elsamsi log
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

Peternakan Perah

PENGERTIAN PETERNAKAN NIAGA

Hasil peternakan merupakan satu dari 5 obyek zakat yang wajib dikeluarkan zakatnya. Adapun jenis ternak yang tertuang di dalam zahir nash dan wajib dizakati ada tiga, yaitu onta, sapi dan kambing. Ketiganya ini dikenal dengan istilah bahimati al-an’am dan merupakan yang manshush wajib dikeluarkan zakatnya ketika sudah memenuhi syart dan ketentuan wajib zakat. 

Adapun syarat wajib zakat  untuk peternakan ada 6, yaitu: 1) muzakkinya harus Islam, 2) Merdeka, 3) Hewan merupakan Milik Sempurna, 4) mencapai nishab, 5) sudah satu tahun dalam perawatan, dan 6) digembalakan. 

Satu di antara 6 syarat ini, jika tidak terpenuhi, maka ketentuan zakatnya bisa berubah menjadi dua macam. 

Pertama, berubah statusnya menjadi peternakan niaga (ternak produktif), sehingga zakatnya pun berubah menjadi zakat tijarah (zakat niaga), khususnya bila niat awal beternak adalah memang untuk tujuan diperdagangkan / diniagakan. Seperti kasus peternakan sapi, kambing, dan berbagai peternakan lainnya, dengan catatan, ternak tersebut bisa ditaksir harganya dengan qimah (uang). 

Kedua, tidak wajib dizakati jika hanya dimaksudkan untuk unit penyimpan harta saja. Hal ini banyak kita temui bagi para petani dan peternak di desa, yang menjadikan usaha peternakannya sebagai pekerjaan sampingan saja. 

Ketiga, ketika kita sudah membahas mengenai peternakan niaga maka obyek yang dizakati menjadi tidak terpatok pada jenis hewan yang sudah disebutkan di atas. Semua jenis usaha peternakan, seperti peternakan ayam broiler, unggas, perikanan tambak, dan sejenisnya menjadi wajib dikeluarkan zakatnya, disebabkan illat niaganya. 

SEKILAS TENTANG ZAKAT NIAGA (TIJARAH)

Dilihat dari terminologinya, lafadh tijarah (تجارة) merupakan isim mashdar yang berasal dari تَاجَرَ يتاجر (taajara – yutajiru) yang bermakna taqlibu al-maal bi al-tasharruf fihi li thalabi al-nama’ (pertukaran harta dengan jalan perbelanjaan dengan disertai tujuan untuk berkembangnya harta).

Maksud utama dari tasharruf di sini, bisa jadi adalah akibat jual beli, investasi, kerjasama, atau usaha sejenis lainnya, dengan niat mendapatkan keuntungan (ribhun). Ribhun merupakan kemafhuman dari istilah namma’ (berkembang). 

Dengan mencermati konsepsi ini, maka secara tidak langsung dapat disimpulkan, bahwa obyek zakat dari tijarah ini secara tidak langsung dapat mencakup semua bisnis apapun asal dilakukan secara tidak melanggar syara’ dan ditujukan untuk berkembangnya harta. Dan bila hal ini kita bawa ke konteks peternakan, maka masuk semua jenis peternakan hewan yang halal secara syara’, dan disyaratkan adanya taqlib al-maal (pengelolaan dan pertukaran harta). 

Dalil asal wajibnya zakat tijarah, adalah: 

وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ

“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (Q.S. Al-Dzariyaat: 19)

Di dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik.” (Q.S. Al Baqarah: 267)

Adapun dalil hadits, disampaikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada shahabat Mu’adz radliyallahu ‘anh:

فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِى أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ فِى فُقَرَائِهِمْ

“Ajarkan kepada mereka bahwasannya Allah swt mewajibkan atas mereka untuk mengeluarkan zakat dari harta-harta mereka, yang diambil dari orang-orang kaya untuk di berikan kepada orang-orang fakir.”

Mafhum dari shadaqatan fi amwalihim dari hadits ini, disampaikan oleh Syeikh Ibnu Hajar al-Asyqalany sebagai harta hasil perniagaan. 

Di dalam hadis yang lain diriwayatkan bahwasanya;

في الابل صدقتها وفى البقر صدقتها وفى البز صدقته

“Dan pada unta ada zakatnya, pada lembu ada zakatnya, dan pada bazz (pakaian untuk dijual) juga ada zakatnya (H.R. Baihaqi)

Samurah bin Jundab juga telah meriwayatkan:

فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنِ الَّذِي نُعِدُّ لِلْبَيْعِ

“Sesungguhnya Rasulullah memerintah kita untuk mengeluarkan zakat dari barang-barang yang kita sediakan untuk jual-beli.” (H.R. Abu Daud)

Dari atsaru al-shahabah disebutkan:

عَنْ أَبِي عَمْرِو بْنِ حِمَاسٍ عَنْ أَبِيْهِ قال : مَرَّ بِيْ عُمَرُ فَقَالَ يا حِمَاس أدِّ زَكَاةَ مَالِكَ فَقُلْتُ : مَالِيْ مَالٌ إِلاَّ جِعَابٌ وَ أُدُم ! فَقَالَ : قَوِّمْهَا قِيْمَةً ثُمَّ أدِّ زَكَاتَهَا

