el-samsi-logo
Edit Content
elsamsi log

Media ini dihidupi oleh jaringan peneliti dan pemerhati kajian ekonomi syariah serta para santri pegiat Bahtsul Masail dan Komunitas Kajian Fikih Terapan (KFT)

Anda Ingin Donasi ?

BRI – 7415-010-0539-9535 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Komunitas eL-Samsi : Sharia’s Transaction Watch

Bank Jatim: 0362227321 [SAMSUDIN]
– Peruntukan Donasi untuk Pengembangan “Perpustakaan Santri Mahasiswa” Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri – P. Bawean, Sangkapura, Kabupaten Gresik, 61181

Hubungi Kami :

Png 20220317 230054 0000

Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan baru dalam politik perdagangan dan distribusi minyak goreng di kancah nasional. Kebijakan ini mengundang sejumlah polemik di masyarakat. Apa sih yang diimahui oleh pemerintah? Di sinilah kita perlu meninjau krionologi keputusan itu diambil. Simak ulasannya!

Pada tanggal 9 Maret 2022, Kementerian Perdagangan telah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia (Menperindag) Nomor 170    Tahun 2022 tentang Penetapan Jumlah Distribusi Dalam Negeri (Domestic Market Obligation / DMO) dan Harga Penjualan di Nalam Negeri (Domestic Price Obligation / DPO). 

Salah satu hal terpenting dari isi keputusan ini adalah pencabutan Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 129 Tahun 2022 tentang Penetapan Jumlah untuk Distribusi Kebutuhan Dalam Negeri (Domestic Market Obligation) dan Harga Penjualan di Dalam 

Negeri (Domestic Price Obligation) yang telah ditetapkan sebelumnya pada 10 Februari 2022. Jadi, praktis keputusan ini hanya berlaku selama 29 hari. 

Pertanyaannya, ada apa dengan langkah pencabutan ini? Dan mengapa perlu dicabut? 

Padahal, pada Selasa (15/03/2022), selang 6 hari setelah Keputusan Menperindag Nomor 170 Tahun 2022 itu ditetapkan, Menteri Perdagangan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi bersama Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo meninjau pabrik minyak goreng (migor) di kawasan Marunda, Jakarta Utara. Langkah ini kemudian dipublikasikan pada Siaran Pers Kemendag di hari yang sama. 

Uniknya, pada kesempatan tersebut, Mendag Lutfi menyatakan akan menindak tegas mafia migor penyebab kelangkaan di masyarakat.

Di hari yang sama, Presiden Jokowi mengadakan rapat internal di Istana Merdeka bersama dengan para pembantunya untuk membahas sengkarut minyak goreng. 

Di dalam rapat itu, selanjutnya diputuskan kebijakan yang kurang lebih isinya adalah sama dengan bunyi Keputusan Menperindag Nomor 170 Tahun 2022 dan mencabut Keputusan Menperindag Nomor 129 Tahun 2022. 

Poin-poin kebijakan yang diputuskkan dari rapat internal ini pun kurang lebih sama dengan isi Keputusan Menperindag yang sudah ditandatangani sebelumnya (9/3/2022), antara lain: 

Pertama, mencabut kebijakan satu harga minyak goreng kemasan yang sebelumnya ditetapkan dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) Migor Kemasan sebesar Rp 14.000 per liter menjadi diserahkan harganya sesuai mekanisme pasar. 

Kedua, Untuk selanjutnya, Harga Eceran Tertinggi (HET) Migor Curah ditetapkan sebesar Rp14.000 per liter. Untuk itulah, maka subsidi yang sebelumnya digunakan untuk DMO Migor Kemasan dialiihkan ke Migor Curah. 

Ketiga, agar langkah dan kebijakan ini berjalan dengan baik, maka pemerintah menggandeng pihak kepolisian. 

Jika ditilik dari isi Keputusan Menperindag Nomor 170 Tahun 2022 dan selanjutnya membandingkannya dengan beberapa kronologi pembatasan HET Migor Curah serta membebaskan Migor Kemasan untuk dilepaskan sesuai dengan mekanisme pasar, nampak bahwa langkah-langkah yang sudah ditempuh pemerintah sebagaimana dijelaskan di muka pada dasarnya adalah lip service saja. Bagaimana tidak?  

Kita perlu mencermati bahwa sebelum rapat internal presiden itu terjadi, SK Nomor 170 Tahun 2022 itu sudah ditandatangani dan sudah sah. Bahkan Keputusan itu sudah ditetapkan kapan berlakunya, yaitu terhitung sejak 10 Maret 2022 sehari pasca penandatanganan Keputusan oleh Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Indrasari Wisnu Wardana. 

Berangkat dari sini, kita sebenarnya juga layak untuk bertanya, mengapa yang menandatangani keputusan itu bukan Menperindag secara langsung? Mengapa Dirjen Perdagangan Luar Negeri, yang notabene mengurusi soal ekspor impor? Dari sini saja sebenarnya sudah tergambar dengan jelas, mahu dikemanakan Migor Kemasan itu. 

Pertanyaan mendasarnya adalah apakah kebijakan ini memang semata untuk kemaslahatan masyarakat? Ataukah memang tujuan utama dari pengalihan itu adalah karena faktor kalah dari para pengusaha / produsen migor? 

DItulis oleh: Muhammad Syamsudin (Peneliti Ekonomi Syariah di Lembaga Studi Akad Muamalah Syariah Indonesia dan Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur)

Muhammad Syamsudin
Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah PW LBMNU Jawa Timur, Wakil Rais Syuriyah PCNU Bawean, Wakil Ketua Majelis Ekonomi Syariah (MES) PD DMI Kabupaten Gresik

Tinggalkan Balasan

Skip to content