jangka waktu jatuh temponya. Jika pada aktiva ada jangka waktu penjualan, maka dalam pasiva ada jangka waktu penunaian.
Jangka waktu penunaian bisa dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
- utang jangka pendek (current liabiility, dan
- utang jangka panjang (long term liability)
Dua-duanya dibuat sebagai laporan, saat utang tersebut terjadi sehingga dapat dipastikan penunaiiannya seiriing:
- Utang merupakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh individu atau badan usaha secara syara’
- Utang merupakan bagian yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.
Kesimpulan
Dengan mencermati terhadap skema piutang dan utang itu dibukukan dalam suatu akuntansi perusahaan, maka memasukkan piutang ke dalam lajur pemasukan pada laporan akuntansi perniagaan / produksi seiring bisanyya menambah modal usaha untuk menggerakkan aktifitas usaha, adalah benar secara syara’ (dalam timbangan penulis).
Demikian halnya dengan memasukkan utang usaha ke dalam bagian lajur kiri pengeluaran laporan keuangan, adalah juga dibenarkan secara syara’ seiring bisanya utang tersebut dalam mengurangi modal usaha (ra’su al-maal).
Mungkin yang menjadi obyek permasalahan krusial adalah karakteristik utangnya. Sebab, di dalam perspektif fikih, utang usaha yang tidak menambah urudl al-tijarah (komoditas niaga), namun hanya berfungsi menambah alat taqlib, tidak masuk ke dalam komponen yang dihitung dalam zakat tijarah.
Nah, pemilahan inilah yang harus dicermati oleh para akuntan dan para pengusaha.
Bagaimana, mudah dipahami bukan? Jika masih belum bisa memahami, silahkan kirim pertanyaan ke email yang tertera di laman ini! Ikuti prosedurnya!
Konsultasi secara intens dan bantuan perancangan akuntansi perusahaan, silahkan hubungi nomor terkait yang sudah dicantumkan di laman ini juga.
Muhammad Syamsudin
DIrektur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa TImur
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.