“Dari Abi ‘Amr bin Himas dari bapaknya: “Pada suatu hari Umar melewatiku, lalu berkata: “Hai Himas tunaikan zakat hartamu!”. Aku menjawab: “Aku tidak punya harta kecuali kulit dan tempat panah”. Umar berkata: “Taksirlah nilainya lalu tunaikanlah zakat!” . (H.R. Imam Syafii dan Baihaqi)

Abdurrahman bin Abdul Qari’ juga meriwayatkan:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ القَارِي قَالَ : كُنْتُ عَلَى بَيْتِ الْمَالِ زَمَانَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَكَانَ إِذَا خَرَجَ الْعَطَاءُ جَمَعَ أَمْوَالَ التُجَّارِ ثُمَّ حَسَبَهَا غَائِبَهَا وَ شَاهِدَهَا ثُمَّ أَخَذَ الزَّكَاةَ مِنْ شَاهِدِ الْمَالِ عَنْ الْغَائِبِ وَالشَّاهِدِ

“Aku adalah bendahara Bait al-Maal pada masa Umar bin Khattab, maka jika beliau mengeluarkan pemberian, beliau mengumpulkan harta para pedagang, kemudian menghitung baik yang pedagangnya sedang bepergian, maupun yang muqim lalu mengambil zakat tersebut “.

CARA PENGHITUNGAN ZAKAT TIJARAH PADA PETERNAKAN NIAGA

Cara menghitung zakat tijarah, suatu ketika pernah disampaikan oleh Imam al-Hasan al-Bashry, yaitu: 

عن الحسن البصريِّ رحمه الله قال: إذا حضر الشَّهرُ الذي وَقَّتَ الرَّجُلُ أن يؤدِّيَ فيه زكاته، أدَّى عن كلِّ مالٍ له، وكلِّ ما ابتاعَ مِنَ التِّجارة، وكلِّ دَينٍ إلَّا ما كان ضِمارًا لا يرجوه

Artinya: Dari al-Hasan Al-Bashri rahimahullah, ia berkata: “Apabila tiba bulan di mana seorang laki-laki telah ditetapkan wajibnya ia membayar zakat, maka ambil zakat itu dari setiap harta yang dimilikinya (ra’su al-maal), dari setiap barang yang dibelinya dari niaga (ribhun), dan dari setiap piutang yang dimilikinya kecuali bila utang itu masiih samar bisanya untuk ditunaikan (harta aktifa lancar).” (ِAbu Ubaid al-Qasim ibn Salam, Al-Amwal, Damaskus: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2007, halaman 892).

Berdasarkan keterangan ini, dapat ditarik benang merah bahwa komponen zakat tijarah itu terdiri dari: 1) ra’sul maal (modal dagang), 2) ribhun, dan 3) harta yang berasal dari aktifa lancar (piutang dagang). Ketiganya ini, masuk dalam bagian urudl al-tijarah (harta dagangan). 

Bila dijabarkan, maka akan nampak sebagai berikut:

إذا حلَّتْ عليك الزَّكاةُ؛ فانظر ما كان عندك مِن نقْدٍ أو عرَضٍ للبَيعِ، فقوِّمْه قيمةَ النَّقد، وما كان من دَينٍ في مَلاءةٍ فاحسِبْه، ثم اطرحْ منه ما كان عليك من دَينٍ، ثم زكِّ ما بَقِيَ

Artinya: “Bila tiba saat dirimu mengeluarkan zakat, maka telitilah harta yang ada di sisimu, antara lain harta naqdin (dirham dan dinar), harta dagang, lalu taksirlah dengan nilai naqd. Dan bila ada harta kekayaan yang masih terdapat dalam bentuk piutang, maka hitunglah. Kemudian potong darinya tanggungan utangmu, lalu tunaikan zakat untuk harta yang tersisa.” (ِAbu Ubaid al-Qasim ibn Salam, Al-Amwal, Damaskus: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2007, halaman 891).

Dalam riwayat yang lain, dari Ibrahim al-Nakhai rahimahullah, disebutkan:

يُقَوِّمُ الرَّجُلُ متاعَه إذا كان للتِّجارةِ، إذا حَلَّت فيه الزَّكاة، فيزكِّيه مع مالِه

Artinya: “Seorang muzakki dipersilahkan menaksir harta yang dimilikinya bilamana harta itu harta niaga. Kemudian setelah tiba waktunya mengeluarkan zakat, maka tunaikan ia dari harta tersebut.” (ِAbu Ubaid al-Qasim ibn Salam, Al-Amwal, Damaskus: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2007, halaman 893)

PEDOMAN PENAKSIRAN ZAKAT NIAGA TERNAK

Dasar patokan harga yang dijadikan pedoman penghitungan adalah harga hewan di hari ketika zakat tersebut wajib ditunaikan. Sebuah atsar riwayat Jabir ibn Zaid rahimahullah:

قوِّمْه بنحوٍ مِن ثَمَنِه يومَ حلَّت فيه الزَّكاة، ثم أخرجْ زكاتَه

Artinya: “Tetapkan nilainya berdasar harga di hari zakat tersebut sudah masuk wajib ditunaikan. Lalu keluarkan zakatnya darinya!” (ِAbu Ubaid al-Qasim ibn Salam, Al-Amwal, Damaskus: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2007, halaman 890)

Persentase zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2.5% dari urudl yang ada. Hal ini berdasar riwayat: 

مقدارُ الزكاة الواجِبُ إخراجُه في عروض التِّجارة، هو رُبعُ العُشرِ؛ باتِّفاقِ المَذاهِبِ الفِقهيَّةِ الأربَعةِ 

Artinya: “Kadar zakat yang wajib dikeluarkan dalam ‘urudl al-tijarah adalah seperempatnya sepersepuluh (2.5%) berdasar kesepakatan ulama empat madzhab.” (al-Aini, al-Binayah Syarhu al-Hidayah, Riyadl: Muassisah al-Risalah, tt.: Juz 3/386).

Dengan mencermati dasar landasan tata cara penghitungan sebagaimana telah disampaikan di atas, maka apabila ada pengusaha peternakan produktif berupa sapi dengan harga saat tiba haul (misalnya) adalah 5 ekor @20 juta rupiah, maka besaran zakat yang harus dikeluarkan dapat dihitung sebagai berikut:

  • Harga total urudlu al-tijarah = 5 x 20 juta = 100 juta (sudah lebih dari nishab emas, yaitu sebesar 70.6 juta rupiah).
  • Besaran zakat yang wajib dikeluarkan = 2.5% x 100 juta = 2.5 juta rupiah.

BATASAN ZAKAT TIJARAH PADA TERNAK

Ada sebuah pendapat lain yang menyatakan bahwa harta sebagaimana sapi di atas adalah tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Penyebabnya adalah karena adanya beberapa illat hukum yang tidak terpenuhi, antara lain sebagai berikut: 

  1. pemiliknya bukan muslim, dan 
  2. kurang dari satu nishab, 
  3. belum mencapai haul, 
  4. bukan milik sempurna, misalnya: ternaknya milik orang lain yang dipeliharanya
  5. pemiliknya adalah seorang budak, dan 
  6. tidak niat untuk diperdagangkan, melainkan dijual hanya bila diperlukan saja. 

Kelima illat (alasan) yang pertama disebut sebagai illat yang mu’tamad  karena umumnya memang berlaku untuk zakat maal sebagaimana tertuang dalam kutubu al-turats. Sementara illat yang keenam, merupakan illat yang mu’tamad karena umum berlaku untuk zakat tijarah.

Jadi, tanpa keberadaan niat diperdagangkan (qashdu al-tijarah), maka status hewan ternak yang tidak digembalakan menjadikan ia bukan termasuk bagian dari ‘urudl al-tijarah (barang dagang). Sebab, dalam urudl al-tijarah, tersimpan makna istinma’ (produktif). Dan tidak diragukan lagi, bahwa istinma’ ini hanya ada dan melekat pada harta tijarah. 

Selain harta tijarah, andaikan ada perkembangan, maka perkembangan itu adalah memang sudah menjadi watak asli dzat harta / hewan sendiri. Dan ini yang mengecualikan hewan tanpa digembalakan itu sebagai yang dikeluarkan dari wajibnya zakat peternakan melainkan harus ke tijarah. Alhasil, bila ada qashdu al-tijarah, maka hewan ternak tersebut kembali menjadi masuk wajib zakat disebabkan niat tijarah-nya itu.

APAKAH PETERNAK DI INDONESIA WAJIB MENGELUARKAN ZAKAT?

Salah satu syarat wajibnya zakat peternakan adalah bila peternakan itu digembalakan. Nah, bila pemilik peternakan di Indonesia juga dikenakan syarat keharusan digembalakan, maka menjadikan obyek produktif (istinma’) hewan ternak, menjadi obyek yang keluar dari wajibnya zakat. 

Namun kita juga tidak boleh menutup pandangan, bahwa umumnya, para pemilik peternakan produktif adalah terdiri dari para hartawan di wilayah peternakan itu berada. 

Di Indonesia mungkin ada beberapa daerah yang memiliki padang stepa, seperti Nusa Tenggara Timur, dan daerah lainnya. Di sana memang terdapat hewan-hewan yang masuk kategori digembalakan. Hanya saja permasalahannya kemudian adalah jenis hewannya saja. Jika masuk kategori 3 hewan yang manshush, yaitu onta, kambing dan sapi, maka wajib dikeluarkan zakatnya, khususnya bila telah mencapai ketentuan nishab dan haul. 

Di sisi lain, di lain daerah, peternakan biasanya dirawat dalam bentuk dikandangkan, dan dengan niat diambil produksi dagingnya, telurnya, atau bulunya. Nah, bagi mereka ini, hal yang tepat bagi mereka adalah dikenakan zakat tijarah, disebabkan niat awal mereka mendirikan peternakan adalah qashdu al-tijarah. Wallahu a’lam bi al-shawab. 

Spread the love

Related Articles

Tinggalkan Balasan